Wilayah
perbatasan Indonesia sering terlupakan dari pembangunan, baik ekonomi, sosial,
budaya, dan manusia. Merasa terasing di negeri sendiri sering menjadi ungkapan
hati masyarakat yang tinggal disana. Tidak jarang gemerlap pembangunan negeri
sebelah lebih menyilaukan mata dan tidak jarang menawarkan masa depan yang
lebih baik. Entah negeri ini lalai atau tidak nyata-nya kasus Sipadan dan
Legitan menjadi contoh lepasnya masyarakat perbatasan ke negeri sebelah. Namun,
tak tidak jarang kecintaan warga perbatasan kepada Nusantara membawa mereka
bertahan dan Merah Putih tetap melekat di dada mereka.
Membangun
perbatasan Indonesia perlu dilakukan secara menyeluruh dan tuntas. Membangun
ekonomi, sosial, dan budaya tidak-lah cukup, justru membangun manusia-lah yang
harus dilakukan terlebih dahulu. Membuka akses keterisolasian masyarakat
terhadap pendidikan, komunikasi, dan informasi merupakan fondasi yang sering
terlupakan. Keterbatasan infrastruktur yang memadai juga membawa mereka sulit
untuk keluar dari keterisolasian. Selain itu, penyerobotan lahan (hutan adat)
tidak jarang menyebabkan warga perbatasan kian terpinggirkan di negeri ini. Indonesia
telah merayakan kemerdekaan yang ke-70 tahun seharusnya menjadi titik balik
bagi pemerintah untuk lebih intens dan inklusif membangun perbatasan.
Pembangunan yang diharapkan ialah yang berkelanjutan dan menyentuh akar
permasalahan, bukan hanya berdasarkan proyek saja.
Refleksi di wilayah perbatasan
Selama
dua belas hari, Tim Peneliti Ketenagalistrikan – LIPI melakukan penelitian
lapangan di wilayah perbatasan di Kec. Jagoi Babang, Kab. Bengkayang,
Kalimantan Barat (Agustus, 2015). Memang kehadiran kami di wilayah perbatasan lebih
fokus pada pembangunan sektor ketenagalistrikan perdesaan dan perbatasan serta Asean Power Grid (APG). Namun, kami juga
menemukan sisi lain dari masyarakat perbatasan, tidak hanya infrastruktur yang
minim, tetapi pembangunan manusia, seperti akses dan fasilitas pendidikan,
serta pelatihan pun masih jauh dari harapan. Alhasil, hanya sedikit dari warga
yang bisa mengenyam pendidikan hingga sekolah menengah dan tinggi.
Pembangunan
infrastruktur merupakan hal yang penting, namun jangan
hanya fokus pada infrastrukur sebagai penopang kehidupan bangsa. Sesungguhya
kualitas infrastruktur kehidupan sebuah bangsa semata-mata cermin kualitas
manusianya (Anies Baswedan). Membangun perbatasan pun harus dilakukan dengan
membangun manusianya melalui peningkatan askes pendidikan yang layak dan
berkualitas.
Pada
dasarnya sudah banyak program pembangunan yang telah berdatangan dan tidak
jarang yang silih berganti hilang tanpa bekas. Permasalahan keberlanjutan
sering menjadi permasalahan fundamental dalam membangun wilayah perbatasan. Selain
itu, pembangunan yang dilakukan masih bersifat fisik dan sektoral. Hal ini
berimplikasi pada pergeseran perilaku masyarakat yang cenderung sensitif dengan
program bantuan dari pemerintah. Sedikit demi sedikit meluruhkan semangat
kebersamaan yang telah tumbuh dalam komunitas masyarakat perbatasan. Alhasil,
malah mempersulit pembangunan di wilayah itu sendiri.
Meretas “Keterisolasian Modern”
Pemerintah
sebaiknya melakukan evaluasi atas berbagai program perbatasan berbasis sektoral
dan fisik saja. Ada ketiga hal yang perlu mendapat evaluasi terkait dengan
program perbatasan, yaitu apakah membuka akses keterisolasian (pendidikan,
informasi, aktivitas ekonomi, dan komunikasi), apakah program tersebut
benar-benar dibutuhkan, dan apakah program tersebut berkelanjutan? Ketiga hal
tersebut perlu menjadi permenungan program-program pembangunan di wilayah
perbatasan. Keberhasilan pembangunan sesungguhnya meningkatkan kesejahteraan
masyarakat bukan membuat mereka terangkap dalam lingkaran “keterisolasian
modern”.
“Keterisolasian
modern” merupakan jebakan atas variasi kehidupan modern yang tidak diikuti
dengan kesiapan mental, pengetahuan, dan pemahaman yang mendalam. Akibatnya,
masyarakat hanya terombang-ambing dalam pusaran kehidupan modern tanpa mengetahui
tujuan yang sesungguhnya ingin dicapai. Dimana cita-cita sesungguhnya dari
pembangunan ialah kesejahteran masyarakat tidak tercapai, melainkan hal
sebaliknya terjadi “keterisolasian modern” yang mereka dapatkan.
“Keterisolasian
modern” masyarakat perbatasan di Kab. Bengkayang tidak terlepas pula dari alih
fungsi hutan menjadi ladang kelapa sawit. Akibatnya, akses jalan, jembatan, listrik,
dan menara komunikasi kian menyuburkan “Keterisolasian modern”. Disisi lain,
degradasi lingkungan menyebabkan pemenuhan
kebutuhan dasar seperti air bersih, udara bersih, dan pangan semakin
sulit tercapai.
Untuk
meretas “Keterisolasian Modern” harus dimulai dengan membangun manusia melalui
pendidikan dan pelatihan. Membuka dan menciptakan akses pendidikan dan pelatihan
seluas-luasnya tidak berarti hanya membangun fasilitas fisik saja. Namun,
keberadaan tenaga pengajar yang berkualitas sangat diperlukan untuk mendukung
hal tersebut. Maka, ada tiga hal yang perlu menjadi perhatian untuk
merealisasikan pendidikan dan pelatihan yang komprehensif dan berkualitas,
yaitu institusi, insentif, dan infrastruktur. Institusi pendidikan pusat dan
daerah harus saling melengkapi untuk mendukung pembangunan manusia. Koordinasi
mengenai aturan dan standar pelayanan pendidikan yang baik harus dilakukan,
seperti jumlah sekolah, laboratorium, jumlah dan kualitas tenaga pengajar, dan
kurikulum.
Kedua,
pemberian insentif lebih bagi tenaga pengajar dan pendukung yang bertugas di
wilayah terpencil dan perbatasan. Insentif sebagai bentuk penghargaan atas
kerelaan dan kesediaan bertugas di wilayah tersebut. Bentuk insentif dapat
berupa kesempatan belajar lebih tinggi, ketersediaan fasilitas yang baik dan
menjunjang, dan pemberian gaji dan tunjangan yang lebih tinggi dari guru yang
bekerja di wilayah perkotaan.
Ketiga,
infastruktur penunjang lainnya, seperti akses jalan, jembatan, komunikasi dan
informasi pun harus tersedia dalam mendukung pendidikan dan pelatihan yang
berkualitas. Hal ini pun harus melibatkan kementerian dan dinas terkait dalam
merealisasikan pembangunan tersebut. Kebersamaan dan koordinasi antar
kementerian dan dinas harus terjalin dengan baik menjadi kunci keberhasilan
membangun infrastruktur penunjang.
Dengan demikian,
keberhasilan membangun manusia berkualitas akan diikuti dengan pembangunan
fisik dan ekonomi yang berkelanjutan. Tak pelak diusia 70 tahun Indonesia
merdeka, pemerintah harus mulai mengubah paradigma pembangunan dengan berbasis
pada peningkatan kualitas manusia. Hal inilah yang perlu menjadi refleksi
karena pembangunan manusia di wilayah terpencil dan perbatasan belum menyeluruh
dan inklusif. Padahal daerah terpencil dan perbatasan merupakan salah satu indikator
keberhasilan suatu negara membangun manusia dan menjaga kedaulatannya.
Publikasi di Majalah Cakrawala TNI AL edisi 430 Tahun 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar