Opini Senin, 17 Mei 2021
Artikel lengkap bisa klik dilink ini Pekerjaan Rumah Usai Mudik
Sebuah makna dapat diungkapkan dengan kata-kata, melalui blog ini diharapkan sikap kritis tetap terus terjaga dan ditingkatkan, guna kemajuan Bangsa.
Artikel lengkap bisa klik dilink ini Pekerjaan Rumah Usai Mudik
Editor: Bestari Kumala Dewi
Penulis: Felix
Wisnu Handoyo
Publikasi 14 Maret 2021
Pandemi Covid-19 telah memukul semua sektor ekonomi dan non-ekonomi di
dunia maupun di Indonesia. Di Indonesia sendiri, sejak 9 Januari 2021 kasus
terkonfirmasi Covid-19 sudah menyentuh angka diatas 10.000 kasus per hari,
rekornya terjadi pada 30 Januari 2021 mencapai 14.518 kasus terkonfirmasi dalam
satu hari (Covid-19.go.id, 2020). Kendati sejak 11 Januari hingga 8 februari
2021, dan diperpanjang dengan PPKM mikro, pemerintah menerapkan Pemberlakuan
Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), faktanya tidak semata-mata mampu menekan
pergerakan masyarakat di Jawa-Bali. Kalaupun dampak PPKM tidak bisa tercermin
saat ini, setidaknya belum ada tanda-tanda penurunan aktivitas masyarakat di
wilayah Jawa-Bali.
Kalaupun dampak PPKM tidak bisa tercermin saat
ini, setidaknya belum ada tanda-tanda penurunan aktivitas masyarakat di wilayah
Jawa-Bali. Baca juga: Angka Kematian Akibat Penyakit Tidak Menular di Indonesia
Melonjak Di sisi lain, pandemi ini menyebabkan penanganan pasien dengan
penyakit selain Covid-19 menjadi less priority. Akibatnya, pasien non-Covid-19
sulit atau kadang enggan (jika tidak terpaksa) untuk mendapatkan fasilitas
kesehatan. Berdasarkan hasil survei Pusat Penelitian Ekonomi (P2E), LIPI
menunjukkan bahwa terdapat 403 responden rumah tangga (26,95% dari total
responden) dari total responden 1495 rumah tangga menyatakan, bahwa dalam rumah
tangganya setidaknya ada satu anggota keluarga yang mengalami masalah penyakit
tidak menular (NCD).
Artikel Lengkap dapat di baca dilink ini: Eksistensi Ancaman Penyakit Tidak Menular
Bisnis Indonesia, 2 Januari 2021
Harian Jogja, 8 Januari 2021 (jaringan Bisnis
Indonesia)
oleh: Felix Wisnu Handoyo
Kebocoran
sedikit saja dalam bantuan sosial memiliki dampak yang besar bagi kemanusiaan.
Kendati hanya sekitar 3% (Rp.10.000/paket bansos) jika dikalikan dengan total
nilai bantuan yang besar tentu akan memberikan nominal kebocoran tidak bisa
dibilang kecil. Hal ini yang terjadi pada dugaan korupsi dana bansos di
Jabodetabek yang menimpa mantan Menteri Sosial Juliari Batubara sebesar Rp17
Miliar (Kompas.com, 2020).
Permasalahan penyaluran bansos di
Indonesia memang masih menjadi isu yang belum memiliki solusi tepat.
Ketidaktepatsasaran selalu terjadi di tengah penyaluran bansos di Indonesia,
baik sebelum pandemi maupun ketika pandemi.
Selain
itu, penyimpangan dana bansos seperti korupsi pun menambah carut marut skema
penyaluran bansos. Saat ini pemerintah mencanangkan bansos pada 2021 akan
diberikan dalam bentuk bansos tunai di wilayah Jabodetabek. Kendati demikian
skema ini masih berpotensi tidak tepat sasaran. Pasalnya, skema ini tidak
membuka peluang bagi pemerintah mengontrol jenis pengeluaran yang bisa atau
tidak bisa dibelanjakan.
Selain itu, potensi penyelewengan
pun masih memungkinkan terjadi karena ada penyaluran bansos tunai melalui jasa
pengiriman. Permasalahan yang mungkin muncul ialah sulitnya men-tracing
penerima bansos tunai karena tidak adanya jejak digital.
Tentu permasalahan penyelewengan
dana bansos ini baik dari penggunaan yang tidak seharusnya,
ketidaktepatsasaran, atau aktivitas koruptif, akan menyebabkan dampak bansos
menjadi tidak sebesar yang diharapkan. Hasil penelitian Pusat Penelitian
Ekonomi (P2E) menunjukkan bahwa rumah tangga penerima bansos 74,4% memiliki
pendapatan di bawah Rp.4,8 juta/bulan.
Artinya, masih ada lebih dari 20%
penerima bansos yang memiliki pendapatan di atas Rp.4,8 juta/bulan juga
menerima bansos. Hasil kajian ini seolah mengonfirmasi bahwa
ketidaktepatsasaran program bansos di Indonesia selama pandemi masih cukup
besar, di luar masalah korupsi yang mungkin terjadi.
Lalu, apa yang seharusnya dilakukan?
Permasalahan bansos pada dasarnya
ada dua hal besar, yaitu ketidaktepatsasaran penerima bansos dan perilaku
koruptif dari penyelenggaran bansos. Ketidaktepatsasaran penerima bansos sangat
erat kaitannya dengan data kependudukan yang karut marut.
Selain itu, perilaku koruptif dari penyelenggara negara pun menambah buruknya
skema penyaluran bansos di Indonesia. Mengatasi permasalahan tersebut mau tidak
mau pemerintah Indonesia perlu memperbaiki data kependudukan yang tepercaya,
terbaru, dan terjamin kerahasiaannya.
Skema Adaptif
Strategi penyaluran bansos perlu
memiliki skema yang berkelanjutan dan adaptif, karena program bansos tidak
hanya diberikan pemerintah pada saat pandemi saja. Pada dasarnya pemerintah
telah memiliki basis data terpadu (BDT), tetapi tantangan dari data tersebut
ialah keterbaruan informasi, ketepatan informasi, dan kriteria masyarakat
penerima bantuan dengan kondisi tertentu.
Di sisi lain, masyarakat yang
berpotensi menerima bansos di tengah pandemi memungkinkan lebih luas dari data
BDT. Pada jangka pendek pemerintah perlu melakukan langkah-langkah strategis
agar penyaluran bansos lebih tepat sasaran.
Pertama, perbaikan skema
penyaluran yang transparan dan akuntabel. Permasalahan koruptif penyelenggara
negara terhadap program bansos karena tidak adanya informasi yang detail
terkait bantuan yang berikan. Pada kasus bantuan sosial nontunai (BNTP), tidak
ada rilis terkait dengan tipe dan jenis bahan pangan yang diberikan, akibatnya
kualitas BNTP dimainkan untuk mendapatkan selisih.
Kedua, perubahan skema BNTP ke
bansos tunai di wilayah Jabodetabek, harus dengan verifikasi dan validasi yang
ketat dan tepat. Ketiga, perlu adanya validasi tambahan data dan informasi
terkait penerima bansos tunai. Keempat, konsolidasi data yang dimiliki pusat
dan daerah untuk memastikan tidak ada penerima bansos yang ganda.
Sejak berlangsungnya program
perlindungan sosial, maka keandalan data kependudukan menjadi hal yang utama.
Mengingat program ini dilakukan secara regular dengan atau tanpa adanya
pandemi.
Pada jangka menengah dan panjang,
pemerintah perlu membangun basis data kependudukan yang andal dengan membuat
data base berupa nomor induk tunggal (NIT). Namun, untuk merealisasikan NIT
perlu persiapan yang matang, mulai dari peraturan, infrastruktur (keamanan
data) dan sumber daya manusia yang andal dan berintegritas. Keberadaan NIT akan
mampu merekam data pribadi seseorang secara menyeluruh.
Dengan data itu, pemerintah bisa
mengetahui identitas personal pekerjaan, pendapatan dan hal lainnya, yang bisa
menjadi dasar untuk melakukan intervensi berupa bansos baik tunai maupun
nontunai.
Selain itu, berbagai program
perlindungan sosial, seperti penundaan cicilan kredit, bantuan modal UMKM, dan
program prakerja dapat dilaksanakan dengan tepat sasaran. Maka, kebeberadaan
NIT penting sehingga kebocoran bansos, baik data yang salah maupun
penyelewengan bansos, pun dapat makin diminimalisasi bahkan dihilangkan.
Untuk cek sumber asli, klik link dibawah ini.
BisnisIndonesia, 2 Januari 2021
Peneliti Ekonomi LIPI menilai pinjaman Australia merupakan bentuk kepercayaan terhadap Indonesia dalam mengelola utang. Di sisi lain, pemerintah membutuhkan peraturan yang lebih fleksibel dalam hal penyerapan anggaran.
Pandemi COVID-19 memberikan beban berat bagi perekonomian seluruh negara di dunia, tidak terkecuali Indonesia. Namun sejumlah negara saling membantu menangani dampak dari pandemi, seperti yang dilakukan pemerintah Australia yang baru saja memberikan pinjaman sebesar 1,5 miliar dolar Australia atau sekitar Rp 15,4 triliun kepada Indonesia. Dana pinjaman ini diberikan untuk program respons aktif dan penanganan COVID-19 yang dipimpin oleh Bank Pembangunan Asia (ADB).
Menteri Keuangan Australia Josh Frydenberg menyatakan bahwa pinjaman tersebut mencerminkan masa-masa krisis kesehatan yang harus dihadapi bersama, sehingga pemulihan dapat terjadi di kedua negara.
Peneliti Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Felix Wisnu Handoyo melihat pinjaman yang diberikan Australia merupakan bukti bahwa pemerintah negeri kanguru itu memiliki kepercayaan terhadap Indonesia yang mempunyai track record baik dalam mengelola utang. Di sisi lain, market Indonesia adalah yang terbesar di Asia Tenggara, sehingga sangat memungkinkan hubungan Indonesia dan Australia ke depannya akan semakin erat.
baca selengkapnya dilink ini: LIPI: Pinjaman Australia
Publikasi di Kompas.com
Rabu, 5 Agustus 2020
Editor : Erlangga Djumena
Oleh: Felix Wisnu Handoyo
KENAIKAN iuran BPJS Kesehatan pada bulan Juli 2020 yang tertuang dalam Perpres No.64 Tahun 2020 merupakan pengulangan dari kebijakan pemerintah yang dibatalkan oleh Mahkamah Agung.
Meski, kenaikan iuran BPJS Kesehatan ini lebih rendah Rp 10.000 dibandingkan rencana awal yang tertuang pada Perpres No 75 Tahun 2019, untuk kelas 1 dan kelas 2, kecuali kelas 3 memiliki kenaikan iuran yang sama.
Di tengah pandemi Covid-19 kenaikan iuran BPJS Kesehatan memiliki makna beban ganda, karena tidak sedikit masyarakat yang kehilangan atau menurunnya pendapatan. Bahkan, tidak sedikit yang mengalami pemutusan hubungan kerja.
Namun demikian, pemerintah menyiapkan buffer bagi peserta pekerja bukan penerima upah (PBPU) dan bukan pekerja (BP) dengan memberikan subsidi sebesar Rp 16.500 hingga akhir 2020 dan Rp 7.000 pada tahun 2021, apabila teregistrasi pada peserta kelas 3.
Skema kenaikan iuran di tahun 2020, pada dasarnya lebih membebani peserta yang menjadi peserta BPJS Kesehatan untuk kelas 1 dan 2. Artinya, masyarakat kelas menengah ke atas yang dianggap memiliki kemampuan finansial yang lebih baik.
Meskipun demikian, lamanya periode pandemi pun tidak luput menghantam masyarakat kelas menengah terutama menengah bawah. Akibatnya, kenaikan iuran BPJS Kesehatan menuai sentiment negatif dari masyarakat secara keseluruhan, karena hampir semua level masyarakat ikut terdampak akibat pandemi ini.
Kendati kenaikan iuran BPJS-Kesehatan merupakan keniscayaan, tetapi kenaikan iuran saat ini bukan momentum yang tepat.
Artikel Lengkapnya dapat dibaca pada link di bawah ini: