Jumat, 17 April 2009

Menghindari Pecahnya Gelembung Konflik

Dimuat Seputar Indonesia
Friday, 17 April 2009
PASCA-Pemilu Legislatif 9 April lalu, banyak tersisa kegalauan.Ketakutan akan adanya konflik horizontal pascapemilu kian bermunculan ke permukaan. Dari protes partai politik hingga diragukannya hasil pemilu legislatif lalu.

Bentuk kekecewaan yang terakumulasi mengakibatkan munculnya gelembung konflik yang bisa pecah kapan saja.Kondisi tersebut jika tidak diatasi bisa mengancam stabilitas politik, sosial hingga perekonomian bangsa. Dibutuhkan langkah-langkah untuk menghindari munculnya gelembung konflik. Pertama,Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) harus tegas dalam menindak setiap pelanggaran pemilu.Tindakan tegas diperlukan untuk meningkatkan kepercayaan antarpartai akan penyelenggaraan pemilu yang jujur dan adil.

Selain itu,cara semacam ini juga bisa memberikan efek jera bagi partai beserta kader yang melakukan pelanggaran. Kedua,diperlukan kedewasaan partai dalam menanggapi setiap isu yang berkembang.Keadaan saat ini memang sangat rawan dengan isuisu politik yang sifatnya negatif. Untuk itu dibutuhkan kedewasaan dari partai dalam memilah-milah isu yang berkembang.Jangan sampai isu yang tidak bisa dipertanggungjawabkan merusak keutuhan dan stabilitas politik bangsa.

Ketiga,yang juga penting ialah adanya sikap lapang dada dari partai yang kalah dalam pemilu lalu. Sikap semacam ini yang perlu dimiliki setiap partai beserta kadernya dalam menerima kekalahan agar tidak muncul kaum oposisi yang dengki atas keberhasilan lawan politiknya. Sebagai negara yang besar dan penduduknya beraneka ragam budayanya, Indonesia memang berpotensi rawan konflik. Namun, potensi konflik dapat diredam jika seluruh rakyat Indonesia mampu kembali menyatukan tujuan yang tertuang dalam UUD 1945 dan Pancasila.

Ketiga langkah di atas bisa menjadi cara untuk menyatukan tujuan hidup berbangsa sehingga akhirnya konflik pascapemilu bisa diredam dan kemajuan bangsa bisa menjadi titik kemenangan dari penantian sosok pemimpin yang baru.(*)

Felix Wisnu Handoyo
Mahasiswa Ilmu Ekonomi
Fakultas Ekonomika dan Bisnis, UGM
Yogyakarta

Rabu, 08 April 2009

Upaya Mencegah Janji Palsu

Gelora jual janji dari parpol mulai semakin terasa sejak beberapa minggu lalu, ketika kampanye terbuka mulai di gelar menjelang pemilu legislatif 9 April mendatang. Dalam janjinya setiap parpol mengusung beberapa topic masalah yang akan di atasi ketika terpilih nanti. Adanya yang berjanji menggiatkan pemberantasan korupsi, meningkatkan kesejahteraan petani, menurunkan harga sembako, dan penanganan krisis global. Namun, akankah semua janji yang diutarakan parpol akan dilaksanakan ketika terpilih nanti?

Kecenderungan parpol yang menang dalam pemilu untuk ingkar janji memang terbilang sangat tinggi. Hal itu tampak pada beberapa pemilu sebelumnya, dimana presiden terpilih tidak mampu merealisasikan janjinya sewaktu kampanye. Dimana janji semasa kampanye yang akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, menurunkan angka kemiskinan, dan tingkat pengangguran. Hanya berada pada janji manis saja yang tidak pernah direalisasikan. Hingga saat ini rakyat Indonesia jauh dari sejahtera, kemiskinan relatif tetap, dan angka pengangguran cenderung mengalami peningkatan.

Wajar saja dalam pemilu kali ini sikap apatisme masyarakat menjelang pencontrengan 9 april mendatang sangat besar. Pasalnya, mereka menganggap siapapun presidennya taraf hidupnya tidak pernah berubah atau malah cenderung mengalami penurunan. Kondisi yang sangat ironis keadaan ini terjadi di negeri yang kaya akan sumber daya. Dimana kemakmuran hanya sebagai senjata para elite politik untuk dapat memperoleh kekuasaan di negeri ini, tanpa adanya keinginan untuk memajukannya.

Melihat kondisi yang sangat menyedihkan ini masyarakat Indonesia tidak boleh diam saja. Dibutuhkan upaya radikal yang bisa memaksa elite politik yang berkuasa untuk merealisasikan janji-janjinya sewaktu kampanye. Beberapa langkah yang bisa ditempuh untuk memperjuangkan hak rakyat.

Pertama, dengan membuat kontrak politik antara presiden terpilih dengan rakyat melalui DPR. Dimana kontrak politik berisi kesanggupan presiden terpilih merealisasikan janji-janji sewaktu kampanye. Selain itu, presiden terpilih harus meningkatkan kesejahteraan masyarakat, menjaga keutuhan NKRI, dan nilai-nilai luhur yang tertuang dalam UUD’45. Jika tidak mampu merealisasikannya bersedia untuk mengundurkan diri atau diturunkan dari jabatannya.

Kedua, pemerintahan yang berkuasa harus mampu memberikan perubahan kearah yang lebih baik. Jika diperhatikan hingga saat ini kondisi Indonesia masih dalam keadaan yang stagnan, tidak lebih baik dari pemerintahan yang lalu. Beberapa indikator ekonomi menyatakan hal demikian. Seperti tingkat inflasi, pertumbuhan ekonomi, pengangguran, dan kemiskinan.

Ketiga, perlu adanya target-target pembangunan yang harus dicapai pemerintahan berkuasa semasa jabatannya. Yang akan digunakan sebagai tolok ukur keberhasilan pemerintahan dalam memajukan bangsa. JIka tidak mampu mencapai target yang dibuatnya semasa kampanye, perlu adanya perjanggung jawaban dari pemerintahan tersebut. Bentuk tanggung jawab dapat berupa ganti rugi sejumlah uang, atau hukuman pidana karena tidak mampu menjalankan amanah dari UUD’45.

Dengan ketiga cara radikal semacam ini diharapkan rakyat tidak lagi ditipu oleh janji-janji elite politik. Selain itu, dengan adanya kontrak politik semacam ini rakyat memiliki bargaining power yang tidak hanya menerima ketika mereka dikorbankan atas kepentingan politik. Dengan pola semacam ini pula diharapkan agar elite politik akan berfikir panjang sebelum mengucao janji sehingga umbar jual beli janji yang marak saat ini tidak terjadi lagi. Yang akhirnya bisa membawa kejayaan bagi masyarakat melalui peningkatan taraf hidup masyarakat Indonesia.

Felix Wisnu Handoyo
Mahasiswa Ilmu Ekonomi
Fakultas Ekonomika dan Bisnis, UGM
Yogyakarta

Mekanisme Perlindungan Pahlawan Devisa

Harian Jogja

Selasa, 7 April 2009

Banyaknya jumlah penduduk yang mencapai 200 juta jiwa, membuat negeri ini tidak mampu menyediakan lapangan kerja yang layak. Kondisi itulah yang mendorong masyarakat Indonesia untuk mengais rezeki di luar negeri. Dengan harapan dapat meningkatkan taraf hidup, para TKI rela berpisah dengan sanak saudaranya dalam waktu yang relatif lama.

Hingga saat ini tercatat telah jumlah tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri mencapai 3 juta orang, dengan menyumbang devisa yang jika dirupiahkan mencapai 24 trilliun rupiah. Sayangnya perlindungan bagi pahlawan devisa ini masih sangat rendah, hal itu tampak masih banyaknya pelecehan seksual, penganiayaan, hingga pembunuhan TKI di luar negeri, yang tidak mendapat perhatian yang serius dari pemerintah. Kondisi yang sangat ironi, padahal dalam UUD’45 negara wajib melindungi warga negaranya.

Saat ini masih banyak TKI di luar negeri yang tidak mendapatkan perlindungan dari pemerintah. Beberapa kasus yang pernah mencuat menggambarkan betapa lemahnya perlidungan pemerintah terhadap warganya yang ada di luar negeri. Padahal adanya TKI di luar negeri tidak hanya meningkatkan devisa negara, tetapi ikut mengurangi angka pengangguran di dalam negeri. Melihat kondisi ini maka pemerintah berkewajiban meningkatkan perlindungan bagi warganya yang ada di luar negeri, khususnya TKI.

Perlindungan terhadap warga negara memang mutlak harus dilakukan oleh pemerintah. Di beberapa negara maju, seperti Amerika Serikat sangat perhatian terhadap warganya terutama yang berada di luar negeri sangat besar. Dimana negara wajib menjamin keselamatan, dan perlakuan yang diterima warga negaranya di luar negeri. Maka Indonesia harus mulai belajar bertanggung jawab dengan member perlindungan kepada warganya yang ada di luar negeri.

Mekanisme perlindungan TKI di luar negeri memang sangat memprihatinkan, bahkan banyak dari mereka yang illegal. Artinya tidak tercatat dalam departemen tenaga kerja dan transmigrasi. Untuk mengatasi hal tersebut beberapa upaya yang bisa dilakukan pemerintah Indonesia. Pertama, meningkatkan kerjasama atau hubungan bilateral dengan sejumlah negera yang menjadi tujuan para TKI. Dimana hubungan kerjasama memuat perjanjian yang dapat melindungi hak TKI di negara yang bersangkutan. Yang artinya pemerintah harus berani memastikan bahwa TKI mendapat perlakuan yang baik di negara tempat mereka bekerja. Dengan memastikan jaminan kesehatan, keselamatan, dan keamanan ketika bekerja.
Kedua, pemerintah harus mempermudah pembuatan paspor bagi pahlawan devisa ini.

Banyaknya TKI yang illegal memang tidak terlepas dari buruknya kinerja pemerintah mekanisme pembuatan paspor. Di mana pembuatan paspor bisa memakan waktu yang cukup lama dan biaya yang cukup besar. Hal itu tampak dari banyaknya calon TKI yang terlantar di penampungan hingga berbulan-bulan lantaran belum mendapatkan paspor. Peningkatan pelayanan paspor mutlak dimiliki oleh pemerintah Indonesia, mengingat jumlah TKI yang sangat besar.

Ketiga, adanya peningkatan pelayanan terhadap remisan (uang kiriman dari TKI kepada keluarganya yang di Indonesia). Hingga saat ini mekanisme pengiriman uang dari TKI ke keluarganya di Indonesia masih belum di kelola dengan baik. Hal itu jelas mempersulit TKI dalam melakukan pengiriman ke dalam negeri. Dimana negara harus menjamin bahwa remisan diterima oleh keluarga TKI yang mengirimkan uangnya. Perlindungan semacam ini merupakan perlindungan yang sifatnya intern (menyangkut dalam negeri).

Mekanisme perlindungan bagi pahlawan devisa mutlak harus dilakukan pemerintah Indonesia. Dimana TKI merupakan asset negara yang tidak hanya menyumbang devisa tetapi ikut mengurangi angka pengangguran. Harapannya melalui perbaikan mekanisme perlindungan TKI dapat ditingkatkan.

Perlakuan TKI di luar negeri menggambarkan harga diri bangsa. Untuk itu, sudah saatnya harga diri bangsa di jaga dengan meningkatkan perlindungan bagi pahlawan bangsa.

Minggu, 05 April 2009

Kontribusi Kaum Intelektual

Genderang politik menuju Pemilu 2009 semakin terdengar seiring semakin dekatnya hari pemilihan yang ditetapkan pada 9 April mendatang. Mulai banyak parpol yang menjual janji-janji untuk mendapatkan simpati rakyat. Menyikapi hal tersebut, masyarakat harus mulai selektif dalam memilih wakilnya di parlemen.

Permasalahan yang timbul dilapangan ialah masih banyaknya masyarakat yang mudah di pengaruhi oleh parpol dengan iming-iming janji dan pemberian berupa materil, baik dalam bentuk uang maupun bahan kebutuhan pokok. Geliat politik yang semakin panas memang membuat parpol melakukan berbagai macam cara demi mendapatnkan suara terbanyak.

Melihat kondisi yang semakin memprihatinkan, kaum intelektual (mahasiswa) harus berkontribusi dalam menyukseskan pemilu mendatang. Jika kontribusi dalam bentuk suara jelas tidak akan berpengaruh signifikan. Pasalnya, diperkirakan jumlah mahasiswa Indonesia saat ini sekitar 3,5 juta orang, hanya 1,6 % dari 210 juta penduduk Indonesia, atau jika dibandingkan dengan jumlah masyarakat yang memiliki hak pilih (sekitar 180 juta orang), maka persentasenya hanya 1,9 %. Untuk itu, sebagai kaum intelektual mahasiswa harus melakukan kontribusi lebih untuk pemilu mendatang.

Kontribusi yang bisa dilakukan sebagai kaum intelektual ialah dengan terlibat langsung dalam pengawasan dan penyadaran politik kepada masyarakat. Melalui kedua program tersebut diharapkan pemilu mendatang dapat lebih berkualitas. Selain itu, dicibir karena mahasiswa cuma pintar teori tapi miskin aplikasi dapat dihilangkan. Dengan kembali terlibat sebagai motor perbaikan bangsa melalui berbagai upaya positif dengan berfikir konstruktif dan solutif. Hidup mahasiswa.



Upaya Mencegah Janji Palsu

Gelora jual janji dari parpol mulai semakin terasa sejak beberapa minggu lalu, ketika kampanye terbuka mulai di gelar menjelang pemilu legislatif 9 April mendatang. Dalam janjinya setiap parpol mengusung beberapa topic masalah yang akan di atasi ketika terpilih nanti. Adanya yang berjanji menggiatkan pemberantasan korupsi, meningkatkan kesejahteraan petani, menurunkan harga sembako, dan penanganan krisis global. Namun, akankah semua janji yang diutarakan parpol akan dilaksanakan ketika terpilih nanti?

Kecenderungan parpol yang menang dalam pemilu untuk ingkar janji memang terbilang sangat tinggi. Hal itu tampak pada beberapa pemilu sebelumnya, dimana presiden terpilih tidak mampu merealisasikan janjinya sewaktu kampanye. Dimana janji semasa kampanye yang akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, menurunkan angka kemiskinan, dan tingkat pengangguran. Hanya berada pada janji manis saja yang tidak pernah direalisasikan. Hingga saat ini rakyat Indonesia jauh dari sejahtera, kemiskinan relatif tetap, dan angka pengangguran cenderung mengalami peningkatan.

Wajar saja dalam pemilu kali ini sikap apatisme masyarakat menjelang pencontrengan 9 april mendatang sangat besar. Pasalnya, mereka menganggap siapapun presidennya taraf hidupnya tidak pernah berubah atau malah cenderung mengalami penurunan. Kondisi yang sangat ironis keadaan ini terjadi di negeri yang kaya akan sumber daya. Dimana kemakmuran hanya sebagai senjata para elite politik untuk dapat memperoleh kekuasaan di negeri ini, tanpa adanya keinginan untuk memajukannya.

Melihat kondisi yang sangat menyedihkan ini masyarakat Indonesia tidak boleh diam saja. Dibutuhkan upaya radikal yang bisa memaksa elite politik yang berkuasa untuk merealisasikan janji-janjinya sewaktu kampanye. Beberapa langkah yang bisa ditempuh untuk memperjuangkan hak rakyat.

Pertama, dengan membuat kontrak politik antara presiden terpilih dengan rakyat melalui DPR. Dimana kontrak politik berisi kesanggupan presiden terpilih merealisasikan janji-janji sewaktu kampanye. Selain itu, presiden terpilih harus meningkatkan kesejahteraan masyarakat, menjaga keutuhan NKRI, dan nilai-nilai luhur yang tertuang dalam UUD’45. Jika tidak mampu merealisasikannya bersedia untuk mengundurkan diri atau diturunkan dari jabatannya.

Kedua, pemerintahan yang berkuasa harus mampu memberikan perubahan kearah yang lebih baik. Jika diperhatikan hingga saat ini kondisi Indonesia masih dalam keadaan yang stagnan, tidak lebih baik dari pemerintahan yang lalu. Beberapa indikator ekonomi menyatakan hal demikian. Seperti tingkat inflasi, pertumbuhan ekonomi, pengangguran, dan kemiskinan.

Ketiga, perlu adanya target-target pembangunan yang harus dicapai pemerintahan berkuasa semasa jabatannya. Yang akan digunakan sebagai tolok ukur keberhasilan pemerintahan dalam memajukan bangsa. JIka tidak mampu mencapai target yang dibuatnya semasa kampanye, perlu adanya perjanggung jawaban dari pemerintahan tersebut. Bentuk tanggung jawab dapat berupa ganti rugi sejumlah uang, atau hukuman pidana karena tidak mampu menjalankan amanah dari UUD’45.

Dengan ketiga cara radikal semacam ini diharapkan rakyat tidak lagi ditipu oleh janji-janji elite politik. Selain itu, dengan adanya kontrak politik semacam ini rakyat memiliki bargaining power yang tidak hanya menerima ketika mereka dikorbankan atas kepentingan politik. Dengan pola semacam ini pula diharapkan agar elite politik akan berfikir panjang sebelum mengucao janji sehingga umbar jual beli janji yang marak saat ini tidak terjadi lagi. Yang akhirnya bisa membawa kejayaan bagi masyarakat melalui peningkatan taraf hidup masyarakat Indonesia.