Tampilkan postingan dengan label Tulisan di Media. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tulisan di Media. Tampilkan semua postingan

Senin, 17 Mei 2021


Bisnis Indonesia
Opini Senin, 17 Mei 2021

Artikel lengkap bisa klik dilink ini Pekerjaan Rumah Usai Mudik

 

Rabu, 31 Maret 2021

Eksistensi Ancaman Penyakit Tidak Menular

Editor: Bestari Kumala Dewi

Penulis: Felix Wisnu Handoyo 

Publikasi 14 Maret 2021

 

Pandemi Covid-19 telah memukul semua sektor ekonomi dan non-ekonomi di dunia maupun di Indonesia. Di Indonesia sendiri, sejak 9 Januari 2021 kasus terkonfirmasi Covid-19 sudah menyentuh angka diatas 10.000 kasus per hari, rekornya terjadi pada 30 Januari 2021 mencapai 14.518 kasus terkonfirmasi dalam satu hari (Covid-19.go.id, 2020). Kendati sejak 11 Januari hingga 8 februari 2021, dan diperpanjang dengan PPKM mikro, pemerintah menerapkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), faktanya tidak semata-mata mampu menekan pergerakan masyarakat di Jawa-Bali. Kalaupun dampak PPKM tidak bisa tercermin saat ini, setidaknya belum ada tanda-tanda penurunan aktivitas masyarakat di wilayah Jawa-Bali.

Kalaupun dampak PPKM tidak bisa tercermin saat ini, setidaknya belum ada tanda-tanda penurunan aktivitas masyarakat di wilayah Jawa-Bali. Baca juga: Angka Kematian Akibat Penyakit Tidak Menular di Indonesia Melonjak Di sisi lain, pandemi ini menyebabkan penanganan pasien dengan penyakit selain Covid-19 menjadi less priority. Akibatnya, pasien non-Covid-19 sulit atau kadang enggan (jika tidak terpaksa) untuk mendapatkan fasilitas kesehatan. Berdasarkan hasil survei Pusat Penelitian Ekonomi (P2E), LIPI menunjukkan bahwa terdapat 403 responden rumah tangga (26,95% dari total responden) dari total responden 1495 rumah tangga menyatakan, bahwa dalam rumah tangganya setidaknya ada satu anggota keluarga yang mengalami masalah penyakit tidak menular (NCD).

 

Artikel Lengkap dapat di baca dilink ini:  Eksistensi Ancaman Penyakit Tidak Menular



Senin, 11 Januari 2021

Mengatasi Kebocoran Bansos

Bisnis Indonesia, 2 Januari 2021

Harian Jogja, 8 Januari 2021 (jaringan Bisnis Indonesia)

oleh: Felix Wisnu Handoyo


Kebocoran sedikit saja dalam bantuan sosial memiliki dampak yang besar bagi kemanusiaan. Kendati hanya sekitar 3% (Rp.10.000/paket bansos) jika dikalikan dengan total nilai bantuan yang besar tentu akan memberikan nominal kebocoran tidak bisa dibilang kecil. Hal ini yang terjadi pada dugaan korupsi dana bansos di Jabodetabek yang menimpa mantan Menteri Sosial Juliari Batubara sebesar Rp17 Miliar (Kompas.com, 2020).

Permasalahan penyaluran bansos di Indonesia memang masih menjadi isu yang belum memiliki solusi tepat. Ketidaktepatsasaran selalu terjadi di tengah penyaluran bansos di Indonesia, baik sebelum pandemi maupun ketika pandemi.

Selain itu, penyimpangan dana bansos seperti korupsi pun menambah carut marut skema penyaluran bansos. Saat ini pemerintah mencanangkan bansos pada 2021 akan diberikan dalam bentuk bansos tunai di wilayah Jabodetabek. Kendati demikian skema ini masih berpotensi tidak tepat sasaran. Pasalnya, skema ini tidak membuka peluang bagi pemerintah mengontrol jenis pengeluaran yang bisa atau tidak bisa dibelanjakan.

Selain itu, potensi penyelewengan pun masih memungkinkan terjadi karena ada penyaluran bansos tunai melalui jasa pengiriman. Permasalahan yang mungkin muncul ialah sulitnya men-tracing penerima bansos tunai karena tidak adanya jejak digital.

Tentu permasalahan penyelewengan dana bansos ini baik dari penggunaan yang tidak seharusnya, ketidaktepatsasaran, atau aktivitas koruptif, akan menyebabkan dampak bansos menjadi tidak sebesar yang diharapkan. Hasil penelitian Pusat Penelitian Ekonomi (P2E) menunjukkan bahwa rumah tangga penerima bansos 74,4% memiliki pendapatan di bawah Rp.4,8 juta/bulan.

Artinya, masih ada lebih dari 20% penerima bansos yang memiliki pendapatan di atas Rp.4,8 juta/bulan juga menerima bansos. Hasil kajian ini seolah mengonfirmasi bahwa ketidaktepatsasaran program bansos di Indonesia selama pandemi masih cukup besar, di luar masalah korupsi yang mungkin terjadi.

Lalu, apa yang seharusnya dilakukan?

Permasalahan bansos pada dasarnya ada dua hal besar, yaitu ketidaktepatsasaran penerima bansos dan perilaku koruptif dari penyelenggaran bansos. Ketidaktepatsasaran penerima bansos sangat erat kaitannya dengan data kependudukan yang karut marut.

Selain itu, perilaku koruptif dari penyelenggara negara pun menambah buruknya skema penyaluran bansos di Indonesia. Mengatasi permasalahan tersebut mau tidak mau pemerintah Indonesia perlu memperbaiki data kependudukan yang tepercaya, terbaru, dan terjamin kerahasiaannya.

Skema Adaptif

Strategi penyaluran bansos perlu memiliki skema yang berkelanjutan dan adaptif, karena program bansos tidak hanya diberikan pemerintah pada saat pandemi saja. Pada dasarnya pemerintah telah memiliki basis data terpadu (BDT), tetapi tantangan dari data tersebut ialah keterbaruan informasi, ketepatan informasi, dan kriteria masyarakat penerima bantuan dengan kondisi tertentu.

Di sisi lain, masyarakat yang berpotensi menerima bansos di tengah pandemi memungkinkan lebih luas dari data BDT. Pada jangka pendek pemerintah perlu melakukan langkah-langkah strategis agar penyaluran bansos lebih tepat sasaran.

Pertama, perbaikan skema penyaluran yang transparan dan akuntabel. Permasalahan koruptif penyelenggara negara terhadap program bansos karena tidak adanya informasi yang detail terkait bantuan yang berikan. Pada kasus bantuan sosial nontunai (BNTP), tidak ada rilis terkait dengan tipe dan jenis bahan pangan yang diberikan, akibatnya kualitas BNTP dimainkan untuk mendapatkan selisih.

Kedua, perubahan skema BNTP ke bansos tunai di wilayah Jabodetabek, harus dengan verifikasi dan validasi yang ketat dan tepat. Ketiga, perlu adanya validasi tambahan data dan informasi terkait penerima bansos tunai. Keempat, konsolidasi data yang dimiliki pusat dan daerah untuk memastikan tidak ada penerima bansos yang ganda.

Sejak berlangsungnya program perlindungan sosial, maka keandalan data kependudukan menjadi hal yang utama. Mengingat program ini dilakukan secara regular dengan atau tanpa adanya pandemi.

Pada jangka menengah dan panjang, pemerintah perlu membangun basis data kependudukan yang andal dengan membuat data base berupa nomor induk tunggal (NIT). Namun, untuk merealisasikan NIT perlu persiapan yang matang, mulai dari peraturan, infrastruktur (keamanan data) dan sumber daya manusia yang andal dan berintegritas. Keberadaan NIT akan mampu merekam data pribadi seseorang secara menyeluruh.

Dengan data itu, pemerintah bisa mengetahui identitas personal pekerjaan, pendapatan dan hal lainnya, yang bisa menjadi dasar untuk melakukan intervensi berupa bansos baik tunai maupun nontunai.

Selain itu, berbagai program perlindungan sosial, seperti penundaan cicilan kredit, bantuan modal UMKM, dan program prakerja dapat dilaksanakan dengan tepat sasaran. Maka, kebeberadaan NIT penting sehingga kebocoran bansos, baik data yang salah maupun penyelewengan bansos, pun dapat makin diminimalisasi bahkan dihilangkan.

Untuk cek sumber asli, klik link dibawah ini.

BisnisIndonesia, 2 Januari 2021

Harian Jogja, 8 Januari 2021



Kamis, 26 November 2020

Minimalkan Dampak Ekonomi, Genjot Serapan Anggaran - Jawa Pos

 


baca selengkapnya link disini: Minimalkan Dampak

LIPI: Pinjaman Australia, Hambatan Penyerapan Anggaran, dan Social Security Number

 Peneliti Ekonomi LIPI menilai pinjaman Australia merupakan bentuk kepercayaan terhadap Indonesia dalam mengelola utang. Di sisi lain, pemerintah membutuhkan peraturan yang lebih fleksibel dalam hal penyerapan anggaran.

Pandemi COVID-19 memberikan beban berat bagi perekonomian seluruh negara di dunia, tidak terkecuali Indonesia. Namun sejumlah negara saling membantu menangani dampak dari pandemi, seperti yang dilakukan pemerintah Australia yang baru saja memberikan pinjaman sebesar 1,5 miliar dolar Australia atau sekitar Rp 15,4 triliun kepada Indonesia. Dana pinjaman ini diberikan untuk program respons aktif dan penanganan COVID-19 yang dipimpin oleh Bank Pembangunan Asia (ADB).

Menteri Keuangan Australia Josh Frydenberg menyatakan bahwa pinjaman tersebut mencerminkan masa-masa krisis kesehatan yang harus dihadapi bersama, sehingga pemulihan dapat terjadi di kedua negara.

Peneliti Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Felix Wisnu Handoyo melihat pinjaman yang diberikan Australia merupakan bukti bahwa pemerintah negeri kanguru itu memiliki kepercayaan terhadap Indonesia yang mempunyai track record baik dalam mengelola utang. Di sisi lain, market Indonesia adalah yang terbesar di Asia Tenggara, sehingga sangat memungkinkan hubungan Indonesia dan Australia ke depannya akan semakin erat.

baca selengkapnya dilink ini: LIPI: Pinjaman Australia

Jumat, 07 Agustus 2020

Anomali Kebijakan di Bidang Kesehatan Saat Pandemi

Publikasi di Kompas.com 

Rabu, 5 Agustus 2020

Editor : Erlangga Djumena

Oleh: Felix Wisnu Handoyo 

KENAIKAN iuran BPJS Kesehatan pada bulan Juli 2020 yang tertuang dalam Perpres No.64 Tahun 2020 merupakan pengulangan dari kebijakan pemerintah yang dibatalkan oleh Mahkamah Agung.

Meski, kenaikan iuran BPJS Kesehatan ini lebih rendah Rp 10.000 dibandingkan rencana awal yang tertuang pada Perpres No 75 Tahun 2019, untuk kelas 1 dan kelas 2, kecuali kelas 3 memiliki kenaikan iuran yang sama.

Di tengah pandemi Covid-19 kenaikan iuran BPJS Kesehatan memiliki makna beban ganda, karena tidak sedikit masyarakat yang kehilangan atau menurunnya pendapatan. Bahkan, tidak sedikit yang mengalami pemutusan hubungan kerja.

Namun demikian, pemerintah menyiapkan buffer bagi peserta pekerja bukan penerima upah (PBPU) dan bukan pekerja (BP) dengan memberikan subsidi sebesar Rp 16.500 hingga akhir 2020 dan Rp 7.000 pada tahun 2021, apabila teregistrasi pada peserta kelas 3.

Skema kenaikan iuran di tahun 2020, pada dasarnya lebih membebani peserta yang menjadi peserta BPJS Kesehatan untuk kelas 1 dan 2. Artinya, masyarakat kelas menengah ke atas yang dianggap memiliki kemampuan finansial yang lebih baik.

Meskipun demikian, lamanya periode pandemi pun tidak luput menghantam masyarakat kelas menengah terutama menengah bawah. Akibatnya, kenaikan iuran BPJS Kesehatan menuai sentiment negatif dari masyarakat secara keseluruhan, karena hampir semua level masyarakat ikut terdampak akibat pandemi ini.

Kendati kenaikan iuran BPJS-Kesehatan merupakan keniscayaan, tetapi kenaikan iuran saat ini bukan momentum yang tepat.

Artikel Lengkapnya dapat dibaca pada link di bawah ini:

https://money.kompas.com/read/2020/08/05/214000826/anomali-kebijakan-di-bidang-kesehatan-saat-pandemi?page=all

Rabu, 15 April 2020

Melawan Invasi Covid-19

Publikasi di Bisnis Indonesia
Sabtu, 11 April 2020


Senin, 05 Agustus 2019

Mengukur Efektivitas Asuransi Kesehatan Nasional

Bisnis Indonesia
Kamis, 1 Agustus 2019

Bisnis.com, JAKARTA - Hal yang sedikit menggelitik dari pelaksanaan UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), kita baru berada dalam level penanganan masalah finansial yang melanda BPJS Kesehatan. Namun, masih jauh dalam mendiskusikan atau mempermasalahan status kesehatan masyarakat, akan meningkat atau tidak dalam pelaksanaannya.
Defisit finansial yang menimpa BPJS Kesehatan telah menjadi isu hangat belakangan ini dan berbagai upaya telah dilakukan untuk menekan membengkaknya tagihan pelayanan kesehatan badan tersebut. Data terakhir menyebutkan bahwa BPJS Kesehatan mengalami defisit hingga Rp16,5 triliun dan memungkinkan membengkak di tahun ini dan selanjutnya.
Pembicaraan berlanjut soal intervensi mengenai pengurangan manfaat bagi peserta BPJS Kesehatan hingga pelaksanaan urun biaya dan selisih biaya. Namun, pertanyaan mendasar dari implementasi UU SJSN tidak pernah mendapatkan tempat utama, yaitu apakah tingkat kesehatan masyarakat meningkat dengan program ini?
Dalam UU No. 24 Tahun 2011 pasal 3 menegaskan bahwa BPJS bertujuan untuk mewujudkan terselenggaranya pemberian jaminan demi terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap peserta dan/atau anggota keluarganya. Kebutuhan akan jaminan kesehatan dan ketenagakerjaan menjadi fokus utama dibentuknya BPJS.
Namun, permasalahan mendasar (defisit anggaran) dari pelaksanaan BPJS seakan menjadi batu sandungan bagi keberlangsungan program ini. Kendati skema mitigasi apabila terjadi defisit keuangan mengenai BPJS, khususnya BPJS Kesehatan telah tertuang dalam undang-undang, implementasi di lapangan belum sesuai harapan. Pengurangan manfaat kesehatan, urun biaya dan selisih biaya mewarnai peliknya tantangan bagi badan tersebut saat ini.
Penerjemahan atas UU SJSN yang tidak menyeluruh membuat kita kian terjebak dalam permasalahan defisit, pengurangan manfaat dan urun serta selisih biaya. Hal utama mengenai pemenuhan kebutuhan dasar hidup malah kian luput dari perhatian, dalam hal ini kesehatan.
Berdasarkan hasil penelitian yang penulis lakukan dengan data Indonesian Family Life Survey (IFLS) 4 dan 5, menunjukkan bahwa asuransi kesehatan daerah, Jamsostek, Askes dan saat ini BPJS belum mampu meningkatkan status kesehatan masyarakat. Hasil penelitian yang dibagi dalam group treatment-control mengambil sampel sebanyak 12.740 observasi data panel.
Group treatment tercatat sebanyak 8.754 observasi dimana individu tidak memiliki asuransi pada IFLS4 dan memiliki asuransi pada IFLS5. Sebagai control sebanyak 3.716 observasi dengan ketentuan memiliki asuransi pada kedua periode penelitian.
Hasilnya cukup mengejutkan bahwa keberadaan asuransi yang dikelola pemerintah dan BUMN atas dasar penugasan pemerintah tidak memiliki dampak terhadap peningkatan status kesehatan (statistically insignificant) peserta asuransi tersebut. Penelitian ini menggunakan metode difference-in-differences (DiD) dengan data panel yang seimbang (balanced panel).
Namun, keberadaan program asuransi ini berhasil menurunkan tingkat pengeluaran kesehatan masyarakat meskipun ada pengeluaran tetap yaitu premi. Hal yang menjadi dasar dari pelaksanaan program ini seharusnya mampu meningkatkan tingkat kesehatan masyarakat. Sayangnya, hal yang penting ini malah luput dari pembahasan pemerintah dan BPJS. Justru kita disibukkan pada permasalahan finansial dan malah penurunan manfaat.
Jika berkaca pada hasil penelitian tersebut, seharusnya pemerintah dan BPJS Kesehatan bersama-sama mengambil langkah strategis, yaitu bagaimana asuransi kesehatan nasional ini berkontribusi dalam peningkatan kesehatan masyarakat.
Bukankah seharusnya kebijakan yang diterapkan harus mengacu pada sasaran tersebut, bukan hanya bagaimana menutup defisit keuangan dengan menurunkan manfaat dan urun serta selisih biaya. Ini pun menjadi evaluasi atas kebijakan penurunan manfaat kesehatan bagi masyarakat, karena dengan kondisi saat ini saja belum mampu mendorong tingkat kesehatan masyarakat. Apalagi jika manfaatnya dikurangi.
Kian jelas bahwa ketentuan Indonesia Case Base Groups (Ina-CBG’s) tidak disiapkan dengan baik. Pasalnya, belum pernah dipublikasikan, baik oleh pemerintah maupun BPJS Kesehatan mengenai tindakan medis kepada pasien, apakah sudah efektif atau belum. Apalagi untuk penanganan pasien yang memiliki penyakit cukup berat.
Padahal hal ini seharusnya dilakukan untuk menerapkan prosedur yang efektif dan tentunya menghindari tindakan medis berlebihan. Efektif artinya dengan tindakan medis tertentu dapat meningkatkan status kesehatan masyarakat. Evaluasi tersebut dapat dilakukan dengan cost-benefit-analysis (CBA), cost utility analysis (CUA), dan cost effectiveness analysis (CEA).
Namun, hal tersebut tampak belum menjadi basis dalam penerapan Ina-CBG’s. Padahal dengan analisis tersebut akan membantu suatu tindakan medis memiliki efektivitas terhadap pasien atau tidak berdasarkan quality adjusted life-years (QALY). QALY merupakan ukuran mengenai kualitas hidup seseorang pasca mendapatkan penanganan medis. Kendati ukuran ini terbilang subyektif tetapi dapat menjadi ukuran untuk menentukan pelayanan optimal bagi pasien.
Pemerintah dan BPJS Kesehatan seharusnya sudah tidak berkutat pada masalah defisit anggaran. Pasalnya, rekomendasi mengenai dana abadi kesehatan benar-benar bisa dilakukan dan diterapkan. Sudah waktunya membahas paket kesehatan dan dampaknya bagi peningkatan kesehatan masyarakat.
Perlu diingat bahwa rancangan pembangunan Indonesia ke depan akan berfokus pada pengembangan sumber daya manusia. Syarat utamanya ialah pendidikan dan kesehatan. Dalam hal ini BPJS Kesehatan memiliki peran yang sangat besar dalam menunjang pembangunan sumber daya manusia.
Untuk itu transformasi harus terus dilakukan agar negara ini bisa semakin maju.

Jumat, 22 Februari 2019

Urun Biaya dan Selisih Biaya, Solusi Bagi JKN?

Bisnis Indonesia Kamis, 21 Februari 2019

Bisnis.com, JAKARTA – Kali ini Kementerian Kesehatan (Kemenkes) benar-benar panik dalam menekan defisit BPJS Kesehatan. Pasalnya, dugaan membengkaknya klaim kian melebar pada tahun ini dibandingkan dengan Rp16,5 triliun pada 2018.
Skenario mulai dari pengurangan manfaat bagi peserta BPJS Kesehatan tampaknya belum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Saat ini pemerintah melalui Kemenkes menerbitkan aturan teknis mengenai urun biaya dan selisih biaya kesehatan bagi peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Kepanikan tampak mulai dirasakan oleh Kemenkes dan BPJS Kesehatan dalam menghadapi defisit yang berpotensi melebar. Kendati undang-undang sistem jaminan sosial nasional (UU SJSN) membuka peluang adanya urun biaya, pelaksanaan urun biaya harus berdasarkan jenis pelayanan yang menimbulkan penyalah-gunaan pelayanan.
Permenkes No. 51/2018 telah mengatur urun biaya apabila masyarakat mendapatkan pelayanan rawat jalan atau inap berdasarkan kelas rumah sakit dan ditetapkan maksimum nominal untuk setiap pelayanan. Peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) dibebaskan dari pengenaan urun biaya ketika mendapatkan pelayanan. Namun, implementasi aturan tersebut masih menunggu kajian jenis pelayanan kesehatan yang memungkinkan terjadinya penyalahgunaan.
Urun biaya memang belum diberlakukan bagi peserta JKN, khususnya untuk peserta non-PBI. Namun, pelaksanaan urun biaya berpotensi mengurangi kunjungan masyarakat dalam mengakses layanan kesehatan. Pasalnya, mereka yang biasanya mendapatkan pelayanan secara gratis harus bersedia membayar sebagai bentuk urun biaya.
Disisi lain, keberadaan JKN yang seharusnya menjadi angin surga bagi masyarakat dalam mengakses layanan kesehatan, baik peserta PBI maupun non-PBI. Apabila aturan tersebut diterapkan, tidak sepenuhnya sesuai harapan masyarakat.
Dalam Model Grossman disebutkan akses kepada fasilitas kesehatan dan perilaku hidup masyarakat memengaruhi tingkat kesehatan masyarakat. Dalam hal ini, akses layanan kesehatan menjadi salah satu input yang ikut menentukan tingkat kesehatan masyarakat. Adanya tambahan biaya dalam mengakses kesehatan menjadi hal yang memberatkan, khususnya bagi kelas menengah.
Masyarakat kelas menengah bisa dikatakan tidak tergolong dalam kelompok PBI tetapi juga tidak dikatakan kelompok yang mampu secara finansial sepenuhnya. Kelompok PBI sebanyak 92.4 juta jiwa (46,13% dari peserta BPJS Kesehatan) akan tetap merasakan gratis pelayanan kesehatan yang mengacu pada Indonesia Case Base Groups (InaCBG’s). Sebanyak 107,88 juta jiwa peserta JKN non-PBI akan dikenakan urun biaya ketika mengakses layanan kesehatan.
Berdasarkan data Agustus 2018, total peserta BPJSKesehatan 200,28 juta jiwa. Jika sebanyak 64,72 juta jiwa peserta non-PBI (32,31% dari total peserta BPJS Kesehatan) dikategorikan kelas menengah, kelompok ini yang akan paling merasakan dampaknya. Disisi lain, 21,54% (43,15 juta jiwa) dari total peserta bisa dikatakan kelompok atas (kaya) dan tidak akan bermasalah dengan urun biaya atau mereka memiliki asuransi lain.
Dengan estimasi tersebut, masyarakat kelas menengah yang akan lebih rasional dalam mengakses layanan kesehatan. Sayangnya, tidak ada data sebaran masyarakat yang akan terdampak urun biaya yang dipublikasi oleh BPJS Kesehatan. Dampak dari kebijakan urun biaya akan terasa cukup signifikan dalam menekan keinginan masyarakat mengakses layanan kesehatan.
Pada saat yang sama, pemangkasan manfaat pelayanan pun kian membatasi peserta mendapatkan pelayanan kesehatan.
Berbeda dengan urun biaya, pengenaan selisih biaya merupakan rencana yang bisa dikatakan relatif lebih tepat. Namun, penerapannya perlu hati-hati. Pasalnya, selisih biaya ini harus ditanggung masyarakat dari tarif yang ditetapkan Ina-CBG’s pada kelas peserta terdaftar jika peserta tersebut naik kelas pelayanan.
Namun jika kebijakan ini diterapkan, apakah akan diberlakukan juga apabila rumah sakit rujukan sudah penuh pada kelas perawatan dimana peserta BPJS Kesehatan terdaftar, tetap dikenakan selisih biaya jika terpaksa harus naik kelas pelayanan?
Pasien di kota besar tidak terlalu bermasalah, karena pilihan rumah sakit cukup banyak. Lain halnya di perdesaan atau yang layanan kesehatannya terbatas. Pasien, khususnya non-PBI, tak punya pilihan karena harus naik kelas atau tidak mendapatkan penanganan kesehatan di kelasnya terdaftar. Hal ini perlu diantisipasi Kemenkes
Urun biaya dan selisih biaya merupakan konsekuensi dari keengganan pemerintah dalam menaikkan tarif iuran peserta BPJS Kesehatan. Disisi lain pemerintah masih menahan alternatif pembiayaan dari pajak rokok dan atau mungkin dana abadi kesehatan. Dana abadi kesehatan dapat diperoleh dari APBN, pajak rokok, kendaraan, dan pajak makanan minuman yang ikut menyumbang penyakit tertentu pada masyarakat.
Sekalipun peserta JKN terpenuhi 100% belum menjamin bahwa defisit BPJS Kesehatan akan hilang atau mengecil.
Selain itu penekanan defisit yang terjadi masih bersifat eksternal, diluar dari struktur organisasi yang ada. Jika defisit ini adalah masalah bersama, seharusnya peningkatan efisiensi kegiatan operasional pun perlu dilakukan.
Beban operasional BPJS Kesehatan 2017 tercatat Rp3,8 triliun. Perlu dilakukan efisiensi agar beban bisa dikurangi hingga beberapa puluh persen, sehingga bisa membantu menekan defisit.
BPJS Kesehatan juga memiliki investasi lain. Pada dasarnya desain ini untuk mengantisipasi adanya dana iuran besar yang mengendap. Saat defisit melanda apakah tidak sebaiknya kegiatan investasi ditarik keluar dari BPJS Kesehatan.
Pertama, menyebabkan bengkaknya biaya operasional, karena harus membayar unit investasi dalam struktur lembaga di BPJS Kesehatan. Kedua, terjadi conflict of interest dalam alokasi anggaran untuk pembayaran kewajiban atau beban investasi. Beban investasi tercatat sebesar Rp28,21 miliar. Adapun pendapatan bruto investasi Rp150,91 miliar pada 2017. Tentu nilai pendapatan investasi tersebut yang terdiri dari bunga deposito, obligasi, dan keuntungan pelepasan investasi merupakan akumulasi alokasi beban investasi pada tahun-tahun sebelumnya.
Tingginya angka kunjungan masyarakat pada faskes tidak semata-mata terjadi dugaan penyalahgunaan layanan kesehatan tetapi bisa jadi imbas dari rendahnya kesadaran masyarakat dalam menjaga kesehatan. Ini pun kritik bagi program Kemenkes seperti program promotif dan preventif.
Ketidakefektivan program tersebut menyebabkan kesadaran masyarakat untuk menjaga kesehatan terbilang cukup rendah. Alhasil, ketika ada layanan kesehatan yang terjangkau, tak heran masyarakat berbondong-bondong mengakses faskes.
Perbaikan perlu dilakukan secara menyeluruh. Permasalahan BPJS Kesehatan melibatkan banyak pemangku kepentingan, mulai dari pemerintah pusat dan daerah, masyarakat, faskes, dan BPJS Kesehatan sendiri. Penyelesaian masalah defisit BPJS Kesehatan harus dilakukan secara bersama-sama dengan keterlibatan aktif semua elemen.
Penerapan urun biaya dan selisih biaya bisa menjadi solusi jangka pendek apabila dilakukan hati-hati. Namun, saya yakin tidak akan bisa menutup defisit BPJS Kesehatan sepenuhnya.

Minggu, 25 November 2018

Dana Abadi Kesehatan, Mungkinkah?

Oleh Felix Wisnu Handoyo
Bisnis Indonesia, Jumat, November 23 2018
Pendidikan dan kesehatan merupakan dua elemen penting dalam peningkatan kualitas hidup masyarakat. Keduanya harus berjalan beriringan yang pada akhirnya diharapkan mampu meningkatkan produktivitas masyarakat.
Pembangunan manusia pun menjadi isu diangkat dalam era pemerintahan saat ini. Kita telah kenal dengan program BOS, KIP, dan program beasiswa nasional, seperti LPDP dan Beasiswa Ristek Dikti. Namun, sayangnya penanganan di bidang kesehatan belum semasif dan sebaik di bidang pendidikan kendati program di bidang kesehatan seperti Kartu Indonesia Sehat (KIS), program keluarga harapan (PKH), dan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sudah dilaksanakan pula.
Penanganan gizi bagi keluarga miskin telah dilakukan dengan memberikan program PKH. Disisi lain, penanganan masalah pembiayaan kesehatan dilakukan oleh BPJS-Kesehatan dalam kerangka JKN. Sayangnya, program JKN masih menimbulkan banyak kendala dalam penanganannya. Pertama, ketidakmerataan fasilitas dan tenaga kesehatan di setiap daerah sehingga menimbulkan kesenjangan.
Kedua, akses dan jarak tempuh menuju fasilitas kesehatan (faskes) cukup jauh dan mahal, terutama di wilayah terpencil. Ketiga, defisitnya anggaran pembiayaan kesehatan yang dijalankan oleh BPJS-Kesehatan sesuai amanat undang-undang.
Layaknya di bidang pendidikan oleh Kemendikbud, Kemenkes pun harus proaktif dan massif terutama dalam pemerataan kualitas layanan kesehatan masyarakat. Jangkauan sarana dan prasarana medis menjadi hal yang mutlak dalam peningkatan layanan kesehatan.
Tentunya, sebaran dan kualitas tenaga medis baik perawat, bidan, dan dokter harus mumpuni pula. Permasalahan ini tampaknya yang masih jauh dari harapan. Akibatnya, keberadaan JKN belum mampu dinikmati masyarakat, khususnya di daerah terpencil.
Sebelum masalah defisit dana BPJS-Kesehatan muncul kepermukaan, banyak masyarakat yang mengeluhkan bahwa iuran yang dibayar tidak menjamin mereka mendapatkan penangangan kesehatan yang baik ketika mereka sakit.
Wajar, karena ketersediaan fasilitas faskes yang mumpuni umumnya hanya di kota-kota besar. Di lain pihak, ini bukan menjadi kewenangan BPJS-Kesehatan dalam meningkatkan kualitas sarana dan prasarana kesehatan.
Kemudian, kondisi ini diperparah dengan permasalahan defisitnya BPJS-Kesehatan hingga pembatasan manfaat kesehatan yang sebelumnya ada menjadi kurang atau ditiadakan.
Program kesehatan nasional pada dasarnya mampu meningkatkan akses masyarakat ke layanan kesehatan. Jumlah klaim yang melebihi jumlah iuran merupakan salah satu indikator kepercayaan diri masyarakat dalam mengakses faskes. Jumlah peserta per 1 November dari data BPJS-Kesehatan sebanyak 205 juta jiwa, didominasi peserta PBI, baik PBI APBN (92,3 juta) maupun APBD (28,3 juta). Angka ini masih jauh dari target yang mencapai 100% penduduk Indonesia sebagai peserta BPJS-Kesehatan.
Jumlah peserta program yang besar dan unsur subsidi silang (gotong royong) dalam pembiayaan kesehatan menjadi hal penting keberadaan program ini. Maka, pemerintah melalui Kemenkes perlu mengevaluasi seluruh program kesehatan nasional. Hal ini dapat dimulai dari program di Kemenkes seperti pencegahan penyakit, program pembangunan dan peningkatan sarana dan prasarana rumah sakit hingga ketersediaan tenaga medis berkualitas.
Selain itu, Kemenkes bersama Kemenkeu perlu melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan asuransi kesehatan nasional dalam bingkai JKN. Layaknya gayung bersambut, ketersediaan fasilitas dan tenaga medis pun harus didukung sistem pembiayaan yang baik melalui BPJS-Kesehatan. Sayangnya, hal ini masih jauh dari harapan, seolah keberadaan layanan kesehatan terpisah dengan sistem pembiayaannya. Padahal keduanya harus saling melengkapi. Kecenderungan saat ini, faskes lebih mumpuni di kota besar daripada di daerah atau kota kecil. Akibatnya terjadi kesenjangan layanan kesehatan.
Di lain pihak, pembiayaan kesehatan dalam bingkai JKN pun sangat dibutuhkan masyarakat penerima bantuan iuran (PBI) maupun non-penerima bantuan iuran (non-PBI). Sinergi pada kedua kementerian sangat diperlukan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas layanan kesehatan bagi masyarakat.
Hal yang tidak kalah penting, petunjuk penanganan dan pembiayaan pasien yang tercantum dalam Indonesian Case Base Groups (Ina-CBG’s) perlu dievaluasi mendalam pula. Keluhan terhadap skema pembiayaan kesehatan menjadi salah satu persoalan yang belum terselesaikan dengan baik. Ketentuan mengenai obat dan alat medis yang digunakan menuai keluhan dari banyak pasien.
Harus ada standar penanganan pasien yang tepat agar tidak terjadi overtreatment atau undertreatment. Evaluasi daftar pembiayaan kesehatan ini pun harus melibatkan berbagai pihak, mulai dari pemerintah, tenaga medis, dan perencanaan keuangan di bidang kesehatan.
Dana Abadi Kesehatan
Kunci keberlangsungan BPJS-Kesehatan ialah ketersediaan anggaran dalam pembiayaan kesehatan. Permasalahan defisit BPJS-Kesehatan yang tercatat pada arus kas rencana kerja anggaran tahunan (RKAT) 2018 mencapai Rp16,5 triliun. Hal ini menjadi ancaman bagi keberlangsungan program tersebut.
Belum lagi kondisi ini akan menciptakan keenganan rumah sakit dalam menangani pasien BPJS-Kesehatan. Apabila kondisi ini berlangsung lama, akan menimbulkan ketidakpercayaan terhadap BPJS-Kesehatan sebagai lembaga pembiayaan kesehatan nasional.
Demi meningkatkan kapasitas dan kapabilitas pembiayaan BPJS-Kesehatan, pemerintah perlu melakukan beberapa langkah strategis. Pertama, menciptakan lembaga pengelola dana kesehatan atau menyatukan lembaga pengelola dana kesehatan dan pendidikan.
Pengelolaan dana ini harus terpisah dengan BPJS-Kesehatan untuk menghindari konflik kepentingan antara lembaga pengelola dana dan lembaga pembiayaan. Sumber dana pengelolaan ini pun terpisah dari iuran yang diterima BPJS-Kesehatan.
Namun, lembaga pengelola dana bisa sebagai buffer fiskal pemerintah ketika ancaman defisit kian meningkat.
Kedua, menetapkan sumber dana yang dikelola, bisa diambil dari anggaran kesehatan di Kemenkes (APBN) seperti LPDP dari dana pendidikan, pajak karbon (pabrik, kendaraan bermotor, tambang, dan perkebunan sawit), pajak rokok, dan pajak minuman kemasan. Penerapan dan penetapan pajak tersebut harus diatur secara khusus, karena tergantung dari kontribusi produk maupun aktivitas bisnis tersebut dalam memengaruhi kesehatan masyarakat.
Pajak yang dikumpulkan harus menjadi modal untuk berinvestasi pada aset-aset yang low-risk dan untuk menghasilkan optimal return, berbeda dengan konsep pemerintah sebelumnya yang menjadikan pajak sebagai unsur pembiayaan BPJS-Kesehatan.
Ketiga, mengatur skema pembiayaan kepada BPJS-Kesehatan dari hasil pengembangan dana abadi kesehatan setelah dikurangi biaya operasional. Skema ini pun perlu dipikirkan agar BPJS-Kesehatan dan lembaga pengelola dana kesehatan dapat bersinergi.
Apabila langkah ini dapat dilakukan, pemerintah akan memiliki buffer fiskal atas permasalahan defisit pembiayaan kesehatan. Selain itu, keberlangsungan dan kemanfaatan dari pembiayaan oleh BPJS-Kesehatan memungkinkan diperluas dimasa depan demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Link to read this article: 

Rabu, 06 April 2016

Membangun dari Kawasan Perbatasan

Wilayah perbatasan Indonesia sering terlupakan dari pembangunan, baik ekonomi, sosial, budaya, dan manusia. Merasa terasing di negeri sendiri sering menjadi ungkapan hati masyarakat yang tinggal disana. Tidak jarang gemerlap pembangunan negeri sebelah lebih menyilaukan mata dan tidak jarang menawarkan masa depan yang lebih baik. Entah negeri ini lalai atau tidak nyata-nya kasus Sipadan dan Legitan menjadi contoh lepasnya masyarakat perbatasan ke negeri sebelah. Namun, tak tidak jarang kecintaan warga perbatasan kepada Nusantara membawa mereka bertahan dan Merah Putih tetap melekat di dada mereka.

Membangun perbatasan Indonesia perlu dilakukan secara menyeluruh dan tuntas. Membangun ekonomi, sosial, dan budaya tidak-lah cukup, justru membangun manusia-lah yang harus dilakukan terlebih dahulu. Membuka akses keterisolasian masyarakat terhadap pendidikan, komunikasi, dan informasi merupakan fondasi yang sering terlupakan. Keterbatasan infrastruktur yang memadai juga membawa mereka sulit untuk keluar dari keterisolasian. Selain itu, penyerobotan lahan (hutan adat) tidak jarang menyebabkan warga perbatasan kian terpinggirkan di negeri ini. Indonesia telah merayakan kemerdekaan yang ke-70 tahun seharusnya menjadi titik balik bagi pemerintah untuk lebih intens dan inklusif membangun perbatasan. Pembangunan yang diharapkan ialah yang berkelanjutan dan menyentuh akar permasalahan, bukan hanya berdasarkan proyek saja.

Refleksi di wilayah perbatasan
Selama dua belas hari, Tim Peneliti Ketenagalistrikan – LIPI melakukan penelitian lapangan di wilayah perbatasan di Kec. Jagoi Babang, Kab. Bengkayang, Kalimantan Barat (Agustus, 2015). Memang kehadiran kami di wilayah perbatasan lebih fokus pada pembangunan sektor ketenagalistrikan perdesaan dan perbatasan serta Asean Power Grid (APG). Namun, kami juga menemukan sisi lain dari masyarakat perbatasan, tidak hanya infrastruktur yang minim, tetapi pembangunan manusia, seperti akses dan fasilitas pendidikan, serta pelatihan pun masih jauh dari harapan. Alhasil, hanya sedikit dari warga yang bisa mengenyam pendidikan hingga sekolah menengah dan tinggi.

Pembangunan infrastruktur merupakan hal yang penting, namun jangan hanya fokus pada infrastrukur sebagai penopang kehidupan bangsa. Sesungguhya kualitas infrastruktur kehidupan sebuah bangsa semata-mata cermin kualitas manusianya (Anies Baswedan). Membangun perbatasan pun harus dilakukan dengan membangun manusianya melalui peningkatan askes pendidikan yang layak dan berkualitas.     

Pada dasarnya sudah banyak program pembangunan yang telah berdatangan dan tidak jarang yang silih berganti hilang tanpa bekas. Permasalahan keberlanjutan sering menjadi permasalahan fundamental dalam membangun wilayah perbatasan. Selain itu, pembangunan yang dilakukan masih bersifat fisik dan sektoral. Hal ini berimplikasi pada pergeseran perilaku masyarakat yang cenderung sensitif dengan program bantuan dari pemerintah. Sedikit demi sedikit meluruhkan semangat kebersamaan yang telah tumbuh dalam komunitas masyarakat perbatasan. Alhasil, malah mempersulit pembangunan di wilayah itu sendiri.

Meretas “Keterisolasian Modern”
Pemerintah sebaiknya melakukan evaluasi atas berbagai program perbatasan berbasis sektoral dan fisik saja. Ada ketiga hal yang perlu mendapat evaluasi terkait dengan program perbatasan, yaitu apakah membuka akses keterisolasian (pendidikan, informasi, aktivitas ekonomi, dan komunikasi), apakah program tersebut benar-benar dibutuhkan, dan apakah program tersebut berkelanjutan? Ketiga hal tersebut perlu menjadi permenungan program-program pembangunan di wilayah perbatasan. Keberhasilan pembangunan sesungguhnya meningkatkan kesejahteraan masyarakat bukan membuat mereka terangkap dalam lingkaran “keterisolasian modern”.

“Keterisolasian modern” merupakan jebakan atas variasi kehidupan modern yang tidak diikuti dengan kesiapan mental, pengetahuan, dan pemahaman yang mendalam. Akibatnya, masyarakat hanya terombang-ambing dalam pusaran kehidupan modern tanpa mengetahui tujuan yang sesungguhnya ingin dicapai. Dimana cita-cita sesungguhnya dari pembangunan ialah kesejahteran masyarakat tidak tercapai, melainkan hal sebaliknya terjadi “keterisolasian modern” yang mereka dapatkan.

“Keterisolasian modern” masyarakat perbatasan di Kab. Bengkayang tidak terlepas pula dari alih fungsi hutan menjadi ladang kelapa sawit. Akibatnya, akses jalan, jembatan, listrik, dan menara komunikasi kian menyuburkan “Keterisolasian modern”. Disisi lain, degradasi lingkungan menyebabkan pemenuhan  kebutuhan dasar seperti air bersih, udara bersih, dan pangan semakin sulit tercapai.

Untuk meretas “Keterisolasian Modern” harus dimulai dengan membangun manusia melalui pendidikan dan pelatihan. Membuka dan menciptakan akses pendidikan dan pelatihan seluas-luasnya tidak berarti hanya membangun fasilitas fisik saja. Namun, keberadaan tenaga pengajar yang berkualitas sangat diperlukan untuk mendukung hal tersebut. Maka, ada tiga hal yang perlu menjadi perhatian untuk merealisasikan pendidikan dan pelatihan yang komprehensif dan berkualitas, yaitu institusi, insentif, dan infrastruktur. Institusi pendidikan pusat dan daerah harus saling melengkapi untuk mendukung pembangunan manusia. Koordinasi mengenai aturan dan standar pelayanan pendidikan yang baik harus dilakukan, seperti jumlah sekolah, laboratorium, jumlah dan kualitas tenaga pengajar, dan kurikulum.

Kedua, pemberian insentif lebih bagi tenaga pengajar dan pendukung yang bertugas di wilayah terpencil dan perbatasan. Insentif sebagai bentuk penghargaan atas kerelaan dan kesediaan bertugas di wilayah tersebut. Bentuk insentif dapat berupa kesempatan belajar lebih tinggi, ketersediaan fasilitas yang baik dan menjunjang, dan pemberian gaji dan tunjangan yang lebih tinggi dari guru yang bekerja di wilayah perkotaan.

Ketiga, infastruktur penunjang lainnya, seperti akses jalan, jembatan, komunikasi dan informasi pun harus tersedia dalam mendukung pendidikan dan pelatihan yang berkualitas. Hal ini pun harus melibatkan kementerian dan dinas terkait dalam merealisasikan pembangunan tersebut. Kebersamaan dan koordinasi antar kementerian dan dinas harus terjalin dengan baik menjadi kunci keberhasilan membangun infrastruktur penunjang.  

Dengan demikian, keberhasilan membangun manusia berkualitas akan diikuti dengan pembangunan fisik dan ekonomi yang berkelanjutan. Tak pelak diusia 70 tahun Indonesia merdeka, pemerintah harus mulai mengubah paradigma pembangunan dengan berbasis pada peningkatan kualitas manusia. Hal inilah yang perlu menjadi refleksi karena pembangunan manusia di wilayah terpencil dan perbatasan belum menyeluruh dan inklusif. Padahal daerah terpencil dan perbatasan merupakan salah satu indikator keberhasilan suatu negara membangun manusia dan menjaga kedaulatannya.


Publikasi di Majalah Cakrawala TNI AL edisi 430 Tahun 2016

Senin, 18 Mei 2015

BUMDes Alternatif Pembiayaan Pertanian di Pedesaan

Publish in Majalah Tinjauan Ekonomi dan Keuangan, Kementerian Bidang Perekonomian
Edition: January 2015


for complete article, please check this below link.
http://ekon.go.id/ekliping/view/tinjauan-ekonomi-dan-keuangan.1214.html#.VVlERfmqqko

Selasa, 20 Januari 2015

Ironi Pendidikan di Indonesia

Sesuai dengan amanat UUD 1945 pasal 31 ayat 1,2,3, dan 4, kemudian diikuti dengan UU No.20 2003 yang berbunyi dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20 persen dari APBN pada sektor pendidikan dan minimal 20 persen dari APBD.

Dana pendidikan saat ini telah menyentuh alokasi minimal 20 persen dari APBN sesuai amanat Undang-Undang. Pada 2013 anggaran pendidikan dialokasikan sebesar Rp.345,33 triliun. Di tahun 2014, anggaran pendidikan meningkat sebesar 6,5 persen menjadi Rp.368 triliun, anggaran tersebut terbagi atas porsi APBN sebesar Rp.130,27 triliun dan transfer anggaran pendidikan ke daerah sebesar Rp.238,69 triliun (dikutip dari laman Setkab, 3/12/2013 melalui www.kampus.okezone.com). Ironinya alokasi pendidikan yang besar sejak 2009 belum mampu mendorong pemerataan pendidikan yang berkualitas. Besarnya anggaran pendidikan tidak jarang menjadi jualan elit politik. Hal ini memperparah cita-cita pendiri bangsa ini untuk yaitu setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan yang dibiayai oleh pemerintah.

lengkapnya....klik link: http://www.ekon.go.id/ekliping/view/tinjauan-ekonomi-dan-keuangan.1143.html#.VL3I2NyUcb0 

Publikasi di Majalah Tinjauan Ekonomi dan Keuangan, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian 

Selamatkan Tanah dan Air Indonesia

Pemerintahan yang baru harus mampu menyelamatkan tanah dan air Indonesia dari ekploitasi besar-besaran, tetapi minim kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Amanat UUD’45 Pasal 33 jelas menyebutkan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan untuk kemakmuran rakyat. Namun, pratiknya dilapangan hal demikian tidak terjadi.

lengkapnya.... 
klik link: http://www.ekon.go.id/ekliping/view/tinjauan-ekonomi-dan-keuangan.1100.html

Publikasi di Tinjauan Ekonomi dan Keuangan, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian

Senin, 08 Desember 2014

Program Listrik 35000 MW

Publikasi Kompas, Senin, 8 Desember 2014

INSTRUKSI Presiden Joko Widodo di sektor ketenagalistrikan perlu mendapat apresiasi dalam meningkatkan penyediaan listrik mencapai 35.000 megawatt dalam lima tahun mendatang.

http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010291586

Senin, 31 Maret 2014

Mengembalikan Kedaulatan Pangan



Publikasi Bisnis Indonesia
Jumat, 28 Maret 2014

Di sisi lain ancaman serbuan pangan impor dan ketergantungan Indonesia terhadap impor pangan sangat terbuka tahun ini.





http://www.koran.bisnis.com/read/20140328/244/214800/bisnis-indonesia-edisi-cetak-jumat-2832014-seksi-utama

Selasa, 29 Maret 2011

SUARA MAHASISWA, Krisis Libya, Kepentingan atau Perdamaian?

Dimuat Harian Seputar Indonesia
Selasa, 29 Maret 2011

Berbagai negara memiliki pandangan sendiri mengenai perang di Libya, di satu sisi sepakat dengan sekutu dan lainnya menentang agresi yang dinilai berlebihan. Berbagai spekulasi pun merebak, mengingat Libya merupakan salah satu negara pengekspor minyak mentah terbesar di dunia.

Krisis Libya diawali dengan adanya aksi unjuk rasa menentang pemerintahan Muammar Khadafi yang selama puluhan tahun berkuasa. Kondisi yang sama sebelumnya terjadi di Tunisia dan Mesir. Aksi menuntut demokratisasi di Timur Tengah dan negara-negara Afrika menimbulkan gejolak politik yang mencekam. Badai unjuk rasa yang melanda Libya sebagai bentuk eskalasi politik yang terjadi selama puluhan tahun.Keinginan untuk menuntut kebebasan menjadi alasan masyarakat untuk melengserkan pemerintahan Khadafi.

Namun,badai unjuk rasa dibalas oleh Khadafi dengan hujan peluru yang menyebabkan puluhan hingga ratusan korban jiwa.Perang saudara pun tak terhindarkan. Kekejaman pasukan Khadafi yang terus membombardir pihak oposisi mendapat kecaman dari PBB. Selain itu, perang yang terjadi juga dapat dikatakan tidak seimbang, mengingat pihak oposisi hanya memiliki persenjataan seadanya. Geram dengan sikap Khadafi, PBB pun mengeluarkan surat larangan terbang bagi pasukan Khadafi.

Tidak hanya itu, pasukan sekutu yang terdiri atas Amerika Serikat,Inggris,Prancis,dan UEA yang terakhir bergabung juga berniat melumpuhkan pusat persenjataan Libya. Serangan membabi-buta sekutu terhadap Khadafi pun tidak luput dari kecaman.Sejumlah negara yang tidak tergabung dalam sekutu menganggap serangan sekutu ke Libya terlalu berlebihan.

Para analis perang bahkan menilai serangan sekutu bertujuan untuk menguasai ladang minyak Libya dengan kualitas dan salah satu yang terbesar di dunia. Selain itu, serangan sekutu pun melukai dan menewaskan sejumlah masyarakat sipil. Lalu, apa yang sebenarnya terjadi di Libya? Perdamaian yang diselimuti kepentingan atau kepentingan yang dilandasi perdamaian? Kita tunggu saja sampai perang berakhir.●

FELIX WISNU HANDOYO
Mahasiswa Fakultas
Ekonomika dan Bisnis
Universitas Gadjah Mada

Minggu, 26 Desember 2010

Lestarikan Lingkungan

Dimuat Harian Media Indonesia
Opini Publik
Senin, 20 Desember 2010
PERMASALAHAN banjir di Indonesia merupakan masalah klasik yang tidak pernah dapat teratasi dengan tuntas. Terutama terjadi di kotakota besar yang tersebar dari Sabang hingga Merauke. Minimnya pengetahuan tentang perencanaan tata ruang dan rendahnya kesadaran terhadap kelestarian lingkungan menjadi akar permasalahan banjir tidak pernah tuntas teratasi.

Kendati telah mengetahui permasalahan tersebut, pemerintah masih saja mengambinghitamkan tingginya curah hujan. Padahal masalah fundamental terkait dengan kelestarian lingkungan dan keseimbang an alam tidak pernah menjadi fokus perhatian. Sebagai negara yang diapit dua benua dan dua samudra, Indonesia memiliki dua musim yaitu kemarau dan penghujan.

Pada awalnya keseimbangan itu terjadi, dengan lahan terbuka hijau tumbuh subur di tanah Nusantara. Ketika kemarau tidak terjadi kekeringan dan ketika musim penghujan, daerah resapan air masih mampu menampung debit air yang turun ketika hujan.

Namun, fenomena itu kini telah musnah dan hanya kenangan. Pendirian gedung-gedung pencakar langit, pembangunan perumahan, perambahan hutan, tata ruang buruk, dan sanitasi yang tidak memadai menjadi alasan kuat banjir terus datang setiap tahunnya.

Data State of the World’s Forests 2007 dan The UN Food & Agriculture Organization (FAO) menyebut angka deforestasi Indonesia pada periode 2000-2005 mencapai 1,8 juta ha/tahun. Dengan laju deforestasi hutan tersebut, Guiness Book of The Record memberikan ‘gelar kehormatan’ bagi Indonesia sebagai negara dengan daya rusak hutan tercepat di dunia.

Dari total luas hutan di Indonesia yang mencapai 180 juta ha, Kementerian Kehutanan (sebelumnya menyebutkan angka 135 juta ha) menyatakan sebanyak 21% atau setara dengan 26 juta ha telah dijarah total sehingga tidak memiliki tegakan pohon lagi.

Hal itu menandakan bahwa jumlah hutan di Indonesia yang telah musnah mencapai 26 juta ha.

Rusaknya ekosistem dan keseimbangan lingkungan merupakan suatu bentuk minimnya kesadaran masyarakat akan kelestarian lingkungan. Kepentingan jangka pendek selalu mendominasi setiap tindakan dan kebijakan yang dibuat.

Alhasil, kerugian jangka panjang pun hanya menunggu waktu. Kondisi ini semakin diperparah dengan buruknya sanitasi, baik karena sampah maupun sedimentasi yang menurunkan daya tampungnya. Akibatnya, banjir pun menjadi langganan di sejumlah daerah di Tanah Air, terutama di kota-kota besar.

Felix Wisnu Handoyo
Mahasiswa Ilmu Ekonomi
Fakultas Ekonomika dan Bisnis, UGM