Dimuat Harian Media Indonesia
Opini Publik
Senin, 20 Desember 2010
PERMASALAHAN banjir di Indonesia merupakan masalah klasik yang tidak pernah dapat teratasi dengan tuntas. Terutama terjadi di kotakota besar yang tersebar dari Sabang hingga Merauke. Minimnya pengetahuan tentang perencanaan tata ruang dan rendahnya kesadaran terhadap kelestarian lingkungan menjadi akar permasalahan banjir tidak pernah tuntas teratasi.
Kendati telah mengetahui permasalahan tersebut, pemerintah masih saja mengambinghitamkan tingginya curah hujan. Padahal masalah fundamental terkait dengan kelestarian lingkungan dan keseimbang an alam tidak pernah menjadi fokus perhatian. Sebagai negara yang diapit dua benua dan dua samudra, Indonesia memiliki dua musim yaitu kemarau dan penghujan.
Pada awalnya keseimbangan itu terjadi, dengan lahan terbuka hijau tumbuh subur di tanah Nusantara. Ketika kemarau tidak terjadi kekeringan dan ketika musim penghujan, daerah resapan air masih mampu menampung debit air yang turun ketika hujan.
Namun, fenomena itu kini telah musnah dan hanya kenangan. Pendirian gedung-gedung pencakar langit, pembangunan perumahan, perambahan hutan, tata ruang buruk, dan sanitasi yang tidak memadai menjadi alasan kuat banjir terus datang setiap tahunnya.
Data State of the World’s Forests 2007 dan The UN Food & Agriculture Organization (FAO) menyebut angka deforestasi Indonesia pada periode 2000-2005 mencapai 1,8 juta ha/tahun. Dengan laju deforestasi hutan tersebut, Guiness Book of The Record memberikan ‘gelar kehormatan’ bagi Indonesia sebagai negara dengan daya rusak hutan tercepat di dunia.
Dari total luas hutan di Indonesia yang mencapai 180 juta ha, Kementerian Kehutanan (sebelumnya menyebutkan angka 135 juta ha) menyatakan sebanyak 21% atau setara dengan 26 juta ha telah dijarah total sehingga tidak memiliki tegakan pohon lagi.
Hal itu menandakan bahwa jumlah hutan di Indonesia yang telah musnah mencapai 26 juta ha.
Rusaknya ekosistem dan keseimbangan lingkungan merupakan suatu bentuk minimnya kesadaran masyarakat akan kelestarian lingkungan. Kepentingan jangka pendek selalu mendominasi setiap tindakan dan kebijakan yang dibuat.
Alhasil, kerugian jangka panjang pun hanya menunggu waktu. Kondisi ini semakin diperparah dengan buruknya sanitasi, baik karena sampah maupun sedimentasi yang menurunkan daya tampungnya. Akibatnya, banjir pun menjadi langganan di sejumlah daerah di Tanah Air, terutama di kota-kota besar.
Felix Wisnu Handoyo
Mahasiswa Ilmu Ekonomi
Fakultas Ekonomika dan Bisnis, UGM
Kendati telah mengetahui permasalahan tersebut, pemerintah masih saja mengambinghitamkan tingginya curah hujan. Padahal masalah fundamental terkait dengan kelestarian lingkungan dan keseimbang an alam tidak pernah menjadi fokus perhatian. Sebagai negara yang diapit dua benua dan dua samudra, Indonesia memiliki dua musim yaitu kemarau dan penghujan.
Pada awalnya keseimbangan itu terjadi, dengan lahan terbuka hijau tumbuh subur di tanah Nusantara. Ketika kemarau tidak terjadi kekeringan dan ketika musim penghujan, daerah resapan air masih mampu menampung debit air yang turun ketika hujan.
Namun, fenomena itu kini telah musnah dan hanya kenangan. Pendirian gedung-gedung pencakar langit, pembangunan perumahan, perambahan hutan, tata ruang buruk, dan sanitasi yang tidak memadai menjadi alasan kuat banjir terus datang setiap tahunnya.
Data State of the World’s Forests 2007 dan The UN Food & Agriculture Organization (FAO) menyebut angka deforestasi Indonesia pada periode 2000-2005 mencapai 1,8 juta ha/tahun. Dengan laju deforestasi hutan tersebut, Guiness Book of The Record memberikan ‘gelar kehormatan’ bagi Indonesia sebagai negara dengan daya rusak hutan tercepat di dunia.
Dari total luas hutan di Indonesia yang mencapai 180 juta ha, Kementerian Kehutanan (sebelumnya menyebutkan angka 135 juta ha) menyatakan sebanyak 21% atau setara dengan 26 juta ha telah dijarah total sehingga tidak memiliki tegakan pohon lagi.
Hal itu menandakan bahwa jumlah hutan di Indonesia yang telah musnah mencapai 26 juta ha.
Rusaknya ekosistem dan keseimbangan lingkungan merupakan suatu bentuk minimnya kesadaran masyarakat akan kelestarian lingkungan. Kepentingan jangka pendek selalu mendominasi setiap tindakan dan kebijakan yang dibuat.
Alhasil, kerugian jangka panjang pun hanya menunggu waktu. Kondisi ini semakin diperparah dengan buruknya sanitasi, baik karena sampah maupun sedimentasi yang menurunkan daya tampungnya. Akibatnya, banjir pun menjadi langganan di sejumlah daerah di Tanah Air, terutama di kota-kota besar.
Felix Wisnu Handoyo
Mahasiswa Ilmu Ekonomi
Fakultas Ekonomika dan Bisnis, UGM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar