Oleh: Felix Wisnu Handoyo
Predikat Investment Grade yang diberikan oleh Fitch Ratings kepada Indonesia membawa angin segar bagi perekonomian Indonesia. Runtuhnya perekonomian global, seolah-olah menjadi berkah untuk meningkatkan investasi riil di negeri ini, kecuali dalam urusan bahan bakar minyak. Secara makro Indonesia dapat dikatakan sebagai negara memiliki ekonomi yang kuat ditengah terpuruknya ekonomi Eropa dan Amerika Serikat. Pertumbuhan ekonomi terjaga tetap tinggi pada kisaran 6,5% pada tahun lalu. Sedangkan, inflasi tercatat januari hingga desember 2011 sebesar 3,79 % (BPS). Di tahun ini Bank Indonesia memperkirakan inflasi hingga Desember 4,6 %, dengan pertumbuhan ekonomi 6,3%. Lalu, bagaimana Indonesia memanfaatkan rating investment grade untuk mendorong investasi masuk?
Perlu
kita akui memang prestasi Indonesia menembus investment grade tidak terlepas dari runtuhnya ekonomi Eropa dan
Amerika Serikat. Artinya, Indonesia bisa dikatakan terbaik diantara
negara-negara yang terpuruk. Momentum ini perlu dimanfaatkan oleh bangsa ini
untuk memperkuat perekonomian nasional, baik secara fundamental maupun
pertumbuhan ekonomi. Artinya, Indonesia akan
dipandang sebagai negara yang memiliki daya pikat bagi investor asing yang
ingin berinvestasi. Maka, kesiapan pemerintah untuk mendorong investasi asing ke dalam negeri sangat
dibutuhkan. Berbagai instrumen kebijakan telah dilakukan untuk menyambut
masuknya investasi asing. Lalu, Apakah instrumen kebijakan tersebut mampu
mendongkrak investasi untuk menciptakan kekuatan fundamental ekonomi negeri
ini?
Setidaknya
ada 2 hal besar yang telah dilakukan pemerintah guna menyambut masuknya investasi
asing. Pertama, instumen kebijakan fiskal telah dikeluarkan menteri keuangan
melalui pengurangan pajak, pengurangan birokrasi, dan kemudahan dalam
perizinan. Kedua, pembentukan MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan
Pembangunan Ekonomi Indonesia) sebagai dokumen perencanaan pembangunan dengan
target capaian pendapatan perkapita USD 14.250 – 15.500 penduduk Indonesia
hingga 2025. Kedua hal tersebut akan berjalan dengan baik apabila dilakukan
secara simultan dan tidak saling menggantikan satu dengan lainnya. Implementasi
dari kedua kebijakan tersebut pun perlu disinergikan agar tercipta iklim
investasi yang baik. Namun, implementasi dilapangan tidak semudah yang
dibayangkan, ada kecederungan dominasi MP3EI sebagai program “mercusuar”
pemerintahan saat ini dibandingkan implementasi kebijakan fiskal yang menjadi
domain menteri keuangan.
Minimnya
Efektivitas kebijakan
Instrumen
kebijakan fiskal yang dikeluarkan menteri keuangan tampaknya belum menunjukkan
kinerja yang baik. Permenkeu No.130/PMK.011/2011,
tentang pemberian fasilitas pembebasan atau penggunaan pajak penghasilan badan masih minim peminat. Syarat yang dikemukakan
dalam PMK (Peraturan Menteri Keuangan) tersebut masih dianggap berat oleh
pelaku usaha. Akibatnya, pelaku usaha mengalami kesulitan untuk memenuhi syarat
untuk mendapatkan tax holiday. Kondisi
ini jelas tidak mampu memberikan insentif bagi peningkatan investasi di
Indonesia.
Untuk PMK
No.254/PMK.04/2011 tentang Pembebasan bea masuk atas impor barang dan bahan
untuk diolah, dirakit, atau dipasang pada barang lain dengan tujuan untuk
diekspor, memberikan dampak negatif bagi industri dalam negeri. Industri dalam
negeri akan kebanjiran produk mentah atau setengah jadi. Situasi ini jelas
merugikan pelaku usaha, khususnya yang bergerak dibidang bahan metah dan
setengah jadi. Produk yang mereka hasilkan akan berkompetisi dengan produk
impor yang cederung memiliki harga yang relative lebih murah. PMK ini pun agak
bertentangan dengan, PMK No.67/PMK.011/2010 tentang penetapan barang ekspor
yang dikenakan bea keluar dan tarif bea keluar, barang yang tertuang ialah
rotan, kulit, kayu, kelapa sawit, crude palm oil (CPO), dan produk turunan,
serta biji kakao.
Pada
PMK No.67/PMK.011/2010 pemerintah
melalui menteri keuangan menginginkan pembatasan ekspor pada bahan mentah untuk
sektor tertentu. Namun, pada PMK No.254/PMK.04/2011 pemerintah membuka selebar-lebarnya
impor bahan mentah, bahan dan setengah jadi untuk dirakit dengan tujuan ekspor.
Disatu sisi pemerintah ingin meningkatkan nilai tambah dan meningkatkan
pendapatan melalui tarif dan bea keluar, disisi lain petani, pedagang, dan
produsen barang mentah harus disibukkan dengan masukkan barang impor yang
cenderung menurunkan harga. Alhasil, kondisi ini menimbulkan kontradiksi
kebijakan yang merugikan pelaku usaha di dalam negeri. Kebijakan ini memiliki
kecederungan men-discourage produk
turunan ekspor yang tidak mendapat insentif melainkan disinsentif dengan
pemberlakukan bea keluar dan tarif bea keluar.
Sedangkan,
program “mercusuar” pemerintah mengenai MP3EI pun masih diragukan tingkat
efektivitas-nya. Upaya percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia
(P3EI) belum dirasakan oleh pelaku usaha dan masyarakat. Keberhasilan yang
capai saat ini merupakan proyek yang telah berjalan beberapa tahun yang lalu.
Sedangkan, untuk proyek baru belum ada dukungan konkret pemerintah untuk
membantu pelaksanaannya. Sebagian besar proyek yang akan di launching pada tahun ini pun belum sepenuhnya siap,
bahkan masih ada beberapa proyek masih dalam proses tender.
Dalam
dokumen MP3EI cita-cita pemerintah untuk merealisasikan percepatan dan
perluasaan pembangunan dengan rencana investasi mencapai Rp.4000 triliun
tampaknya masih sulit tercapai. Mengusung motto business as not usual tampaknya masih dalam tataran rencana dan
minim implementasi. Jika kita lihat hingga saat ini belum ada laporan
pemerintah mengenai pelaksanaan proyek untuk masing-masing koridor. Pemerintah
baru mengumumkan 84 proyek infrastruktur akan launching tahun ini dengan nilai proyek Rp.539 trilliun. Jika pada
tahun ini hanya Rp.539 triliun dan tahun lalu sekitar Rp.200 triliun,
setidaknya pemerintah harus mendorong investasi dalam dua tahun (hingga 2014)
mencapai Rp.3261 trilliun. Hal ini akan bisa tercapai jika kenaikan realisasi
investasi sebesar seratus persen pertahun. Kondisi yang hampir mustahil
dilakukan mengingat kinerja pemerintah yang masih minim, ditambah rendahnya
dukungan fasilitas, kinerja, dan keseriusan pemerintah dalam menyelesaikan
masalah-masalah yang dihadapi di lapangan.
MP3EI as “mercusuar program” for economic development still can’t push
realization investment by domestic and foreign investors. Inaction in taking a government still
dominate the program MP3EI. Though still limited attention to implementation
government MP3EI sufficient the condition seems to forget fiscal policies
considered more important to give incentives or a disincentive to entrepreneurs.
Investment grade received Indonesian rating agencies from Fitch seems not give many benefits. By looking at this phenomenon
which we could score better MP3EI or fiscal policy are or combination to Indonesia
in attracting investment.
MP3EI yang
dapat dikatakan sebagai program “mercusuar” tampaknya belum mampu mendorong
realisasi investasi asing dan dalam negeri di Indonesia. Kelambanan pemerintah
dalam mengambil sikap masih mendominasi pelaksanaan program MP3EI. Meskipun
masih minim implementasi perhatian pemerintah terhadap MP3EI cukup besar,
kondisi seakan melupakan kebijakan fiskal yang dianggap lebih penting untuk memberikan
insentif atau disinsentif terhadap pelaku usaha dilapangan. Investment Grade yang diterima Indonesia
oleh lembaga rating dunia tampaknya belum akan memberikan banyak manfaat.
Dengan melihat fenomena ini, kita bisa menilai mana yang lebih baik, MP3EI atau
Kebijakan Fiskal atau kombinasi diantaranya, dalam menarik investasi ke
Indonesia.
in english please click this link: http://ekonomi.kompasiana.com/moneter/2013/04/05/mp3ei-or-fiscal-stimulus-548447.html
in english please click this link: http://ekonomi.kompasiana.com/moneter/2013/04/05/mp3ei-or-fiscal-stimulus-548447.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar