Tidak
terkendalinya harga pangan lokal dan membanjirnya pangan impor menimbulkan
permasalahan sosial sendiri bagi ketahanan pangan nasional. Sebagai negara
agraria Indonesia seharusnya memiliki kemampuan pertahanan pangan yang baik.
Namun, hal itu sirna sejak Orde Baru melakukan penyeragaman pangan nasional.
Hal ini seolah menjadi kebiasaan masyarakat yang sudah tertanam sejak puluhan
tahun. Akibatnya kegagalan panen akibat perubahan iklim menjadikan krisis
pangan kian nyata. Maka, penguatan kearifan lokal pangan nasional menjadi
penting ditengah ketidakstabilan harga pangan lokal.
Hampir punahnya kearifan lokal pangan nasional tidak
terlepas dari peran pemerintah Orde Baru. Penyeragaman pangan menjadi program
nasional yang diterapkan diseluruh wilayah nusantara. Hal ini berdampak pada perubahan
pola konsumsi masyarakat Indonesia. Akibatnya, keterbiasaan mengonsumsi aneka
pangan seperti singkong, jagung, sagu, ubi jalar, dan talas, hilang yang
kemudian digantikan oleh beras sebagai bahan pangan utama. Ketergantungan
pangan pada satu jenis (homogeny) dan
membanjirnya pangan impor menjadikan Indonesia tamu di negeri sendiri.
Kejadian melambungnya harga daging sapi dan bawang
menunjukkan ketahanan pangan nasional sangat rentan. Padahal dengan segala
kekayaan alam yang miliki Indonesia seharusnya mampu menciptakan ketahanan
pangan nasional. Untuk itu, pemerintah perlu membuat kebijakan strategis
nasional untuk mengamankan pasokan pangan nasional. Penguatan pangan berbasis
kearifan lokal perlu menjadi program nasional dengan mengedepankan pada diversifkasi
pangan. Konsep diversifikasi pangan bukan merupakan hal yang baru, namun perlu
kembali dibudayakan untuk mengantisipasi gejolak harga dan ketergantungan pada
pangan impor.
Williem, L., dkk (2011) dalam penelitiannya yang berjudul
Pola Spesialisasi Perdagangan Indonesia dengan Jepang dan Cina, menunjukkan
bahwa Indonesia memiliki keunggulan komparatif terhadap Jepang dan Cina masih
berbasis bahan-bahan mentah dan berbasis sumber daya alam. Artinya, Indonesia
masih memiliki potensi untuk mengembangkan ketahanan pangan nasional berbasis
kearifan lokal. Untuk mengembalikan kejayaan pangan nasional pemerintah perlu
berbenah diri dengan kembali melakukan penganekaragaman pangan. Diversifikasi pangan nasional perlu segera dilakukan tanpa mengabaikan program swasembada pangan.
Secara perlahan
masyarakat
perlu Indonesia
diajak kembali menerapkan pola pangan zaman sebelum orde baru. Dimana masyarakat Sulawesi, Maluku, dan
Papua kembali mengandalkan sagu sebagai bahan
makanan utama. Selain itu, masyarakat Jawa dapat
kembali mengonsumsi
tanaman palawija, seperti singkong, kentang, dan ubi. Hal yang sama perlu dilakukan
pada daerah lainnya, di mana keanekaragaman kebutuhan pangan menjadi fokus utama. Dengan tujuan untuk mengurangi ketergantungan
pada satu jenis komoditas pertanian saja. Apalagi ketidaktentuan cuaca karena perubahan iklim tidak jarang
memicu terjadinya gagal panen. Selain itu, langkah ini merupakan salah satu cara meredam
ketergantungan Indonesia terhadap pangan impor.
Diversifikasi pangan berbasis kearifan lokal
Diversifikasi pangan merupakan upaya mengembalikan
kedaulatan pangan nasional. Hal ini harus diiringi dengan pengembangan berbasis
kearifan lokal. Artinya, pola diversifikasi pangan harus mengacu pada
penggunaan bahan baku dalam negeri seperti bibit, pupuk, dan pembasmi hama. Tujuannya,
untuk mengurangi ketergantungan pangan terhadap impor. Maka, penelitian dan
pengembangan bahan baku dan produk pertanian harus menjadi satu kesatuan rantai
pangan sehingga mampu meningkatkan kemandirian berbasis kearifan lokal.
Meskipun diversifikasi
pangan bukan merupakan program baru, program ini merupakan langkah jitu untuk
meredam gejolak pangan dunia dan nasional ditengah ancaman perubahan iklim.
Selain itu, diversifikasi pangan menjadi cara mengembangkan kearifan lokal
melalui pengoptimalan sumber daya yang ada. Tidak hanya itu Rao et al (2004) mengatakan
bahwa diversifikasi usaha pertanian dapat sebagai strategi pengentasan kemiskinan, peningkatan lapangan kerja, konservasi
lingkungan, dan meningkatkan pendapatan usaha
tani.
Implementasi
diversifikasi pangan berbasis kearifan lokal memerlukan strategi dan komitmen
yang kuat dari pemerintah, petani, pengusaha, dan masyarakat. Keberhasilan
program ini memerlukan kerjasama dan koordinasi yang dikuat dari berbagai
pemangku kepentingan. Dimana pemerintah memegang peranan penting dalam membuat
kebijakan yang pro pertanian lokal. Artinya, sinkronisasi dan koordinasi
kebijakan menjadi hal yang penting agar tidak saling kontradiktif. Sedangkan,
petani dan pengusaha perlu mendukung pengembangan pertanian berbasis kearifan
lokal. Kecenderungan menggunakan produk impor perlu secara perlahan dikurangi.
Sebaliknya, perlu adanya sikap nasionalisme dalam melakukan pengembangan
pertanian. Dukungan masyarakat Indonesia menentukan keberhasilan pelaksanaan
diversifikasi pangan sebagai program nasionalisasi pertanian. Dengan membeli
dan mengonsumsi produk pertanian dalam negeri.
Keberhasilan
pelaksanaan diversifikasi pangan berbasis kearifan lokal tidak hanya mampu
meningkatkan ketahanan pangan nasional. Namun, juga mampu mengembalikan
kedaulatan Indonesia sebagai negara agraria yang kuat dan mandiri. Selain itu,
program diversifikasi pangan dapat mengembalikan budaya pangan nasional yang
beranekaragam dan rupa. Dengan demikian, pelaksanaan program ini merupakan
kunci keberhasilan Indonesia dalam menciptakan kemandirian dan kebudayaan
pangan nasional.
Tantangan Penganekaragaman Pangan
Belajar dari pengalaman sejarah pembangunan pertanian di
Indonesia, pelaksanaan program diversifikasi usahatani telah diperkenalkan
sejak orde baru. Politik kepentingan pemerintah yang lebih mengutamakan
swasembada beras menyebabkan pelaksanaan diversifikasi usahatani tidak
berkelanjutan dan tanpa petunjuk yang jelas.
Akhirnya,
pemerintah memprioritaskan produksi padi untuk mencapai swasembada (Siregar dan
Suryadi, 2006). Saat itu diversifikasi usahatani seakan menjadi ancaman besar bagi
program pemerintah ketika itu, yaitu intensifikasi pertanian. Hal ini berakibat
pada homogenitas konsumsi yang menitikberatkan pada satu atau beberapa
komoditas pertanian saja.
Beralih ke masa
reformasi yang telah berlangsung selama 14 tahun juga belum mampu mengembalikan
kejayaan Indonesia sebagai negara agraria. Melonjaknya harga daging sapi,
bawang merah dan putih, kedelai, dan cabai. Menunjukkan bahwa selama orde
reformasi sistem pembangunan pertanian di Indonesia jauh dari harapan.
Permasalahan koordinasi dan komitmen dalam memajukan pertanian domestik jauh
dari kata sempurna. Bahkan ada kecenderungan berjalan sendiri-sendiri tanpa
koordinasi yang jelas untuk setiap lini pemangku kebijakan di sektor pertanian.
Selain itu,
terdapat tantangan teknis dalam pelaksanaan diversifikasi pangan berbasis
kearifan lokal di lapangan. Menurut Pingali (2004) terdapat empat faktor yang menjadi kendala pengembangan diversifikasi tanaman
pangan. Pertama, sifat petani yang cenderung menghindar dari risiko (risk aversion). Kedua, adanya masalah
kesesuaian dan hak atas lahan, maksudnya tidak semua lahan pertanian cocok
untuk mengembangkan diversifikasi usahatani. Ketiga, infrastruktur irigasi yang
tidak sesuai dengan sehingga menghambat terjadinya diversifikasi usahatani. Keempat, ketersediaan tenaga kerja yang cukup
besar menjadi kendala bagi penerapan diversifikasi usahatani. Pasalnya, kebutuhan tenaga kerja dalam
penerapan pola diversifikasi membutuhkan tenaga kerja yang lebih besar. Meskipun, di sisi lain penyerapan tenaga kerja mampu menekan angka pengangguran dan
mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Gerakan Penganekaragaman Pangan Nasional
Gerakan Nasional Penganekaragaman Pangan (GNPP) bisa
menjadi solusi di tengah homogenitas pangan. Artinya, gerakan ini merupakan
suatu cara penyadaran kepada semua pihak akan pentingnya diversifikasi pangan. Sebab keterlibatan semua pihak menentukan
tingkat keberhasilan program ini. Namun, untuk merealisasikan Gerakan Nasional
Penganekaragaman Pangan memerlukan keberpihakan pemerintah sebagai pembuat
kebijakan pangan nasional. Dukungan kebijakan nasional terhadap
penganekaragaman pangan dapat menjadi dasar pelaksanaan program ini. Harapannya
ke depan ada cetak biru terkait cara dan pelaksanaan GNPP sehingga memberikan gambaran
luas target capaian program.
GNPP merupakan salah titik cerah membangkitkan kemurungan
pangan nasional dari gejolak harga, perubahan iklim, dan ketergantungan impor.
Maka, GNPP perlu mencakup tiga hal utama dalam penerapannya di lapangan.
Pertama, gerakan nasional penanaman penganekaragaman pangan merupakan langkah
awal untuk memberikan kesadaran akan penerapan diversifikasi usahatani. Jika kita
bayangkan hal ini merupakan bagian hulu dari rantai produksi tanaman pangan
nasional. Artinya, semua pihak yang terlibat memiliki tanggung jawab untuk
menanam berbagai macam tanaman pangan. Kedua, gerakan pengembangan dan
peningkatan produksi pertanian merupakan cara untuk meningkatkan kualitas dan
kuantitas produksi bibit, pupuk, dan pembasmi hama berbasis produk dalam
negeri. Ketiga, gerakan penyadaran penganekaragaman pangan merupakan suatu
bentuk sosialisasi dan penyadaran pentingnya mengonsumsi berbagai produk pangan.
Hal ini untuk memberikan pemahaman dan penyadaran pentingnya melakukan variasi
pola konsumsi pangan. Ketiga program ini merupakan satu kesatuan pelaksanaan
GNPP untuk menciptakan kemandirian dan ketahanan pangan nasional.
Penguatan diversifikasi pangan berbasis kearifan lokal
merupakan langkah maju dalam mengembangkan pertanian pangan di Indonesia.
Sekaligus menjadi dasar pijakan bangsa Indonesia kembali pada kebudayaannya.
Dimana Indonesia dikenal sebagai agraria dengan berbagai macam keanekaragaman
pangan. Keberhasilan dalam penerapan program GNPP merupakan upaya penguatan
terhadap ketahanan pangan dan melestarikan kebudayaan Indonesia melalui
pelestarian keanekaragaman pangan Nusantara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar