Dimuat Harian Seputar Indonesia
Selasa, 29 Maret 2011
Berbagai negara memiliki pandangan sendiri mengenai perang di Libya, di satu sisi sepakat dengan sekutu dan lainnya menentang agresi yang dinilai berlebihan. Berbagai spekulasi pun merebak, mengingat Libya merupakan salah satu negara pengekspor minyak mentah terbesar di dunia.
Krisis Libya diawali dengan adanya aksi unjuk rasa menentang pemerintahan Muammar Khadafi yang selama puluhan tahun berkuasa. Kondisi yang sama sebelumnya terjadi di Tunisia dan Mesir. Aksi menuntut demokratisasi di Timur Tengah dan negara-negara Afrika menimbulkan gejolak politik yang mencekam. Badai unjuk rasa yang melanda Libya sebagai bentuk eskalasi politik yang terjadi selama puluhan tahun.Keinginan untuk menuntut kebebasan menjadi alasan masyarakat untuk melengserkan pemerintahan Khadafi.
Namun,badai unjuk rasa dibalas oleh Khadafi dengan hujan peluru yang menyebabkan puluhan hingga ratusan korban jiwa.Perang saudara pun tak terhindarkan. Kekejaman pasukan Khadafi yang terus membombardir pihak oposisi mendapat kecaman dari PBB. Selain itu, perang yang terjadi juga dapat dikatakan tidak seimbang, mengingat pihak oposisi hanya memiliki persenjataan seadanya. Geram dengan sikap Khadafi, PBB pun mengeluarkan surat larangan terbang bagi pasukan Khadafi.
Tidak hanya itu, pasukan sekutu yang terdiri atas Amerika Serikat,Inggris,Prancis,dan UEA yang terakhir bergabung juga berniat melumpuhkan pusat persenjataan Libya. Serangan membabi-buta sekutu terhadap Khadafi pun tidak luput dari kecaman.Sejumlah negara yang tidak tergabung dalam sekutu menganggap serangan sekutu ke Libya terlalu berlebihan.
Para analis perang bahkan menilai serangan sekutu bertujuan untuk menguasai ladang minyak Libya dengan kualitas dan salah satu yang terbesar di dunia. Selain itu, serangan sekutu pun melukai dan menewaskan sejumlah masyarakat sipil. Lalu, apa yang sebenarnya terjadi di Libya? Perdamaian yang diselimuti kepentingan atau kepentingan yang dilandasi perdamaian? Kita tunggu saja sampai perang berakhir.●
FELIX WISNU HANDOYO
Mahasiswa Fakultas
Ekonomika dan Bisnis
Universitas Gadjah Mada
Selasa, 29 Maret 2011
Berbagai negara memiliki pandangan sendiri mengenai perang di Libya, di satu sisi sepakat dengan sekutu dan lainnya menentang agresi yang dinilai berlebihan. Berbagai spekulasi pun merebak, mengingat Libya merupakan salah satu negara pengekspor minyak mentah terbesar di dunia.
Krisis Libya diawali dengan adanya aksi unjuk rasa menentang pemerintahan Muammar Khadafi yang selama puluhan tahun berkuasa. Kondisi yang sama sebelumnya terjadi di Tunisia dan Mesir. Aksi menuntut demokratisasi di Timur Tengah dan negara-negara Afrika menimbulkan gejolak politik yang mencekam. Badai unjuk rasa yang melanda Libya sebagai bentuk eskalasi politik yang terjadi selama puluhan tahun.Keinginan untuk menuntut kebebasan menjadi alasan masyarakat untuk melengserkan pemerintahan Khadafi.
Namun,badai unjuk rasa dibalas oleh Khadafi dengan hujan peluru yang menyebabkan puluhan hingga ratusan korban jiwa.Perang saudara pun tak terhindarkan. Kekejaman pasukan Khadafi yang terus membombardir pihak oposisi mendapat kecaman dari PBB. Selain itu, perang yang terjadi juga dapat dikatakan tidak seimbang, mengingat pihak oposisi hanya memiliki persenjataan seadanya. Geram dengan sikap Khadafi, PBB pun mengeluarkan surat larangan terbang bagi pasukan Khadafi.
Tidak hanya itu, pasukan sekutu yang terdiri atas Amerika Serikat,Inggris,Prancis,dan UEA yang terakhir bergabung juga berniat melumpuhkan pusat persenjataan Libya. Serangan membabi-buta sekutu terhadap Khadafi pun tidak luput dari kecaman.Sejumlah negara yang tidak tergabung dalam sekutu menganggap serangan sekutu ke Libya terlalu berlebihan.
Para analis perang bahkan menilai serangan sekutu bertujuan untuk menguasai ladang minyak Libya dengan kualitas dan salah satu yang terbesar di dunia. Selain itu, serangan sekutu pun melukai dan menewaskan sejumlah masyarakat sipil. Lalu, apa yang sebenarnya terjadi di Libya? Perdamaian yang diselimuti kepentingan atau kepentingan yang dilandasi perdamaian? Kita tunggu saja sampai perang berakhir.●
FELIX WISNU HANDOYO
Mahasiswa Fakultas
Ekonomika dan Bisnis
Universitas Gadjah Mada
Tidak ada komentar:
Posting Komentar