Senin, 05 Agustus 2019

Mengukur Efektivitas Asuransi Kesehatan Nasional

Bisnis Indonesia
Kamis, 1 Agustus 2019

Bisnis.com, JAKARTA - Hal yang sedikit menggelitik dari pelaksanaan UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), kita baru berada dalam level penanganan masalah finansial yang melanda BPJS Kesehatan. Namun, masih jauh dalam mendiskusikan atau mempermasalahan status kesehatan masyarakat, akan meningkat atau tidak dalam pelaksanaannya.
Defisit finansial yang menimpa BPJS Kesehatan telah menjadi isu hangat belakangan ini dan berbagai upaya telah dilakukan untuk menekan membengkaknya tagihan pelayanan kesehatan badan tersebut. Data terakhir menyebutkan bahwa BPJS Kesehatan mengalami defisit hingga Rp16,5 triliun dan memungkinkan membengkak di tahun ini dan selanjutnya.
Pembicaraan berlanjut soal intervensi mengenai pengurangan manfaat bagi peserta BPJS Kesehatan hingga pelaksanaan urun biaya dan selisih biaya. Namun, pertanyaan mendasar dari implementasi UU SJSN tidak pernah mendapatkan tempat utama, yaitu apakah tingkat kesehatan masyarakat meningkat dengan program ini?
Dalam UU No. 24 Tahun 2011 pasal 3 menegaskan bahwa BPJS bertujuan untuk mewujudkan terselenggaranya pemberian jaminan demi terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap peserta dan/atau anggota keluarganya. Kebutuhan akan jaminan kesehatan dan ketenagakerjaan menjadi fokus utama dibentuknya BPJS.
Namun, permasalahan mendasar (defisit anggaran) dari pelaksanaan BPJS seakan menjadi batu sandungan bagi keberlangsungan program ini. Kendati skema mitigasi apabila terjadi defisit keuangan mengenai BPJS, khususnya BPJS Kesehatan telah tertuang dalam undang-undang, implementasi di lapangan belum sesuai harapan. Pengurangan manfaat kesehatan, urun biaya dan selisih biaya mewarnai peliknya tantangan bagi badan tersebut saat ini.
Penerjemahan atas UU SJSN yang tidak menyeluruh membuat kita kian terjebak dalam permasalahan defisit, pengurangan manfaat dan urun serta selisih biaya. Hal utama mengenai pemenuhan kebutuhan dasar hidup malah kian luput dari perhatian, dalam hal ini kesehatan.
Berdasarkan hasil penelitian yang penulis lakukan dengan data Indonesian Family Life Survey (IFLS) 4 dan 5, menunjukkan bahwa asuransi kesehatan daerah, Jamsostek, Askes dan saat ini BPJS belum mampu meningkatkan status kesehatan masyarakat. Hasil penelitian yang dibagi dalam group treatment-control mengambil sampel sebanyak 12.740 observasi data panel.
Group treatment tercatat sebanyak 8.754 observasi dimana individu tidak memiliki asuransi pada IFLS4 dan memiliki asuransi pada IFLS5. Sebagai control sebanyak 3.716 observasi dengan ketentuan memiliki asuransi pada kedua periode penelitian.
Hasilnya cukup mengejutkan bahwa keberadaan asuransi yang dikelola pemerintah dan BUMN atas dasar penugasan pemerintah tidak memiliki dampak terhadap peningkatan status kesehatan (statistically insignificant) peserta asuransi tersebut. Penelitian ini menggunakan metode difference-in-differences (DiD) dengan data panel yang seimbang (balanced panel).
Namun, keberadaan program asuransi ini berhasil menurunkan tingkat pengeluaran kesehatan masyarakat meskipun ada pengeluaran tetap yaitu premi. Hal yang menjadi dasar dari pelaksanaan program ini seharusnya mampu meningkatkan tingkat kesehatan masyarakat. Sayangnya, hal yang penting ini malah luput dari pembahasan pemerintah dan BPJS. Justru kita disibukkan pada permasalahan finansial dan malah penurunan manfaat.
Jika berkaca pada hasil penelitian tersebut, seharusnya pemerintah dan BPJS Kesehatan bersama-sama mengambil langkah strategis, yaitu bagaimana asuransi kesehatan nasional ini berkontribusi dalam peningkatan kesehatan masyarakat.
Bukankah seharusnya kebijakan yang diterapkan harus mengacu pada sasaran tersebut, bukan hanya bagaimana menutup defisit keuangan dengan menurunkan manfaat dan urun serta selisih biaya. Ini pun menjadi evaluasi atas kebijakan penurunan manfaat kesehatan bagi masyarakat, karena dengan kondisi saat ini saja belum mampu mendorong tingkat kesehatan masyarakat. Apalagi jika manfaatnya dikurangi.
Kian jelas bahwa ketentuan Indonesia Case Base Groups (Ina-CBG’s) tidak disiapkan dengan baik. Pasalnya, belum pernah dipublikasikan, baik oleh pemerintah maupun BPJS Kesehatan mengenai tindakan medis kepada pasien, apakah sudah efektif atau belum. Apalagi untuk penanganan pasien yang memiliki penyakit cukup berat.
Padahal hal ini seharusnya dilakukan untuk menerapkan prosedur yang efektif dan tentunya menghindari tindakan medis berlebihan. Efektif artinya dengan tindakan medis tertentu dapat meningkatkan status kesehatan masyarakat. Evaluasi tersebut dapat dilakukan dengan cost-benefit-analysis (CBA), cost utility analysis (CUA), dan cost effectiveness analysis (CEA).
Namun, hal tersebut tampak belum menjadi basis dalam penerapan Ina-CBG’s. Padahal dengan analisis tersebut akan membantu suatu tindakan medis memiliki efektivitas terhadap pasien atau tidak berdasarkan quality adjusted life-years (QALY). QALY merupakan ukuran mengenai kualitas hidup seseorang pasca mendapatkan penanganan medis. Kendati ukuran ini terbilang subyektif tetapi dapat menjadi ukuran untuk menentukan pelayanan optimal bagi pasien.
Pemerintah dan BPJS Kesehatan seharusnya sudah tidak berkutat pada masalah defisit anggaran. Pasalnya, rekomendasi mengenai dana abadi kesehatan benar-benar bisa dilakukan dan diterapkan. Sudah waktunya membahas paket kesehatan dan dampaknya bagi peningkatan kesehatan masyarakat.
Perlu diingat bahwa rancangan pembangunan Indonesia ke depan akan berfokus pada pengembangan sumber daya manusia. Syarat utamanya ialah pendidikan dan kesehatan. Dalam hal ini BPJS Kesehatan memiliki peran yang sangat besar dalam menunjang pembangunan sumber daya manusia.
Untuk itu transformasi harus terus dilakukan agar negara ini bisa semakin maju.

Jumat, 22 Februari 2019

Urun Biaya dan Selisih Biaya, Solusi Bagi JKN?

Bisnis Indonesia Kamis, 21 Februari 2019

Bisnis.com, JAKARTA – Kali ini Kementerian Kesehatan (Kemenkes) benar-benar panik dalam menekan defisit BPJS Kesehatan. Pasalnya, dugaan membengkaknya klaim kian melebar pada tahun ini dibandingkan dengan Rp16,5 triliun pada 2018.
Skenario mulai dari pengurangan manfaat bagi peserta BPJS Kesehatan tampaknya belum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Saat ini pemerintah melalui Kemenkes menerbitkan aturan teknis mengenai urun biaya dan selisih biaya kesehatan bagi peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Kepanikan tampak mulai dirasakan oleh Kemenkes dan BPJS Kesehatan dalam menghadapi defisit yang berpotensi melebar. Kendati undang-undang sistem jaminan sosial nasional (UU SJSN) membuka peluang adanya urun biaya, pelaksanaan urun biaya harus berdasarkan jenis pelayanan yang menimbulkan penyalah-gunaan pelayanan.
Permenkes No. 51/2018 telah mengatur urun biaya apabila masyarakat mendapatkan pelayanan rawat jalan atau inap berdasarkan kelas rumah sakit dan ditetapkan maksimum nominal untuk setiap pelayanan. Peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) dibebaskan dari pengenaan urun biaya ketika mendapatkan pelayanan. Namun, implementasi aturan tersebut masih menunggu kajian jenis pelayanan kesehatan yang memungkinkan terjadinya penyalahgunaan.
Urun biaya memang belum diberlakukan bagi peserta JKN, khususnya untuk peserta non-PBI. Namun, pelaksanaan urun biaya berpotensi mengurangi kunjungan masyarakat dalam mengakses layanan kesehatan. Pasalnya, mereka yang biasanya mendapatkan pelayanan secara gratis harus bersedia membayar sebagai bentuk urun biaya.
Disisi lain, keberadaan JKN yang seharusnya menjadi angin surga bagi masyarakat dalam mengakses layanan kesehatan, baik peserta PBI maupun non-PBI. Apabila aturan tersebut diterapkan, tidak sepenuhnya sesuai harapan masyarakat.
Dalam Model Grossman disebutkan akses kepada fasilitas kesehatan dan perilaku hidup masyarakat memengaruhi tingkat kesehatan masyarakat. Dalam hal ini, akses layanan kesehatan menjadi salah satu input yang ikut menentukan tingkat kesehatan masyarakat. Adanya tambahan biaya dalam mengakses kesehatan menjadi hal yang memberatkan, khususnya bagi kelas menengah.
Masyarakat kelas menengah bisa dikatakan tidak tergolong dalam kelompok PBI tetapi juga tidak dikatakan kelompok yang mampu secara finansial sepenuhnya. Kelompok PBI sebanyak 92.4 juta jiwa (46,13% dari peserta BPJS Kesehatan) akan tetap merasakan gratis pelayanan kesehatan yang mengacu pada Indonesia Case Base Groups (InaCBG’s). Sebanyak 107,88 juta jiwa peserta JKN non-PBI akan dikenakan urun biaya ketika mengakses layanan kesehatan.
Berdasarkan data Agustus 2018, total peserta BPJSKesehatan 200,28 juta jiwa. Jika sebanyak 64,72 juta jiwa peserta non-PBI (32,31% dari total peserta BPJS Kesehatan) dikategorikan kelas menengah, kelompok ini yang akan paling merasakan dampaknya. Disisi lain, 21,54% (43,15 juta jiwa) dari total peserta bisa dikatakan kelompok atas (kaya) dan tidak akan bermasalah dengan urun biaya atau mereka memiliki asuransi lain.
Dengan estimasi tersebut, masyarakat kelas menengah yang akan lebih rasional dalam mengakses layanan kesehatan. Sayangnya, tidak ada data sebaran masyarakat yang akan terdampak urun biaya yang dipublikasi oleh BPJS Kesehatan. Dampak dari kebijakan urun biaya akan terasa cukup signifikan dalam menekan keinginan masyarakat mengakses layanan kesehatan.
Pada saat yang sama, pemangkasan manfaat pelayanan pun kian membatasi peserta mendapatkan pelayanan kesehatan.
Berbeda dengan urun biaya, pengenaan selisih biaya merupakan rencana yang bisa dikatakan relatif lebih tepat. Namun, penerapannya perlu hati-hati. Pasalnya, selisih biaya ini harus ditanggung masyarakat dari tarif yang ditetapkan Ina-CBG’s pada kelas peserta terdaftar jika peserta tersebut naik kelas pelayanan.
Namun jika kebijakan ini diterapkan, apakah akan diberlakukan juga apabila rumah sakit rujukan sudah penuh pada kelas perawatan dimana peserta BPJS Kesehatan terdaftar, tetap dikenakan selisih biaya jika terpaksa harus naik kelas pelayanan?
Pasien di kota besar tidak terlalu bermasalah, karena pilihan rumah sakit cukup banyak. Lain halnya di perdesaan atau yang layanan kesehatannya terbatas. Pasien, khususnya non-PBI, tak punya pilihan karena harus naik kelas atau tidak mendapatkan penanganan kesehatan di kelasnya terdaftar. Hal ini perlu diantisipasi Kemenkes
Urun biaya dan selisih biaya merupakan konsekuensi dari keengganan pemerintah dalam menaikkan tarif iuran peserta BPJS Kesehatan. Disisi lain pemerintah masih menahan alternatif pembiayaan dari pajak rokok dan atau mungkin dana abadi kesehatan. Dana abadi kesehatan dapat diperoleh dari APBN, pajak rokok, kendaraan, dan pajak makanan minuman yang ikut menyumbang penyakit tertentu pada masyarakat.
Sekalipun peserta JKN terpenuhi 100% belum menjamin bahwa defisit BPJS Kesehatan akan hilang atau mengecil.
Selain itu penekanan defisit yang terjadi masih bersifat eksternal, diluar dari struktur organisasi yang ada. Jika defisit ini adalah masalah bersama, seharusnya peningkatan efisiensi kegiatan operasional pun perlu dilakukan.
Beban operasional BPJS Kesehatan 2017 tercatat Rp3,8 triliun. Perlu dilakukan efisiensi agar beban bisa dikurangi hingga beberapa puluh persen, sehingga bisa membantu menekan defisit.
BPJS Kesehatan juga memiliki investasi lain. Pada dasarnya desain ini untuk mengantisipasi adanya dana iuran besar yang mengendap. Saat defisit melanda apakah tidak sebaiknya kegiatan investasi ditarik keluar dari BPJS Kesehatan.
Pertama, menyebabkan bengkaknya biaya operasional, karena harus membayar unit investasi dalam struktur lembaga di BPJS Kesehatan. Kedua, terjadi conflict of interest dalam alokasi anggaran untuk pembayaran kewajiban atau beban investasi. Beban investasi tercatat sebesar Rp28,21 miliar. Adapun pendapatan bruto investasi Rp150,91 miliar pada 2017. Tentu nilai pendapatan investasi tersebut yang terdiri dari bunga deposito, obligasi, dan keuntungan pelepasan investasi merupakan akumulasi alokasi beban investasi pada tahun-tahun sebelumnya.
Tingginya angka kunjungan masyarakat pada faskes tidak semata-mata terjadi dugaan penyalahgunaan layanan kesehatan tetapi bisa jadi imbas dari rendahnya kesadaran masyarakat dalam menjaga kesehatan. Ini pun kritik bagi program Kemenkes seperti program promotif dan preventif.
Ketidakefektivan program tersebut menyebabkan kesadaran masyarakat untuk menjaga kesehatan terbilang cukup rendah. Alhasil, ketika ada layanan kesehatan yang terjangkau, tak heran masyarakat berbondong-bondong mengakses faskes.
Perbaikan perlu dilakukan secara menyeluruh. Permasalahan BPJS Kesehatan melibatkan banyak pemangku kepentingan, mulai dari pemerintah pusat dan daerah, masyarakat, faskes, dan BPJS Kesehatan sendiri. Penyelesaian masalah defisit BPJS Kesehatan harus dilakukan secara bersama-sama dengan keterlibatan aktif semua elemen.
Penerapan urun biaya dan selisih biaya bisa menjadi solusi jangka pendek apabila dilakukan hati-hati. Namun, saya yakin tidak akan bisa menutup defisit BPJS Kesehatan sepenuhnya.