Kamis, 10 November 2011

Negeriku tapi bukan Ekonomiku

Tamu di negeri sendiri merupakan ungkapan yang saya kira tepat untuk menggambarkan kondisi perekonomian Indonesia saat ini. Sejak perdagangan bebas didengungkan pada satu dasawarsa yang lalu. Dengan alasan efisiensi para ekonom berpendapat bahwa berdagangan bebas dapat meningkatkan kesejahteraan. Hal ini ditinjau dari meningkatnya volume perdagangan antar negara anggota. Kondisi serupa dirasakan Indonesia sebagai negara anggota ASEAN+3, sejak tahun 2010 lalu penurunan tarif hingga nol persen mulai diberlakukan. Hingga saat baru lima negara di ASEAN, China, Korea, dan Jepang yang baru menurunkan tarif hingga nol persen. Sedangkan, negara anggota ASEAN lainnya baru akan menurunkan tarif hingga nol persen pada tahun 2015. Adanya penurunan tarif ini jelas membawa dampak bagi seluruh negara anggota. Kompetisi bebas melahirkan pemenang dan pecundang. Tak pelak peningkatan volume perdagangan hanya akan besar manfaatnya bagi para pemenang. Tentunya negara yang mampu menghasilkan produk se-efisien dan semurah mungkin. Bagi pecundang hanya akan menjadi pasar bagi pemenang, terlepas manfaat yang lebih sedikit dari ketidakmampuannya untuk berkompetisi.

Situasi inilah yang tepat menggambarkan kondisi perekonomian Indonesia. Meski volume perdagangan meningkat. Namun, negeriku tidak merasakan keuntungan besar dari perdagangan. Kenyataan pahit harus dirasakan dengan masuknya produk china mulai elektronik hingga produk pertanian. Dalam jangka pendek konsumen atau masyarakat Indonesia senang karena harga produk yang murah. Tetapi, kenyataannya rakyat Indonesia hanya sebagai tamu di negerinya. Berbagai produk mulai elektronik hingga pertanian yang dahulu menjadi kekuatan ekonomi Indonesia. Kini pun lenyap ditelan persaingan yang tidak seimbang. Indonesia hanya menjadi pasar komoditas barang-barang impor yang lebih murah. Maka, tak heran jika saya mengatakan bahwa negeriku tapi bukan ekonomiku. Pasalnya, perekonomian Indonesia memberikan kesejahteraan bagi negara asing, bukan untuk rakyat Indonesia.

Terdengar sangat miris memang, Indonesia dengan penduduk terbesar keempat di dunia hanya menjadi pasar bagi negara asing. Seolah-olah perekonomian Indonesia yang mengutamakan pemberdayaan masyarakat kini hanya isapan jempol belaka. Pasalnya, rakyat negeri ini dininabobokan oleh produk asing yang lebih murah. Tak pelak budaya konsumerisme semakin menjamur. Lalu, kemana ekonom Indonesia? Tak mampukah kita membuat sistem ekonomi sendiri? Hentakan pertama yang mungkin akan dikatakan ekonom Indonesia mengenai keterbatas, seperti anggaran, teknologi, dan kemampuan SDM yang terbatas. Setelah itu mengatakan bahwa ekonomi Indonesia kan ekonomi kecil. Meski penduduknya besar, PDB (Produk Domestik Bruto) Indonesia hanya berkisar 5 ribu triliun rupiah. Angka tersebut terbilang sangat kecil dibandingkan negara dunia pertama, seperti Amerika dan Uni Eropa. Bagaimana mungkin ekonomi Indonesia mampu memengaruhi perekonomian dunia?


Mari belajar dari China dan Bangladesh

China dikenal dengan kemajuan ekonominya dalam satu dasawarsa terakhir. Ekspansi yang besar-besaran dalam berbagai aspek membuat negara ini sebagai kekuatan ekonomi baru di dunia. Bahkan, sebagai besar ekonom besar dunia memprediksi bahwa China akan menjadi negara adikuasa menggeser kekuatan ekonomi Amerika. Tidak hanya mengenai kekuatan ekonomi, revolusi diberbagai bidang juga terus dikembangkan. Kepastian hukum, kekuatan militer, dan jaminan investasi mampu disediakan China. Maka, tak heran banyak investasi asing masuk negara ini. Rekor pertumbuhan hingga dua digit pun sempat ditorehkan negeri tirai bambu. Tak hanya itu negara dengan penduduk terbesar di dunia ini tidak hanya menjadi tamu di negerinya, melainkan menjadi kekuatan absolute untuk pengembangan dan pemberdayaan masyarakatnya. Tingkat kesejahteraan masyarakat China pun terus meningkat seiring pertumbuhan ekonominya yang kian kokoh.

Dibalik kesuksesan China tidak terlepas dari upaya radikal dari berbagai aspek kehidupan. Kepastian hukum, kestabilan politik, dan jaminan investasi menjadi pondasi yang kokoh bagi kemajuan China saat ini. Selain itu, negara yang menganut paham komunis dengan ekonomi liberal ini mampu menciptakan inovasi dan kretivitas guna meningkatkan daya saing produknya. Kemampuannya menciptakan produk murah pun sudah diakui dunia. Tak pelak permintaan produk China dari berbagai belahan dunia pun terus meningkat.

Sedangkan Bangladesh, mampu menciptakan sistem ekonomi baru yang dicetuskan oleh M. Yunus yang dikenal dengan Grameen Bank. M. Yunus mampu memberikan kontribusi bagi perkembangan ilmu ekonomi di dunia. Idenya yang bermula dari pemberdayaan masyarakat miskin ini ditujukan bagi kelompok perempuan dengan status miskin. Tak pelak konsep Grameen Bank mampu meningkatkan produktivitas kelompok wanita guna meningkatkan kesejahteraannya. Hal ini pula-lah menjadi kekuatan ekonomi Bangladesh. Konsep Grameen Bank pun telah diadopsi oleh hampir 130 negara di dunia. Berkat idenya tersebut, M. Yunus pun pada tahun 2006 mendapat penghargaan nobel perdamaian.

Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Tampaknya negeri ini belum mampu menemukan pola ekonominya sendiri. Memang perlu diakui bahwa ekonom Indonesia sebagian besar merupakan lulusan Eropa dan Amerika Serikat. Namun, konsep yang mereka pelajari tampak tidak sesuai dengan pola kehidupan masyarakat Indonesia. Berbagai asumsi seperti full employment, almost perfect information, dan public service yang tidak memadai masih menjadi kendala. Apalagi sebagian besar masyarakat Indonesia bekerja dibidang sektor informal. Hal yang bertolak belakang dengan Eropa dan Amerika. Keadaan ini menunjukkan bahwa teori ekonomi yang ada belum mampu membangun ekonomi Indonesia dengan baik. Pasalnya, teori ekonomi tersebut dibangun berdasarkan konsep dan asumsi yang berbeda.

Maka, tugas besar bagi seluruh ekonom Indonesia untuk belajar dari China dan Bangladesh. Kedua negara tersebut berhasil membuat sistem ekonomi dan metodenya sendiri yang sesuai dengan negaranya. Dimana China berhasil dengan transformasi radikal diberbagai aspek. Sedangkan, Bangladesh dengan Grameen Bank yang dikemukakan oleh M. Yunus. Lalu, mampukah Indonesia membuat sistem ekonominya sendiri? Saya rasa suatu saat Indonesia akan mampu membuat sistem ekonominya sendiri. Namun, untuk membuat sistem ekonominya sendiri para ekonom Indonesia harus menyadari dahulu potensi yang dimiliki negerinya. Selain itu, indentifikasi permasalahan yang timbul pun perlu mendapat fokus yang mendalam. Dengan demikian, dapat Indonesia tumbuh sebagai kekuatan ekonomi baru yang fokus dalam pengentasan kemiskinan, kelaparan, pemerataan pembangunan, perbaikan sistem kesehatan, dan pemberdayaan masyarakat.


Mulai dari hal yang terkecil

Pembentukan dan pengembangan ekonomi sendiri merupakan hal yang sangat mendesak. Pasalnya, rakyat Indonesia hingga saat ini hanya sebagai tamu di negerinya dan hanya sebagai pasar bagi penerapan perdagangan bebas. Keterdesakan itu semakin nyata, ketika saya ditanya oleh seorang Bapak yang berprofesi sebagai supir taksi. Bapak itu mengatakan, “mas, kenapa ya kok pemerintah terus mengimpor beras?” Padahal kan Indonesia memiliki lahan yang besar dan subur untuk ditanami padi. Sekilas saya mengatakan, “saat ini memang tidak memungkinkan Indonesia untuk tidak mengimpor beras karena produksi beras nasional tidak cukup untuk konsumsi nasional.” Lagipula banyak petani Indonesia yang hanya memiliki lahan kurang dari satu hektar. Akibatnya, biaya produksi dalam negeri merangkak naik, jika dibandingkan beras impor yang jauh lebih murah. Selain itu, banyak lahan pertanian yang sudah mengalami alih fungsi. Saya pun mencontohkan fenomena di Yogyakarta, saya mengatakan, “coba Bapak perhatikan saat ini masyarakat Yogya atau mereka yang punya lahan di Yogya, lebih memilih membuat kos-kosan dibandingkan untuk dibuat persawahan.” Memang prospek kos-kosan di Yogyakarta cukup menjanjikan. Pasalnya, sedikitnya setiap tahun 10 ribu mahasiswa baru masuk kota ini. Tak hayal permintaan akan kos-kosan pun masih cukup tinggi. Situasi ini jelas akan memberikan keuntungan bagi pemilik lahan apabila digunakan sebagai tempat kos-kosan dibandingkan dengan tetap mempertahankan untuk persawahan.

Perilaku membuat kos-kosan merupakan hal yang rasional, dimana kepuasan diperoleh dari berapa besar keuntungan yang diperoleh. Keadaan ini juga menunjukkan kegagalan pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan pertani. Sungguh ironi memang negara agraris tidak mampu memenuhi kebutuhan pangannya sendiri. Situasi yang tidak dapat terelakan lagi. Keterbatasan infrastruktur, pembangunan tidak merata, minimnya kualitas SDM, dan ketidakpastian hukum menjadi masalah yang belum terselesaikan hingga kini. Coba bisa kita bayangkan minimnya infrastruktur menyebabkan biaya transportasi untuk mendatang jeruk Pontianak ke Jakarta lebih mahal dibandingkan impor dari China. Pembangunan tidak merata menyebabkan kontraksi ekonomi di daerah. Di sisi lain kejenuhan kota kian meningkat seiring urbanisasi yang terus terjadi. Inilah buah dari pembangunan yang tidak merata di negeri ini, disatu sisi mengalami kejenuhan di sisi mengalami kontraksi ekonomi.

Lalu, bagaimana membangkitkan ekonomi Indonesia menuju zona keemasan? Jawaban saya cukup sederhana “mulai-lah dari hal yang terkecil dan mendasar”. Maksudnya, kedaulatan dan kekuatan ekonomi suatu negara terletak kemampuan menciptakan ketahanan pangan nasional. Artinya, setiap hari jutaan masyarakat Indonesia membutuhkan makanan. Maka, ketersediaan kebutuhan dan ketahanan pangan nasional sangat dibutuhkan. Apa jadinya jika terjadi krisis pangan? Kerusuhan dan penjarahan menjadi hal yang paling mungkin terjadi. Jika kita ingat kerusuhan 1998, pemicunya ialah kenaikan harga kebutuhan bahan pokok yang tidak terkendali. Alhasil masyarakat menjadi tidak terkendali dan cenderung berbuat anarkis. Pemenuhan atas kebutuhan pokok memang menjadi hal yang sensitif. Berbagai penelitian menyebutkan bahwa negara yang besar merupakan negara yang mampu memenuhi kebutuhan pokok penduduknya, khususnya pangan.

Hal inilah yang perlu dilakukan bangsa Indonesia. Memulai dengan menciptakan ketahanan pangan merupakan solusi jitu menghadapi perdagangan bebas. Setidaknya rakyat Indonesia tidak akan terombang-ambing dengan fluktuasi harga pangan dunia. Pemenuhan akan kebutuhan pokok akan meningkatkan produktivitas, kreativitas, dan inteligenitas masyarakat Indonesia. Secara perlahan ketergantungan akan produk impor dapat dikurangi sehingga Kita dapat menjadi Tuan Rumah di Negeriku sendiri. Dan, Ekonomiku milik Negeriku dan Bangsaku Indonesia.

Felix Wisnu Handoyo

Selasa, 29 Maret 2011

SUARA MAHASISWA, Krisis Libya, Kepentingan atau Perdamaian?

Dimuat Harian Seputar Indonesia
Selasa, 29 Maret 2011

Berbagai negara memiliki pandangan sendiri mengenai perang di Libya, di satu sisi sepakat dengan sekutu dan lainnya menentang agresi yang dinilai berlebihan. Berbagai spekulasi pun merebak, mengingat Libya merupakan salah satu negara pengekspor minyak mentah terbesar di dunia.

Krisis Libya diawali dengan adanya aksi unjuk rasa menentang pemerintahan Muammar Khadafi yang selama puluhan tahun berkuasa. Kondisi yang sama sebelumnya terjadi di Tunisia dan Mesir. Aksi menuntut demokratisasi di Timur Tengah dan negara-negara Afrika menimbulkan gejolak politik yang mencekam. Badai unjuk rasa yang melanda Libya sebagai bentuk eskalasi politik yang terjadi selama puluhan tahun.Keinginan untuk menuntut kebebasan menjadi alasan masyarakat untuk melengserkan pemerintahan Khadafi.

Namun,badai unjuk rasa dibalas oleh Khadafi dengan hujan peluru yang menyebabkan puluhan hingga ratusan korban jiwa.Perang saudara pun tak terhindarkan. Kekejaman pasukan Khadafi yang terus membombardir pihak oposisi mendapat kecaman dari PBB. Selain itu, perang yang terjadi juga dapat dikatakan tidak seimbang, mengingat pihak oposisi hanya memiliki persenjataan seadanya. Geram dengan sikap Khadafi, PBB pun mengeluarkan surat larangan terbang bagi pasukan Khadafi.

Tidak hanya itu, pasukan sekutu yang terdiri atas Amerika Serikat,Inggris,Prancis,dan UEA yang terakhir bergabung juga berniat melumpuhkan pusat persenjataan Libya. Serangan membabi-buta sekutu terhadap Khadafi pun tidak luput dari kecaman.Sejumlah negara yang tidak tergabung dalam sekutu menganggap serangan sekutu ke Libya terlalu berlebihan.

Para analis perang bahkan menilai serangan sekutu bertujuan untuk menguasai ladang minyak Libya dengan kualitas dan salah satu yang terbesar di dunia. Selain itu, serangan sekutu pun melukai dan menewaskan sejumlah masyarakat sipil. Lalu, apa yang sebenarnya terjadi di Libya? Perdamaian yang diselimuti kepentingan atau kepentingan yang dilandasi perdamaian? Kita tunggu saja sampai perang berakhir.●

FELIX WISNU HANDOYO
Mahasiswa Fakultas
Ekonomika dan Bisnis
Universitas Gadjah Mada