http://kampus.okezone.com/read/2010/12/13/367/402769/putus-corruption-vicious-cycle
Dimuat okezone.com
Senin, 13 Desember 2010 - 12:42 wib
Beberapa waktu yang lalu Busyro Muqqodas, terpilih sebagai ketua KPK yang baru dengan memperoleh 34 suara menggungguli pesaingnya Bambang Widjojanto. Busyro akan menjabat sebagai pimpinan KPK untuk satu tahun mendatang guna mengisi lowongnya jabatan petinggi KPK, menggantikan Antasari Azhar yang telah diberhentikan karena terlibat pembunuhan Direktur Putra Rajawali Banjaran, Nasrudin.
Dengan terpilihnya Busyro sebagai ketua KPK yang baru, akan menjadi tantangan yang berat baginya guna membongkar berbagai kasus korupsi di Indonesia. Terutama kasus mafia hukum yang saat ini kian marak dan menggerogoti negeri ini secara perlahan. Takhayal, tugas berat pun menanti Busyro dalam mengupas habis berbagai kasus korupsi yang ada. “Jebakan” Korupsi yang digadang-gadang menjadi pemicu korupsi di Indonesia harus segera dimusnahkan. Pasalnya, “Jebakan” Korupsi menciptakan corruption vicious cycle (lingkaran setan korupsi), yang secara jelas akan menciptakan zona nyaman bagi sang koruptor.
Mengacu pada kasus keluarnya Gayus dari rutan Mako Brimob beberapa minggu lalu. Menunjukkan bahwa berbagai pelanggaran terjadi, seolah-olah telah direncanakan bahkan indikasi “persekongkolan” pun sangat tampak antara petugas dan tahanan. Terlepas dari masalah pribadi, munculnya suap ditengarai ada beberapa pelanggaran yang dilakukan kepala rutan Mako Brimob. Pertama, penyalahgunaan wewenang dan jabatan yang diembannya. Kedua, pembuat keputusan final untuk menerima atau tidak suap yang diberikan. Ketiga, melibatkan bawahannya yang langsung dibawah komandonya, sehingga delapan aparat lainnya pun terlibat (Seputar Indonesia, 17/11/2010).
“Jebakan” Korupsi pun kian menunjukkan taringnya dengan menciptakan corruption vicious cycle. Zona nyaman koruptor kian melebar yang ditandai dengan masih berkeliarannya mafia hukum. Lalu, sekarang apa yang bisa dilakukan Ketua KPK yang baru, Busyro? Pada dasarnya kasus korupsi di Indonesia memiliki modus operandi yang sama. Dimana bersekongkol, bekerja sama, dan membagi “jarahan” uang negara secara merata (semuanya kebagian). Maka, yang perlu dilakukan ialah memutus aliran corruption vicous cycle agar zona nyaman koruptor dapat dihapus.
Pertama, pemberantasan korupsi harus dilakukan secara konstitusional, melalui UU Tipikor. Kedua, melalui mekanisme teknis yang selama ini dilakukan oleh KPK. Langkah pemberantasan korupsi secara konstitusi dapat dilakukan dengan meng-Amandemen UU Tipikor. Kendati ranah ini mencakup kekuasaan DPR, tetapi KPK dapat memberikan masukan kepada presiden untuk melakukan usulan Amandemen. Dalam UU Tipikor No.31 Tahun 1999, menunjukkan lubang besar yang sangat memanjakan koruptor atau mendorong seseorang untuk melakukan korupsi. Situasi tersebut menjadi titik lemah dari keberadaan undang-undang yang tidak mampu menciptakan efek jera bagi pelaku tindak pidana korupsi.
Beberapa hal yang menjadi titik lemah dalam UU Tipikor di Indonesia. Pertama, dalam UU Tipikor hukuman yang dijatuhkan dalam pasal-pasal yang ada terbilang sangat ringan. Indikasinya, terlihat dari minimnya waktu hukuman yang harus dijalani oleh koruptor. Dalam beberapa putusan sidang, pelaku koruptor hanya dikenakan hukuman berkisar dua hingga lima tahun. Kedua, denda yang harus ditanggung oleh koruptor bisa dikatakan sangat ringan, atau memiliki kecenderungan semakin kecil. Ketiga, yang menjadi kelemahan dari undang-undang tersebut, terkait dengan perampasan harta hasil dari kejahatan korupsi. Dalam pasal tambahan maupun pasal lainnya, menyebutkan bahwa koruptor hanya diwajibkan mengembalikan kekayaan negara yang dikorupsi. Padahal ada nilai waktu uang (value of money), yang tidak diperhitungkan dalam UU Tipikor.
Kedua, pemberantasan secara teknis dilakukan dengan menangkap dan memproses tersangka sesuai dengan ranah hukum. Hal itu akan berhasil menciptakan efek jera jika dukungan UU Tipikor mampu menjatuhkan hukuman seberat-beratnya. Salah satu usulan yang pernah mencuat ialah memiskinkan koruptor. Dengan cara tersebut, calon koruptor akan berfikir ulang untuk melakukan korupsi. Tugas berat pun menanti Busyro untuk memutus corruption vicious cycle di Indonesia.
Felix Wisnu Handoyo
Mahasiswa Ilmu Ekonomi
Fakultas Ekonomika dan Bisnis, UGM Yogyakarta
Dimuat okezone.com
Senin, 13 Desember 2010 - 12:42 wib
Beberapa waktu yang lalu Busyro Muqqodas, terpilih sebagai ketua KPK yang baru dengan memperoleh 34 suara menggungguli pesaingnya Bambang Widjojanto. Busyro akan menjabat sebagai pimpinan KPK untuk satu tahun mendatang guna mengisi lowongnya jabatan petinggi KPK, menggantikan Antasari Azhar yang telah diberhentikan karena terlibat pembunuhan Direktur Putra Rajawali Banjaran, Nasrudin.
Dengan terpilihnya Busyro sebagai ketua KPK yang baru, akan menjadi tantangan yang berat baginya guna membongkar berbagai kasus korupsi di Indonesia. Terutama kasus mafia hukum yang saat ini kian marak dan menggerogoti negeri ini secara perlahan. Takhayal, tugas berat pun menanti Busyro dalam mengupas habis berbagai kasus korupsi yang ada. “Jebakan” Korupsi yang digadang-gadang menjadi pemicu korupsi di Indonesia harus segera dimusnahkan. Pasalnya, “Jebakan” Korupsi menciptakan corruption vicious cycle (lingkaran setan korupsi), yang secara jelas akan menciptakan zona nyaman bagi sang koruptor.
Mengacu pada kasus keluarnya Gayus dari rutan Mako Brimob beberapa minggu lalu. Menunjukkan bahwa berbagai pelanggaran terjadi, seolah-olah telah direncanakan bahkan indikasi “persekongkolan” pun sangat tampak antara petugas dan tahanan. Terlepas dari masalah pribadi, munculnya suap ditengarai ada beberapa pelanggaran yang dilakukan kepala rutan Mako Brimob. Pertama, penyalahgunaan wewenang dan jabatan yang diembannya. Kedua, pembuat keputusan final untuk menerima atau tidak suap yang diberikan. Ketiga, melibatkan bawahannya yang langsung dibawah komandonya, sehingga delapan aparat lainnya pun terlibat (Seputar Indonesia, 17/11/2010).
“Jebakan” Korupsi pun kian menunjukkan taringnya dengan menciptakan corruption vicious cycle. Zona nyaman koruptor kian melebar yang ditandai dengan masih berkeliarannya mafia hukum. Lalu, sekarang apa yang bisa dilakukan Ketua KPK yang baru, Busyro? Pada dasarnya kasus korupsi di Indonesia memiliki modus operandi yang sama. Dimana bersekongkol, bekerja sama, dan membagi “jarahan” uang negara secara merata (semuanya kebagian). Maka, yang perlu dilakukan ialah memutus aliran corruption vicous cycle agar zona nyaman koruptor dapat dihapus.
Pertama, pemberantasan korupsi harus dilakukan secara konstitusional, melalui UU Tipikor. Kedua, melalui mekanisme teknis yang selama ini dilakukan oleh KPK. Langkah pemberantasan korupsi secara konstitusi dapat dilakukan dengan meng-Amandemen UU Tipikor. Kendati ranah ini mencakup kekuasaan DPR, tetapi KPK dapat memberikan masukan kepada presiden untuk melakukan usulan Amandemen. Dalam UU Tipikor No.31 Tahun 1999, menunjukkan lubang besar yang sangat memanjakan koruptor atau mendorong seseorang untuk melakukan korupsi. Situasi tersebut menjadi titik lemah dari keberadaan undang-undang yang tidak mampu menciptakan efek jera bagi pelaku tindak pidana korupsi.
Beberapa hal yang menjadi titik lemah dalam UU Tipikor di Indonesia. Pertama, dalam UU Tipikor hukuman yang dijatuhkan dalam pasal-pasal yang ada terbilang sangat ringan. Indikasinya, terlihat dari minimnya waktu hukuman yang harus dijalani oleh koruptor. Dalam beberapa putusan sidang, pelaku koruptor hanya dikenakan hukuman berkisar dua hingga lima tahun. Kedua, denda yang harus ditanggung oleh koruptor bisa dikatakan sangat ringan, atau memiliki kecenderungan semakin kecil. Ketiga, yang menjadi kelemahan dari undang-undang tersebut, terkait dengan perampasan harta hasil dari kejahatan korupsi. Dalam pasal tambahan maupun pasal lainnya, menyebutkan bahwa koruptor hanya diwajibkan mengembalikan kekayaan negara yang dikorupsi. Padahal ada nilai waktu uang (value of money), yang tidak diperhitungkan dalam UU Tipikor.
Kedua, pemberantasan secara teknis dilakukan dengan menangkap dan memproses tersangka sesuai dengan ranah hukum. Hal itu akan berhasil menciptakan efek jera jika dukungan UU Tipikor mampu menjatuhkan hukuman seberat-beratnya. Salah satu usulan yang pernah mencuat ialah memiskinkan koruptor. Dengan cara tersebut, calon koruptor akan berfikir ulang untuk melakukan korupsi. Tugas berat pun menanti Busyro untuk memutus corruption vicious cycle di Indonesia.
Felix Wisnu Handoyo
Mahasiswa Ilmu Ekonomi
Fakultas Ekonomika dan Bisnis, UGM Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar