Jumat, 01 November 2013

Perlu Solusi Jangka Pendek bukan Menengah......

Pada awal bulan Agustus 2013 lalu, Presiden RI telah menyatakan bahwa Indonesia sedang menghadapi krisis ekonomi ditandai dengan perlambatan pertumbuhan ekonomi, perlemahan rupiah, dan membengkaknya defisit APBN. Ketidakstabilan ekonomi dalam negeri juga di pengaruhi oleh pernyataan Gubernur The Fed yang akan segera menarik stimulus ekonomi pada pertengahan 2014. Di sisi lain, membengkaknya defisit neraca perdangangan kian melebar dan kenaikan harga BBM semakin menggairahkan tingkat inflasi hingga menyentuh 8,61% (yoy) pada bulan Juli 2013.

Menanggapi kesehatan ekonomi domestik yang kian memburuk, pemerintah pada hari Jumat, 23/08 mengeluarkan 4 paket kebijakan stimulus ekonomi, yang terdiri atas beberapa hal, yaitu mendorong ekspor dan menekan impor, menjaga defisit APBN 2,38% dan pemotongan pajak, mengubah tata niaga daging dan holtikultura, dan mengefektifkan sistem layanan terpadu satu pintu perizinan investasi. Keempat paket kebijakan merupakan stimulus untuk menjaga kestabilan ekonomi dalam negeri di tengah gejolak kondisi makro saat ini.  

Kondisi perekonomian Indonesia saat ini memang sedang memburuk, defisit neraca perdagangan dari Jan-Juni 2013 tercatat USD 3,3 milyar. Nilai tukar rupiah berdasarkan data Bank Indonesia hingga 23 Agustus 2013 kurs tengah tercatat Rp.10.848/USD. Sedangkan, BEI mencatatkan penurunan IHSG mencapai 10,63% sejak awal bulan Agustus dan saat ini berada diposisi 4169,83. Data BPS pun kian mempertegas krisis ekonomi kian nyata dimana pertumbuhan ekonomi di triwulan II 2013 hanya sebesar 5,81%. Disisi lainnya, cadangan devisa Indonesia terus tergerus hingga menyentuh USD 92,671 milyar atau mengalami penurunan sebesar USD 16,109 milyar (14,82%) sejak Januari 2013.
               
Harga BBM dan Ketergantungan Impor
Pada dasarnya fundamental ekonomi Indonesia cukup kuat menghadapi ketidakpastian ekonomi dunia pada 2013. Pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2012 mencapai 6,23%, dimana sebesar Rp.1.442 trilliun (55%) masih ditopang oleh konsumsi rumah tangga, lalu diikuti oleh net ekspor mencapai Rp.1.005 trilliun (38,38%). Bahkan hingga Maret 2013, neraca perdagangan mencatat kondisi surplus sebesar USD 0,1 milyar. Inflasi pada periode yang sama tercatat sebesar 5,9%  pada Maret 2013 (yoy).

Memburuknya perekonomian Indonesia tidak terlepas kenaikan harga BBM dan ketergantungan impor yang kian besar. Kebijakan menaikkan harga BBM menjelang bulan puasa dan menyambut Idul Fitri memang seperti makan buah simalakama. Opsi menaikkan dan tidak menaikkan harga BBM memiliki konsekuensi yang tidak bisa dianggap enteng. Namun, pemerintah akhirnya mengambil opsi menaikkan harga BBM untuk menyelamatkan APBN dengan mengurangi subsidi BBM. Pasca kebijakan kenaikan harga BBM jelas akan meningkatkan inflasi di dalam negeri, mengingat BBM memliki efek multiplier yang sangat besar.
   
Disisi lain, ketergantungan impor kian tak terbentung lagi. Kelangkaan bawang merah, bawang putih, dan melonjaknya harga daging, kian menjelang bulan puasa dan lebaran. Tingginya permintaan dan minimnya suplai menyebabkan harga barang merangkak naik. Opsi Kebijakan impor menjadi satu-satunya langkah strategis jangka pendek yang dilakukan untuk mengatasi situasi saat ini. Akibatnya,  defisit neraca perdagangan kian tidak terbendung lagi.        
                
Kenaikan harga BBM dan kelangkaan barang kebutuhan pokok memicu kenaikan inflasi yang cukup besar. Data BPS menunjukkan inflasi pada bulan Juli 2013 mencapai 2,38%, tertinggi sepanjang tahun 2013. Tingginya inflasi di Indonesia memicu ketidakpastian pasar uang dan pasar saham, dampaknya IHSG meluncur bebas dan nilai tukar rupiah melambung tinggi terhadap dollar Amerika Serikat. Kondisi ini kian memberat ekonomi di Indonesia khususnya untuk pemenuhan kebutuhan bahan pokok yang harus di penuhi melalui impor. Akibatnya, kenaikan kurs dapat memicu inflasi yang lebih besar lagi dan menciptakan ketidakstabilan ekonomi makro domestik. Jika tidak segera ditangani dan terjadi berlarut-larut maka akan menyebabkan inflation trap, kondisi dimana inflasi yang ada menciptakan inflasi yang lebih besar dimasa mendatang atau hyperinflation.

Perlu Solusi Jangka Pendek
               
Empat kebijakan pemerintah dirasa belum mampu menutup potensi inflasi yang lebih besar. Belum ada langkah pasti menekan potensi inflasi yang besar akibat kelangkaan barang konsumsi. Meski nilai impor untuk barang konsumsi/primary goods hanya USD5,199 milyar (6,5% dari total impor) periode Januari-Mei 2013. Kelangkaan barang konsumsi ini menyumbang inflasi terbesar kedua setelah kelompok barang transpor, komunikasi, dan jasa keuangan masing mengalami kenaikan indeks pengeluaran mencapai 5,46% dan 9,60% di bulan Juli 2013. Alhasil, kurs terus tergerus di level yang cukup rendah, hal ini juga berpotensi meningkatkan inflasi karena banyak barang konsumsi yang dipenuhi melalui impor. Inflation trap pun dapat terjadi jika langkah taktis tidak dilakukan oleh pemerintah Indonesia.   

Lalu, apa langkah nyata yang perlu dilakukan oleh pemerintah Indonesia menghadapi potensi inflation trap?

Perlu ada langkah jangka pendek untuk menciptakan kestabilan ekonomi makro. Pertama, pemenuhan barang kebutuhan pokok melalui peningkatan produksi. Artinya, semua barang kebutuhan pangan yang bergantung pada impor perlu didorong pemenuhannya melalui produksi dalam negeri. Langkah jangka pendek yang dapat dilakukan, melakukan estimasi pemenuhan produksi dalam negeri dan memberikan pemotongan bea masuk serta subsidi jika diperlukan hingga periode tertentu (sampai produksi dalam negeri meningkat). Kedua, memberikan insentif berupa permodalan dan pelatihan bagi UMKM, khususnya yang bergerak dibidang pertanian untuk menggenjot produksi nasional. Berdasarkan data Komite KUR Kemenko Bidang Perekonomian penyaluran kredit tanpa agunan untuk sektor pertanian hingga Juni 2013 mencapai Rp.19,61 triliun atau 16,47% dari total pencairan KUR Nasional. Ketiga, pengalihan subsidi kepada angkutan umum dan barang, untuk menekan biaya distribusi akibat kenaikan BBM yang lalu. Ketiga, langkah taktis ini merupakan langkah jangka pendek yang dapat dan segera dilakukan pemerintah. Perhitungan yang matang dalam penerapan kebijakan dengan rencana produksi nasional akan mengamankan konsumsi domestik. Tentunya, akan menghindari Indonesia dari adanya potensi Inflation Trap.

Mengamankan pemenuhan barang konsumsi dan menekan biaya distribusi pangan nasional akan mampu mengendalikan inflasi dan akan mengembalikan kepercayaan masyarakat dan investor terhadap rupiah. Sebab keduanya menyumbang inflasi terbesar pada bulan Juli lalu dan memiliki kecenderungan meningkat di bulan Agustus.

Paket kebijakan pemerintah yang diumumkan akan efektif jika inflasi relatif rendah dan nilai tukar terkendali stabil. Pasalnya,  stimulus untuk mendorong ekspor akan berjalan efektif jika produksi dalam negeri baik barang konsumsi, setengah jadi, atau barang jadi telah meningkat (skala produksi meningkat). Artinya, ada kelebihan produksi yang tidak mampu terserap di dalam negeri.  Selain itu, kebijakan mengenai perbaikan tata niaga daging dan perizinan investasi baru akan dirasakan manfaatnya ketika kegiatan usaha mulai beroperasi dan penetapan aturan main telah dibuat. Lagipula, investasi yang masuk ke Indonesia akan kembali keluar negeri karena impor Indonesia terbesar untuk sektor bahan baku penolong mencapai USD 60,36 miliar dan baru dirasakan manfaatnya untuk masa mendatang. Disisi lain, pemotongan pajak dan menjaga defisit APBN dilevel 2,38% dari PDB, tidak akan dirasakan oleh masyarakat secara langsung dan tidak mampu mengendalikan harga dipasar. Maka, pemerintah Indonesia perlu melakukan langkah taktis jangka pendek. Sebaiknya tidak menerapkan kebijakan jangkan menengah untuk menyelesaikan permasalahan jangka pendek.

Untuk itu, langkah utama yang perlu dilakukan pemerintah mengamankan pemenuhan barang konsumsi dan distribusi untuk kebutuhan dalam negeri. Keberhasilan menekan inflasi akan memberikan dampak positif terhadap permintaan rupiah di pasar uang. Alhasil, inflasi terkendali dan kurs kembali pada level keseimbangannya. 

Kamis, 20 Juni 2013

Gama Leading Economic Indicator FEB UGM

Laporan Gama Leading Economic Indicator dari Jurusan Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomika dan Bisnis, UGM. Tema kali ini: 'Perekonomian Tersandera Subsidi BBM'. Ulasan selengkapnya dapat didownload gratis di website berikut: http://macroeconomicdashboard.com/download/2013/IERO2013Q2.pdf

To be informed to all stakeholders such as students, researchers, policy makers, and people of Indonesia, are about research of hiking oil price. Hopefully it can be reference to stakeholders real understand behind and historical process why oil price have to rise.  


Senin, 03 Juni 2013

Penguatan Diversifikasi Pangan Berbasis Kearifan Lokal

Tidak terkendalinya harga pangan lokal dan membanjirnya pangan impor menimbulkan permasalahan sosial sendiri bagi ketahanan pangan nasional. Sebagai negara agraria Indonesia seharusnya memiliki kemampuan pertahanan pangan yang baik. Namun, hal itu sirna sejak Orde Baru melakukan penyeragaman pangan nasional. Hal ini seolah menjadi kebiasaan masyarakat yang sudah tertanam sejak puluhan tahun. Akibatnya kegagalan panen akibat perubahan iklim menjadikan krisis pangan kian nyata. Maka, penguatan kearifan lokal pangan nasional menjadi penting ditengah ketidakstabilan harga pangan lokal.
            Hampir punahnya kearifan lokal pangan nasional tidak terlepas dari peran pemerintah Orde Baru. Penyeragaman pangan menjadi program nasional yang diterapkan diseluruh wilayah nusantara. Hal ini berdampak pada perubahan pola konsumsi masyarakat Indonesia. Akibatnya, keterbiasaan mengonsumsi aneka pangan seperti singkong, jagung, sagu, ubi jalar, dan talas, hilang yang kemudian digantikan oleh beras sebagai bahan pangan utama. Ketergantungan pangan pada satu jenis (homogeny) dan membanjirnya pangan impor menjadikan Indonesia tamu di negeri sendiri.
            Kejadian melambungnya harga daging sapi dan bawang menunjukkan ketahanan pangan nasional sangat rentan. Padahal dengan segala kekayaan alam yang miliki Indonesia seharusnya mampu menciptakan ketahanan pangan nasional. Untuk itu, pemerintah perlu membuat kebijakan strategis nasional untuk mengamankan pasokan pangan nasional. Penguatan pangan berbasis kearifan lokal perlu menjadi program nasional dengan mengedepankan pada diversifkasi pangan. Konsep diversifikasi pangan bukan merupakan hal yang baru, namun perlu kembali dibudayakan untuk mengantisipasi gejolak harga dan ketergantungan pada pangan impor.
            Williem, L., dkk (2011) dalam penelitiannya yang berjudul Pola Spesialisasi Perdagangan Indonesia dengan Jepang dan Cina, menunjukkan bahwa Indonesia memiliki keunggulan komparatif terhadap Jepang dan Cina masih berbasis bahan-bahan mentah dan berbasis sumber daya alam. Artinya, Indonesia masih memiliki potensi untuk mengembangkan ketahanan pangan nasional berbasis kearifan lokal. Untuk mengembalikan kejayaan pangan nasional pemerintah perlu berbenah diri dengan kembali melakukan penganekaragaman pangan. Diversifikasi pangan nasional perlu segera dilakukan tanpa mengabaikan program swasembada pangan.
Secara perlahan masyarakat perlu Indonesia diajak kembali menerapkan pola pangan zaman sebelum orde baru. Dimana masyarakat Sulawesi, Maluku, dan Papua kembali mengandalkan sagu sebagai bahan makanan utama. Selain itu, masyarakat Jawa dapat kembali mengonsumsi tanaman palawija, seperti singkong, kentang, dan ubi.  Hal yang sama perlu dilakukan pada daerah lainnya, di mana keanekaragaman kebutuhan pangan menjadi fokus utama. Dengan tujuan untuk mengurangi ketergantungan pada satu jenis komoditas pertanian saja. Apalagi ketidaktentuan cuaca karena perubahan iklim tidak jarang memicu terjadinya gagal panen. Selain itu, langkah ini merupakan salah satu cara meredam ketergantungan Indonesia terhadap pangan impor.

Diversifikasi pangan berbasis kearifan lokal
            Diversifikasi pangan merupakan upaya mengembalikan kedaulatan pangan nasional. Hal ini harus diiringi dengan pengembangan berbasis kearifan lokal. Artinya, pola diversifikasi pangan harus mengacu pada penggunaan bahan baku dalam negeri seperti bibit, pupuk, dan pembasmi hama. Tujuannya, untuk mengurangi ketergantungan pangan terhadap impor. Maka, penelitian dan pengembangan bahan baku dan produk pertanian harus menjadi satu kesatuan rantai pangan sehingga mampu meningkatkan kemandirian berbasis kearifan lokal.
Meskipun diversifikasi pangan bukan merupakan program baru, program ini merupakan langkah jitu untuk meredam gejolak pangan dunia dan nasional ditengah ancaman perubahan iklim. Selain itu, diversifikasi pangan menjadi cara mengembangkan kearifan lokal melalui pengoptimalan sumber daya yang ada. Tidak hanya itu Rao et al (2004) mengatakan bahwa diversifikasi usaha pertanian dapat sebagai strategi pengentasan kemiskinan, peningkatan lapangan kerja, konservasi lingkungan, dan meningkatkan pendapatan usaha tani.
Implementasi diversifikasi pangan berbasis kearifan lokal memerlukan strategi dan komitmen yang kuat dari pemerintah, petani, pengusaha, dan masyarakat. Keberhasilan program ini memerlukan kerjasama dan koordinasi yang dikuat dari berbagai pemangku kepentingan. Dimana pemerintah memegang peranan penting dalam membuat kebijakan yang pro pertanian lokal. Artinya, sinkronisasi dan koordinasi kebijakan menjadi hal yang penting agar tidak saling kontradiktif. Sedangkan, petani dan pengusaha perlu mendukung pengembangan pertanian berbasis kearifan lokal. Kecenderungan menggunakan produk impor perlu secara perlahan dikurangi. Sebaliknya, perlu adanya sikap nasionalisme dalam melakukan pengembangan pertanian. Dukungan masyarakat Indonesia menentukan keberhasilan pelaksanaan diversifikasi pangan sebagai program nasionalisasi pertanian. Dengan membeli dan mengonsumsi produk pertanian dalam negeri.
Keberhasilan pelaksanaan diversifikasi pangan berbasis kearifan lokal tidak hanya mampu meningkatkan ketahanan pangan nasional. Namun, juga mampu mengembalikan kedaulatan Indonesia sebagai negara agraria yang kuat dan mandiri. Selain itu, program diversifikasi pangan dapat mengembalikan budaya pangan nasional yang beranekaragam dan rupa. Dengan demikian, pelaksanaan program ini merupakan kunci keberhasilan Indonesia dalam menciptakan kemandirian dan kebudayaan pangan nasional.   

Tantangan Penganekaragaman Pangan
            Belajar dari pengalaman sejarah pembangunan pertanian di Indonesia, pelaksanaan program diversifikasi usahatani telah diperkenalkan sejak orde baru. Politik kepentingan pemerintah yang lebih mengutamakan swasembada beras menyebabkan pelaksanaan diversifikasi usahatani tidak berkelanjutan dan tanpa petunjuk yang jelas.  Akhirnya, pemerintah memprioritaskan produksi padi untuk mencapai swasembada (Siregar dan Suryadi, 2006). Saat itu diversifikasi usahatani seakan menjadi ancaman besar bagi program pemerintah ketika itu, yaitu intensifikasi pertanian. Hal ini berakibat pada homogenitas konsumsi yang menitikberatkan pada satu atau beberapa komoditas pertanian saja.
            Beralih ke masa reformasi yang telah berlangsung selama 14 tahun juga belum mampu mengembalikan kejayaan Indonesia sebagai negara agraria. Melonjaknya harga daging sapi, bawang merah dan putih, kedelai, dan cabai. Menunjukkan bahwa selama orde reformasi sistem pembangunan pertanian di Indonesia jauh dari harapan. Permasalahan koordinasi dan komitmen dalam memajukan pertanian domestik jauh dari kata sempurna. Bahkan ada kecenderungan berjalan sendiri-sendiri tanpa koordinasi yang jelas untuk setiap lini pemangku kebijakan di sektor pertanian.
Selain itu, terdapat tantangan teknis dalam pelaksanaan diversifikasi pangan berbasis kearifan lokal di lapangan. Menurut Pingali (2004) terdapat empat faktor yang menjadi kendala pengembangan diversifikasi tanaman pangan. Pertama, sifat petani yang cenderung menghindar dari risiko (risk aversion). Kedua, adanya masalah kesesuaian dan hak atas lahan, maksudnya tidak semua lahan pertanian cocok untuk mengembangkan diversifikasi usahatani. Ketiga, infrastruktur irigasi yang tidak sesuai dengan sehingga menghambat terjadinya diversifikasi usahatani.  Keempat, ketersediaan tenaga kerja yang cukup besar menjadi kendala bagi penerapan diversifikasi usahatani. Pasalnya, kebutuhan tenaga kerja dalam penerapan pola diversifikasi membutuhkan tenaga kerja yang lebih besar. Meskipun, di sisi lain penyerapan tenaga kerja mampu menekan angka pengangguran dan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Gerakan Penganekaragaman Pangan Nasional
            Gerakan Nasional Penganekaragaman Pangan (GNPP) bisa menjadi solusi di tengah homogenitas pangan. Artinya, gerakan ini merupakan suatu cara penyadaran kepada semua pihak akan pentingnya diversifikasi pangan.              Sebab keterlibatan semua pihak menentukan tingkat keberhasilan program ini. Namun, untuk merealisasikan Gerakan Nasional Penganekaragaman Pangan memerlukan keberpihakan pemerintah sebagai pembuat kebijakan pangan nasional. Dukungan kebijakan nasional terhadap penganekaragaman pangan dapat menjadi dasar pelaksanaan program ini. Harapannya ke depan ada cetak biru terkait cara dan pelaksanaan GNPP sehingga memberikan gambaran luas target capaian program.
            GNPP merupakan salah titik cerah membangkitkan kemurungan pangan nasional dari gejolak harga, perubahan iklim, dan ketergantungan impor. Maka, GNPP perlu mencakup tiga hal utama dalam penerapannya di lapangan. Pertama, gerakan nasional penanaman penganekaragaman pangan merupakan langkah awal untuk memberikan kesadaran akan penerapan diversifikasi usahatani. Jika kita bayangkan hal ini merupakan bagian hulu dari rantai produksi tanaman pangan nasional. Artinya, semua pihak yang terlibat memiliki tanggung jawab untuk menanam berbagai macam tanaman pangan. Kedua, gerakan pengembangan dan peningkatan produksi pertanian merupakan cara untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi bibit, pupuk, dan pembasmi hama berbasis produk dalam negeri. Ketiga, gerakan penyadaran penganekaragaman pangan merupakan suatu bentuk sosialisasi dan penyadaran pentingnya mengonsumsi berbagai produk pangan. Hal ini untuk memberikan pemahaman dan penyadaran pentingnya melakukan variasi pola konsumsi pangan. Ketiga program ini merupakan satu kesatuan pelaksanaan GNPP untuk menciptakan kemandirian dan ketahanan pangan nasional.

            Penguatan diversifikasi pangan berbasis kearifan lokal merupakan langkah maju dalam mengembangkan pertanian pangan di Indonesia. Sekaligus menjadi dasar pijakan bangsa Indonesia kembali pada kebudayaannya. Dimana Indonesia dikenal sebagai agraria dengan berbagai macam keanekaragaman pangan. Keberhasilan dalam penerapan program GNPP merupakan upaya penguatan terhadap ketahanan pangan dan melestarikan kebudayaan Indonesia melalui pelestarian keanekaragaman pangan Nusantara.       

Jumat, 31 Mei 2013

When Fuel Price Must be Raising.......

So many researches were borned before government to decide raising fuel on middle of 2013. Researcher’s team from 3 top rank university had ever been recommended three ways for government created optimal fuel subsidize policy. First, the team proposed to raise fuel price for Rp.500,00, and realocation subsidize to public transportations. It could be compensation and vague potential infaltion to be higher. Second, all of users of private transportation have to move from premium (RON 88) to pertamax (RON 92). It’s cleared to reduce fuel subsidize. Third, we could be used fuel consumption controlled system to restrict over demand. But, since the team proposed recommendation around on middle of 2011, there’re no one of recommendation to propose parliament. At the end, results of comprehensive research had never been based government to make policy for fuel prices.

Now, after almost 2 years, the government have to create new policy about fuel price. Adjusment price need to do now, cause fuel subsidized around Rp.297,7 T or 46,01 million kilo litres, cause its makes heavy use for national budget. With total of subsidize around Rp.446,8 T or 26 % of national budget. This means budget for subsidize over than education budget, its shows possibility misallocation of national budget. Because many studies had been showed almost 70% fuel subsidize to give benefit for middle to rich people and the rest felt of poor people. By rational its makes sense the owner of private transportation only for both of middle and rich class. However there’re consequency created new poor people if fuel price have to raising. I think it’s interesting, the government in the middle position, the dilemma for regulator commonly happened so Indonesia can learn by western countries when they’re made policy to reduce fuel price subsidize.

I believed almost economists know consequencies when fuel price raising. So, always there’re solution to compensate fuel price raising. We can say the government too late, if they just understand to raise fuel price are important. In spite of that Government should prepare all of possibility happened after fuel price raising. Still be better late rather than steady on keep fuel price on Rp.4.500. However, discussion within government and parliament, just will schedule on middle of May 2013. We hope the discussion can be created optimalized policy about fuel price. And it’s more important to know consequencies after implementation of policy. So, the anticipation can be early to reduce bad impact for Indonesia economy. If economic interest still has been prioritized rather than politics, we believe fuel price raising has been optimal policy, but they must decide how much price have to increase? It’s still on debate able within of them.

Consequencies of fuel price increasing

Now, Indonesia has got economic growth 6,2 % on 2012, its second best growth after China cause global economics is still on suffered, just created growth 3% under normal criteria realeased by IMF. As second best growth perfomanced in the world, Indonesia has been interesting point for foreign investor come to invest. Indonesia has not only been good economic performance, but also Indonesia offer high yield for investor rather than other countries, even some contries has been yields near 0%. So, as country with investment grade rating bring consequencies for fundamental economy. At the end, Indonesia has to be ready to welcome demand for capital product, consumption (fuels, food stuff, etc), and others, will increase and bring consequencies for domestic economy. One of phenomena today is about trend of increasing fuel subsidized consumption each years. It’s one impact of economic growth of Indonesia. I think its common phenomenon when economic growth drive increasing consumption, investment, government expenditure, and net export.
In Economics Studies, when planned aggregate expenditure lower than aggregate expenditure, they will increase spending until closed equlibrium point. Indonesia has been higher equilibrium point cause component likes government expenditure, public consumption, and investment, increase in same times and create new equilibrium. At the end, economic expansion will be moved toward new equilibrium point. So, the government has to adjust fuel subsidy price because subsidized allocation in national budget nearby 50 percent. It’s critical situation, in other side government has to allocate budget to suport investment and industry facilities such as infrastructures, power plants, and research and development. So, government must take position to increase fuel price and to reduce fuel subsidy, i think its will be smart policy because we can reallocate budget to other sectors surely give more benefit for Indonesia’s Economy.

Now, increasing fuel subsidy price have to do immediately. Because every industry needs certainty supply of fuel, to grow their business. That’s why to suport the high intensity of economy condition, policy for increasing subsidy fuel price need to do as soon as possible. However, the policy will has some consequencies for Indonesia’s macroeconomy. First, Increasing fuel price has got to drive higher inflation. it means production cost will be increasing too in line with fuel price. At the end, price product will increase following fuel price as input factor of production. Second, increasing fuel subsidy price will be brought down willingness to pay for people. Without growth of income, increasing fuel subsidy price will potential reduce willingness to pay. At the end, people welfare are down because purchasing power of money being down too. Third, the policy will create potential new poor people. With higher of inflation and downing of purchasing power are indicators to know potential wideness of poor people.


But, for this situation government don’t have to worry because many social program has been built to reduce and strengthen people life around and under poverty line. we know about Jamkesmas, program keluarga harapan (PKH), raskin, bantuan siswa miskin (BSM), PNPM Mandiri, bantuan operasional sekolah (BOS),  and kredit usaha rakyat (KUR). All programs have been run for some years ago, it means these programs have been giving benefit to people. So, with assume these programs can run optimal, i believed that increasing fuel subsidy price can not  disturb Indonesia economy  stabilize in the long run. Intead of the policy to increase fuel subsidy price can keep momentum growth domestic economy. At the end, no space reason for government has not to increasing fuel subsidy price, except if parliament disapproved.    

Kamis, 25 April 2013

What does impact of MP3EI to accelerate and expand Economic Development?


When we knew MP3EI has been tremendous program to accelerate Indonesia Economic Development. MP3EI used to approach by sectoral and geographic has been emphasize with economic corridor.  This plan has been run middle of 2011 launched by President Republic of Indonesia. And, end of May 2013 MP3EI will celebrate for 2nd Anniversary since launched. So, what we’ve got impact of economic accelerating and expansion program?

In gradually, Government launched success story where are projects groundbreaking and inaugurating. By KP3EI as committee in charge to make sure project can be run, launched total investment project groundbreaking and inauguration around IDR 626 T, with composition real sectors with IDR 348 T and infrastructures around IDR 278 T. The achievement so far away from target where’s realisation projects until 2014 around 4000 T both of real sectors and infrastructures. It means government has to pursue implementation investment including in MP3EI until IDR 3374 T. I think is almost impossible implementation of projects run as like target in MP3EI document on 2014. At the end, MP3EI has still been minimalize impact for Indonesia’s Economic Development.

Minimalize impact of MP3EI for Indonesia Economic Development because KP3EI has not been “optimalized” to acclerate debottlenecking for all of projects. At the end, to many projects cann’t be run and operational on schedule both of infrastructures and real sectors. There are some bottlenecking for KP3EI to accelerate projects in MP3EI. First, KP3EI is not super power agency and has not been authority to decide and make a policy for debottlenecking projects. At the end KP3EI is just administrative agency where has worked to compile all of projects, bottleneck including in projects, and coordination function to connect within ministry or agencies. Second, “Not Business as Usual” is only jargon can not push all government ministry and or agencies to work more for accelation and expansion economic development. In MP3EI’s document spirit development had been sounded but it did not impact to government to do more. Eventually, economic acceleration and expansion can not be implemented on the target.

Third, KP3EI has been problem with coordination both internal (for each secretariat corridors) and external (within other institution). Bad coordination for Indonesia’s Government is not new thing, that why many programs created dan run can never create optimalize results. And, KP3EI is part of bad coordination in Indonesia’s Government. For example, with spirit “not business as usual” KP3EI should have clear agenda to accelerate and bottleneck projects. In fact, KP3EI can be run what should they do? At the end, we know the results of implementation projects so far from target in MP3EI’s document. Bad Coordination creates higher “cost of time lag of investment” its makes distortion economy than good coordination.

When we think about impact of MP3EI for Indonesia Economic, we can say MP3EI has been benefited for economic development. But it’s performed so far from being supposed. And then, minimalize contribution so creates minimalize benefit for Indonesian people. We talk about contribution to growth by some simply research MP3EI can create growth 0,5-1% over than before. The asumption is all projects including in MP3EI can run and operational on schedule. In fact, it’s assumption can not be required and has been potential down over than expectation. With minimilize realisation investment projects both infrastructures and real sectors, MP3EI is so far from spirit of economic development. If contribution for growth so little, how come to increase Indonesia people welfare? Eventually, with or without MP3EI, Indonesia still has high growth cause fundamental Indonesia economy today is very strong. But the question mark who’s got benefit from the high growth? I think still on few people Indonesia but they got high share of GDP.


published to in this link: http://ekonomi.kompasiana.com/moneter/2013/04/25/what-does-impact-of-mp3ei-to-accelerate-and-expand-economic-development-554752.html

Jumat, 19 April 2013

What we should do impact evaluation for MP3EI ????



Indonesia’s economic development has made tremendous progreses in some last decades. Basic economic foundation still on agriculture and raw material, now Indonesia has a little bit moved to Industrial economic. However, shared from agriculture still dominant in Indonesia Economic. It means as developing country, Indonesia has been economic potential to raising in the future. Now, Economic activities has focused toward manufacturing and services oriented industry. It’s focused can be improved the nation’s prosperity, which reflected by per Capita Income (PCI), Human Development Index (HDI). Data statistics show from 1980 to 2010, HDI to increase from 0.39 to 0.60, PCI increase from USD 1,318 to USD 3,004.  
In International forum Indonesia has been a much bigger role in global economy. Currently, Indonesia ranks 17th as the largest in the world. In some regional and global forum, Indonesia has been strategic position as emergency country not only in ASEAN, East Asia, and APEC, but also in G-20 and others forum. Indonesia had successfully passed away global economic crisis in 2008, which was kept growth still on positive around 4.3%, it’s brought Indonesia had praised by International agencies. And after some years later, Indonesia has showed great progresses in economic condition, the nation’s had been raising debt rating in investment grade by international debt rating agencies.
Indonesia has big dream to be developed country 2025, so, the nation’s need to prepare Masterplan for Acceleration and Expansion of Indonesia Economic Development (MP3EI). For realize the dreaming, there are some challenges that need to resolved. The domestic dynamic and global economy requires Indonesia can be used all their resources and ready for any change. The effective and efficient are keys to make Indonesia to be developed countries. So, debottlenecking and bureaucracy reform still have been working for the government.
The vision in MP3EI has been making Indonesia to be developed country in 2025. Through acceleration and expansion of economic development, can be increasing the quality of Indonesia’s human development with high income and purchasing power, as well as improved equality and quality of life whole nation. So, hardworking and smartworking by government to accelerate and expand economic development needed. To implementation of MP3EI as document to be realized, need sinergize with all stakeholder, such as goverment as regulator, investors, parliamenter, and all of parts involved in.
Now, MP3EI has been working since middle of 2011, many achieving to realize by groundbreaking and inauguration of the projects. Government was launched 2011 main sectors 58 project with valued Rp 239 trillion, and in 2012 launched 34 projects with valued Rp 109 trillion, since MP3EI be launched in 2011 MP3EI can be realizing and ensuring implemented 92 projects with valued Rp 348 trillion, these are projects without infrastructures. For infrastructures the government’s launched total projects 99 with valued Rp 278 trillion, its spreads in all corridor economic in MP3EI. In 2011 infrastructures projects was launched 59 projects with valued Rp 196 trillion and in 2012 was launched 40 projects with valued Rp 82 trillion. There are showed implementation project in MP3EI since launched by President Indonesia of Republic in 2011.
We need to evaluate  impact of MP3EI contribution for economic development since launched. MP3EI has been targeted with PCI of USD 14,250-USD 15,500 with total GDP of USD 4.0-4.5 trillion by 2025. Where’s, Indonesia needs real economic growth of 6.4-7.5 percent is expected  for period of 2011-2014 (MP3EI’s document). This economic growth has to follow with decreasing inflation from 6.5 percent in 2011-2014 to 3 percent in 2025. The combination of  low inflation and high growth economic are showing characteristics of a developed country. That’s why impact evaluation of MP3EI has to do it for ensuring implementation program on the target. 

Rabu, 17 April 2013

Dynamic Urban Life in Jakarta


Since 2007 in the past, and I’m back to Jakarta for first time after completed my study in Yogyakarta, jakarta still likes common metropolitan with its social problem. Crime, poverty, traffic jam, chaotic, hardness, and other always be face Jakarta city. With almost 10 million people in 2010, Jakarta likes timing Boom, we only wait blow up at the time. People always ready anytime to prepare safely physics and mind to fight with the hardness jakarta’s condition. The condition drive jakarta’s people be hard before bet hitting back from others. “Kill to kill, destroyed to destroyed , and greediness” like drawing jakarta’s life. Who’s stronger and easy adopted will survive? I guess its right designation our city (Jakarta).
The big question is why the people interestly coming and fighting in Jakarta? What’s wrong with Indonesia development? In the remains of Jakarta glory, i think Jakarta is not already comfortable city for live. What’s the people only pursue money and glory of modernity from jakarta offer? Actually, may be jakarta not comfotable city, but its still be better than others city in Indonesia. i think it’s make sence short reason for new comers and incumbent still lliving in Jakarta. And, it will be one of the reason for people still stay in Jakarta.
When looks jakarta and Indonesia’s problem, we can devide in two part, first, about Planning Economic Development in Indonesia and second, life style in modern people’s live in city offer satisfaction of the world (changing from convensional to modern life style). First, Planning Economic Development Indonesia still in partial development, at the end create inequality from island by island, province by province, and district by district. The policy maker has been always focused for high growth, and usually besides equality of development. It make sense and there is in Masterplan Development for Acceleration and Expansion Indonesia for 2011-2025, we know budget share for infrastructure still much in Java corridors with IDR 844 Trillion, the biggest besides other corridors. Despite of budget share for infrastructure development still there in other corridors, but portion for every corridor especially for east Indonesia too little, by considering of high inflation. By masterplan, Government just pursue high growth, create job opportunity, and welfare. But government has forgot inequality between island, province, and district. At the end, transmigration from village to urban wil absolutely be happened. It’s been problem for Jakarta, as the biggest city with high activity in Indonesia.
Every years population in Jakarta increase around 1,4 % or 135.000 people, it’s mixed from natality, and urbanisation. Amount of people migration to jakarta around 40.000 people in 2012. it’s realize from bad planning development in Indonesia. Goverment just think about growth and forgotten of inequality. Phenomenon of Jakarta people show scary about population density, in high Jakarta’s density population there’s in Johar Baru (sub district) with 48.952 people per square kilometres. And average population density in Jakarta around 14.476 people per square kilometres. By data Statistics 2010, population density Jakarta consist of four district such as Central Jakarta with 18.675 people, West Jakarta with 14.562 people, East Jakarta with 14.290 people, and North Jakarta with 11.218 people. It’s showed strategic issues about population density fearness and will be big social problem for Jakarta.
Second, modern lifestyle in Jakarta has reasoned for people move to Jakarta. Many people from other province or district moved to jakarta cause lifestyle offer and many entertainment place for vacation. Likes metropolitan’s city, Jakarta offer glamor of lifestyle signed from many buliding shopping mall, entertainment place likes Ancol, and others. And, modern lifestyle offer new education likes center of technology, high speed internet access, and offer high quality of modern lifestyle. Jakarta likes high level life in Indonesia, not strange people every years are moved to jakarta to get everything. It almost absolutely they’ve never gotten from the their origin province or district.
Magnetic Jakarta will be gone, when the city can’t  accommodate the people living standard. It will be come if migration and population growth in Jakarta can’t be restrained by Government’s province. The dynamic urban is happened in biggest city in Indonesia. Now, the signed is seen already, end of jakarta glory. But, in bad condition Jakarta still be better than others city in Indonesia. It’s interesting dynamics life from metropolist. Jakarta is still interesting destinastion city to find money and anything what you want to. The city offer everything starts from pleasure, working chance, carrier, competition, and others. So, fighting spirit and good mental will be prepared if you want to stay in Jakarta. Everybody has to be familiar with hard life in the city likes traffic jam, polution, chaotic, inequality, and other social problem. It’s dynamic urban people with all pleasure and painful life in The Biggest City in Indonesia. Do you still dare live in Jakarta or it’s challange yourself to fight in Jakarta?              

Senin, 08 April 2013

Pemerataan Pembangunan hanya Angan-angan


Oleh: Felix Wisnu Handoyo

Permasalahan pembangunan ekonomi di Indonesia tampaknya tidak akan segera berakhir. Kesenjangan desa kota, pembangunan terpusat, dan kesenjangan wilayah barat dan timur tampaknya masih akan dirasakan oleh masyarakat Indonesia. Program pembangunan yang dijalankan pemerintah tidak memberikan indikasi bagi pemerataan pembangunan ekonomi.
MP3EI yang seyogyanya menjadi garda depan pembangunan ekonomi Indonesia tampaknya belum akan mampu mengatasi masalah kesenjangan. Kondisi sebaliknya terjadi, kesenjangan pembangunan akan semakin lebar. Data MP3EI menyebutkan bahwa nilai investasi infrastruktur hingga 2014 sebesar Rp.1812 triliun untuk semua koridor ekonomi. Dari nilai tersebut, wilayah timur Indonesia (Bali-NT, Sulawesi, dan Papua dan Kep. Maluku) hanya mendapat porsi sebesar Rp.349 triliun (19,26%). Sedangkan, wilayah barat Indonesia (Sumatera, Jawa,dan Kalimantan) memiliki porsi yang jauh lebih besar dengan nilai investasi Rp.1463 Trilliun (80,73%), dari nilai tersebut share terbesar di Jawa sekitar Rp.844 Triliun (57,68%), diikuti Sumatera sebesar Rp.414 Triliun (28,29%), dan Kalimantan sebesar Rp.205 Triliun (14,01%).  Total investasi (kegiatan ekonomi dan infrastruktur)Pemerintah perlu kembali memahami esensi dari dasar pembangunan. Sebab jika tidak upaya percepatan dan perluasan hanya akan menimbulkan kesenjangan pembangunan ekonomi semakin lebar.
Berdasarkan data MP3EI tersebut, ada dua hal yang perlu menjadi perhatian pemerintah dalam pelaksanaan percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia. Pertama, pembagian investasi untuk infrastruktur lebih mengedepankan pembangunan di wilayah barat, terutama di Jawa. Nilai investasi sektor infrastruktur sebesar Rp.1812 Triliun seharusnya mengedepankan pembangunan wilayah timur. Artinya, pembangunan jalan, jembatan, bandara, dan pelabuhan seharusnya dimasifkan di Sulawesi, Bali-NT, dan Papua. Namun, kenyataannya share dititikberatkan pada Jawa dengan nilai mencapai Rp.844 Triliun atau sebesar 48,6 % dari total seluruh investasi infrastruktur.
Apabila pola demikian yang terjadi kita tidak dapat mengatakan percepatan dan perluasan pembangunan, melainkan pemusatan dan peningkatan kesenjangan pembangunan. Pasalnya, wilayah Indonesia Timur yang membutuhkan pembangunan infrastruktur yang massif mendapatkan porsi yang lebih sedikit. Bayangkan, dengan nilai investasi yang relative kecil dan inflasi yang tinggi berapa banyak infrastruktur yang dapat dibangun. Kondisi ini menggambarkan pembangunan infrastruktur di wilayah timur akan tetap minim dan tertinggal.
Kedua, paradigma sentra produksi men-derive pembangunan infrastruktur, tampaknya perlu dimodifikasi menjadi pembangunan infrastruktur yang akan men-derive sentra produksi. Paradigma tersebut tidak dapat direalisasikan untuk Indonesia sebelah timur, sebab tanpa adanya infrastruktur akan meningkatkan  cost of transaction. Maka, hanya investor besar saja yang akan masuk karena mereka mampu untuk membangun jalan, pelabuhan, dan bandara sendiri untuk menekan biaya tersebut. Sedangkan, untuk investasi yang relatif kecil, pembangunan infrastruktur akan menyebabkan pembengkakan biaya produksi yang akan menurunkan daya saing produk.
Pembangunan infrastruktur yang massif memang perlu menjadi perhatian penuh pemerintah. Sebab, infrastruktur merupakan tulang punggung perekonomian sebuah negara. Jika kita perhatikan tidak ada negara maju yang memiliki infrastruktur yang buruk. Oleh sebab itu, mimpi menjadi negara besar secara ekonomi di tahun 2025 perlu diawali dengan tekat pembangunan infrastruktur disegala aspek dan wilayah dengan tetap memerhatikan pemerataan pembangunannya.

Hambatan Pembangunan
                Memang bukan perkara mudah menciptakan pemerataan pembangunan ekonomi nasional. Berbagai program pemerintah telah diciptakan nyata-nyatanya belum mampu menyelesaikan permasalahan pembangunan ekonomi di negeri ini. Bayang-bayang sentralisasi pembangunan masih menaungi pembuat kebijakan di negeri. Tak hayal pembangunan hanya terpusat suatu wilayah tanpa adanya upaya menciptakan kutub pertumbuhan ekonomi yang baru. Hal  ini terbukti dalam pembangunan infrastruktur yang masih mengedepankan pembangunan di Jawa. Sedangkan, pembangunan di wilayah lainnya terbilang relatif kecil. Tampaknya pemerintah masih akan terus menggenjot pembangunan di Jawa, mengingat besarnya jumlah penduduk. Padahal fenomena social yang terjadi merupakan dampak turunan dari tidak meratanya pembangunan di segala aspek dan wilayah.
                Sedikitnya ada dua hambatan yang menyebabkan pemerataan pembangunan sulit diwujudkan. Pertama, minimnya dana pembangunan ekonomi, khususnya untuk pembangunan infrastruktur. Belanja pemerintah setiap tahunnya masih didominasi oleh gaji pegawai. Sedikitnya, belanja untuk pegawai mencapai 65,5%  atau sebesar Rp.594,69 triliun dari pagu anggaran yang mencapai Rp.908,24 triliun di tahun 2011. Hal ini jelas menghambat pemerintah untuk meningkatkan pembangunan dan perbaikan infrastruktur.
                Kedua, adanya paradigma buruk terkait pembangunan ekonomi. Paradigma pembangunan hanya untuk mengejar pertumbuhan ekonomi, bukan fundamental ekonomi yang menyebabkan sentralisasi pembangunan tetap dipertahankan. Jika kita perhatikan pembangunan infrastruktur di Jawa berbanding terbalik dengan wilayah timur Indonesia. Kesiapan Jawa untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi memang sudah tidak diragukan. Namun, bukan berarti pembangunan infrastruktur di wilayah timur tidak penting, justru hal sebaliknya yang seharusnya dilakukan. Paradigma pembangunan yang mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi dalam jangka pendek menyebabkan realisasi pemerataan pembangunan yang lambat, bahkan cenderung diam di tempat.
                Pemerataan pembangunan ekonomi memang harus dimulai dari pemerataan pembangunan infrastruktur. Jika infrastruktur memadai maka kegiatan ekonomi akan berjalan dengan sendirinya, hal ini akan meningkatkan akses masyarakat untuk berusaha dan berupaya. Maka, pemerataan pembangunan menjadi hal yang penting, tetapi kapan hal tersebut akan terealisasi?


Kamis, 04 April 2013

Patterns of Indonesia Trade Specialization with Japan and China

Monographs Series 2011: Trade Policy Dimension

This research aims to analyze Indonesia’s comparative advantage to China and Japan. The scope of the research covers the years between 1994 and 2009, which can be divided into several periods: 1994-1997, 1998-2001, 2002-2005, and 2006-2009. The data are gathered from trade statistics, publ ished by United Nations, including International Trade Statistics Yearbook (ITSY) and United Nations Commodity Trade Stat istics Database (UN-COMTRADE). This research employs 3 digits Standard International Trade Classif ication (SITC) Revision 3. The findings demonstrate that between 1994 and 2009, Indonesia’s exports were mainly in products that can be categorized as crude materials, inedible, except fuels. This research also concludes that Indonesia’s comparative advantage to China and Japan is st ill in raw materials and natural resources.

to find more about this click this link:
http://cwts.ugm.ac.id/2012/04/pola-spesialisasi-perdagangan-indonesia-dengan-jepang-dan-cina/?lang=en

read full paper in Bahasa Indonesia, please click this link:
http://wtochairs.org/sites/default/files/Monograph-Series-2011_Trade-Policy-Dimension_0.pdf


Researchers Team
Launrensius William
Felix Wisnu Handoyo
Resha Yudistira
Dwi Andi R.

MP3EI atau Stimulus Fiskal…..?

Oleh: Felix Wisnu Handoyo


Predikat Investment Grade yang diberikan oleh Fitch Ratings kepada Indonesia membawa angin segar bagi perekonomian Indonesia. Runtuhnya perekonomian global, seolah-olah menjadi berkah untuk meningkatkan investasi riil di negeri ini, kecuali dalam urusan bahan bakar minyak. Secara makro Indonesia dapat dikatakan sebagai negara memiliki ekonomi yang kuat ditengah terpuruknya ekonomi Eropa dan Amerika Serikat. Pertumbuhan ekonomi terjaga tetap tinggi pada kisaran 6,5% pada tahun lalu. Sedangkan, inflasi tercatat januari hingga desember 2011 sebesar 3,79 % (BPS). Di tahun ini Bank Indonesia memperkirakan inflasi hingga Desember 4,6 %, dengan pertumbuhan ekonomi 6,3%.  Lalu, bagaimana Indonesia memanfaatkan rating investment grade untuk mendorong investasi masuk?
Perlu kita akui memang prestasi Indonesia menembus investment grade tidak terlepas dari runtuhnya ekonomi Eropa dan Amerika Serikat. Artinya, Indonesia bisa dikatakan terbaik diantara negara-negara yang terpuruk. Momentum ini perlu dimanfaatkan oleh bangsa ini untuk memperkuat perekonomian nasional, baik secara fundamental maupun pertumbuhan ekonomi. Artinya, Indonesia akan dipandang sebagai negara yang memiliki daya pikat bagi investor asing yang ingin berinvestasi. Maka, kesiapan pemerintah untuk mendorong investasi asing ke dalam negeri sangat dibutuhkan. Berbagai instrumen kebijakan telah dilakukan untuk menyambut masuknya investasi asing. Lalu, Apakah instrumen kebijakan tersebut mampu mendongkrak investasi untuk menciptakan kekuatan fundamental ekonomi negeri ini?
Setidaknya ada 2 hal besar yang telah dilakukan pemerintah guna menyambut masuknya investasi asing. Pertama, instumen kebijakan fiskal telah dikeluarkan menteri keuangan melalui pengurangan pajak, pengurangan birokrasi, dan kemudahan dalam perizinan. Kedua, pembentukan MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia) sebagai dokumen perencanaan pembangunan dengan target capaian pendapatan perkapita USD 14.250 – 15.500 penduduk Indonesia hingga 2025. Kedua hal tersebut akan berjalan dengan baik apabila dilakukan secara simultan dan tidak saling menggantikan satu dengan lainnya. Implementasi dari kedua kebijakan tersebut pun perlu disinergikan agar tercipta iklim investasi yang baik. Namun, implementasi dilapangan tidak semudah yang dibayangkan, ada kecederungan dominasi MP3EI sebagai program “mercusuar” pemerintahan saat ini dibandingkan implementasi kebijakan fiskal yang menjadi domain menteri keuangan.
Minimnya Efektivitas kebijakan
                 Instrumen kebijakan fiskal yang dikeluarkan menteri keuangan tampaknya belum menunjukkan kinerja yang baik.  Permenkeu No.130/PMK.011/2011, tentang pemberian fasilitas pembebasan atau penggunaan pajak penghasilan badan  masih minim peminat. Syarat yang dikemukakan dalam PMK (Peraturan Menteri Keuangan) tersebut masih dianggap berat oleh pelaku usaha. Akibatnya, pelaku usaha mengalami kesulitan untuk memenuhi syarat untuk mendapatkan tax holiday. Kondisi ini jelas tidak mampu memberikan insentif bagi peningkatan investasi di Indonesia.
Untuk PMK No.254/PMK.04/2011 tentang Pembebasan bea masuk atas impor barang dan bahan untuk diolah, dirakit, atau dipasang pada barang lain dengan tujuan untuk diekspor, memberikan dampak negatif bagi industri dalam negeri. Industri dalam negeri akan kebanjiran produk mentah atau setengah jadi. Situasi ini jelas merugikan pelaku usaha, khususnya yang bergerak dibidang bahan metah dan setengah jadi. Produk yang mereka hasilkan akan berkompetisi dengan produk impor yang cederung memiliki harga yang relative lebih murah. PMK ini pun agak bertentangan dengan, PMK No.67/PMK.011/2010 tentang penetapan barang ekspor yang dikenakan bea keluar dan tarif bea keluar, barang yang tertuang ialah rotan, kulit, kayu, kelapa sawit, crude palm oil (CPO), dan produk turunan, serta biji kakao.
Pada PMK No.67/PMK.011/2010 pemerintah melalui menteri keuangan menginginkan pembatasan ekspor pada bahan mentah untuk sektor tertentu. Namun, pada PMK No.254/PMK.04/2011 pemerintah membuka selebar-lebarnya impor bahan mentah, bahan dan setengah jadi untuk dirakit dengan tujuan ekspor. Disatu sisi pemerintah ingin meningkatkan nilai tambah dan meningkatkan pendapatan melalui tarif dan bea keluar, disisi lain petani, pedagang, dan produsen barang mentah harus disibukkan dengan masukkan barang impor yang cenderung menurunkan harga. Alhasil, kondisi ini menimbulkan kontradiksi kebijakan yang merugikan pelaku usaha di dalam negeri. Kebijakan ini memiliki kecederungan men-discourage produk turunan ekspor yang tidak mendapat insentif melainkan disinsentif dengan pemberlakukan bea keluar dan tarif bea keluar.
Sedangkan, program “mercusuar” pemerintah mengenai MP3EI pun masih diragukan tingkat efektivitas-nya. Upaya percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia (P3EI) belum dirasakan oleh pelaku usaha dan masyarakat. Keberhasilan yang capai saat ini merupakan proyek yang telah berjalan beberapa tahun yang lalu. Sedangkan, untuk proyek baru belum ada dukungan konkret pemerintah untuk membantu pelaksanaannya. Sebagian besar proyek yang akan di launching  pada tahun ini pun belum sepenuhnya siap, bahkan masih ada beberapa proyek masih dalam proses tender.
Dalam dokumen MP3EI cita-cita pemerintah untuk merealisasikan percepatan dan perluasaan pembangunan dengan rencana investasi mencapai Rp.4000 triliun tampaknya masih sulit tercapai. Mengusung motto business as not usual tampaknya masih dalam tataran rencana dan minim implementasi. Jika kita lihat hingga saat ini belum ada laporan pemerintah mengenai pelaksanaan proyek untuk masing-masing koridor. Pemerintah baru mengumumkan 84 proyek infrastruktur akan launching tahun ini dengan nilai proyek Rp.539 trilliun. Jika pada tahun ini hanya Rp.539 triliun dan tahun lalu sekitar Rp.200 triliun, setidaknya pemerintah harus mendorong investasi dalam dua tahun (hingga 2014) mencapai Rp.3261 trilliun. Hal ini akan bisa tercapai jika kenaikan realisasi investasi sebesar seratus persen pertahun. Kondisi yang hampir mustahil dilakukan mengingat kinerja pemerintah yang masih minim, ditambah rendahnya dukungan fasilitas, kinerja, dan keseriusan pemerintah dalam menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi di lapangan.
MP3EI as “mercusuar program” for economic development still can’t push realization investment by domestic and foreign investors.  Inaction in taking a government still dominate the program MP3EI. Though still limited attention to implementation government MP3EI sufficient the condition seems to forget fiscal policies considered more important to give incentives or a disincentive to entrepreneurs. Investment grade received Indonesian rating agencies from Fitch seems not  give many benefits. By looking at this phenomenon which we could score better MP3EI or fiscal policy are or combination to Indonesia in attracting investment.
MP3EI yang dapat dikatakan sebagai program “mercusuar” tampaknya belum mampu mendorong realisasi investasi asing dan dalam negeri di Indonesia. Kelambanan pemerintah dalam mengambil sikap masih mendominasi pelaksanaan program MP3EI. Meskipun masih minim implementasi perhatian pemerintah terhadap MP3EI cukup besar, kondisi seakan melupakan kebijakan fiskal yang dianggap lebih penting untuk memberikan insentif atau disinsentif terhadap pelaku usaha dilapangan. Investment Grade yang diterima Indonesia oleh lembaga rating dunia tampaknya belum akan memberikan banyak manfaat. Dengan melihat fenomena ini, kita bisa menilai mana yang lebih baik, MP3EI atau Kebijakan Fiskal atau kombinasi diantaranya, dalam menarik investasi ke Indonesia. 

in english please click this link: http://ekonomi.kompasiana.com/moneter/2013/04/05/mp3ei-or-fiscal-stimulus-548447.html

Senin, 04 Februari 2013

Evaluasi Dampak Pelaksanaan Program Bantuan Operasional Sekolah: Analisis Data Survei Aspek Kehidupan Rumah Tangga Indonesia (Sakerti) 2000 dan 2007

Oleh: Felix Wisnu Handoyo

Penelitian ini membahas mengenai evaluasi dampak pelaksanaan program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dengan menggunakan data Survei Aspek Kehidupan Rumah Tangga Indonesia (Sakerti) gelombang ketiga pada 2000 dan keempat pada 2007. Studi ini dilakukan untuk melihat dampak BOS terhadap pendidikan dasar di Indonesia. Hasil studi menunjukkan bahwa program BOS efektif dalam meningkatkan partisipasi siswa sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP) dalam ujian nasional. Namun, dampak dalam bentuk peningkatan nilai ujian hanya kentara dalam ujian nasional SMP. Studi ini juga menemukan bahwa dana BOS lebih efektif didistribusikan melalui sekolah daripada langsung kepada siswa, baik jenjang SD maupun SMP.

Untuk melihat artikel secara keseluruhan dapat di download pada link di bawah (diterbitkan dalam Buletin Smeru edisi No.33 Desember 2012, pada tulisan ke-3): https://www.unicef.org/indonesia/News33.pdf