Oleh Felix Wisnu Handoyo
Bisnis Indonesia, Jumat, November 23 2018
Bisnis Indonesia, Jumat, November 23 2018
Pendidikan dan kesehatan
merupakan dua elemen penting dalam peningkatan kualitas hidup masyarakat.
Keduanya harus berjalan beriringan yang pada akhirnya diharapkan mampu
meningkatkan produktivitas masyarakat.
Pembangunan manusia pun menjadi isu diangkat dalam era
pemerintahan saat ini. Kita telah kenal dengan program BOS, KIP, dan program
beasiswa nasional, seperti LPDP dan Beasiswa Ristek Dikti. Namun, sayangnya
penanganan di bidang kesehatan belum semasif dan sebaik di bidang pendidikan
kendati program di bidang kesehatan seperti Kartu Indonesia Sehat (KIS),
program keluarga harapan (PKH), dan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sudah
dilaksanakan pula.
Penanganan gizi bagi keluarga miskin telah dilakukan dengan
memberikan program PKH. Disisi lain, penanganan masalah pembiayaan kesehatan
dilakukan oleh BPJS-Kesehatan dalam kerangka JKN. Sayangnya, program JKN masih
menimbulkan banyak kendala dalam penanganannya. Pertama, ketidakmerataan
fasilitas dan tenaga kesehatan di setiap daerah sehingga menimbulkan kesenjangan.
Kedua, akses dan jarak tempuh menuju fasilitas kesehatan (faskes)
cukup jauh dan mahal, terutama di wilayah terpencil. Ketiga, defisitnya
anggaran pembiayaan kesehatan yang dijalankan oleh BPJS-Kesehatan sesuai amanat
undang-undang.
Layaknya di bidang pendidikan oleh Kemendikbud, Kemenkes pun harus
proaktif dan massif terutama dalam pemerataan kualitas layanan kesehatan
masyarakat. Jangkauan sarana dan prasarana medis menjadi hal yang mutlak dalam
peningkatan layanan kesehatan.
Tentunya, sebaran dan kualitas tenaga medis baik perawat, bidan,
dan dokter harus mumpuni pula. Permasalahan ini tampaknya yang masih jauh dari
harapan. Akibatnya, keberadaan JKN belum mampu dinikmati masyarakat, khususnya
di daerah terpencil.
Sebelum masalah defisit dana BPJS-Kesehatan muncul kepermukaan,
banyak masyarakat yang mengeluhkan bahwa iuran yang dibayar tidak menjamin
mereka mendapatkan penangangan kesehatan yang baik ketika mereka sakit.
Wajar, karena ketersediaan fasilitas faskes yang mumpuni umumnya
hanya di kota-kota besar. Di lain pihak, ini bukan menjadi kewenangan
BPJS-Kesehatan dalam meningkatkan kualitas sarana dan prasarana kesehatan.
Kemudian, kondisi ini diperparah dengan permasalahan defisitnya
BPJS-Kesehatan hingga pembatasan manfaat kesehatan yang sebelumnya ada menjadi
kurang atau ditiadakan.
Program kesehatan nasional pada dasarnya mampu meningkatkan akses
masyarakat ke layanan kesehatan. Jumlah klaim yang melebihi jumlah iuran
merupakan salah satu indikator kepercayaan diri masyarakat dalam mengakses
faskes. Jumlah peserta per 1 November dari data BPJS-Kesehatan sebanyak 205
juta jiwa, didominasi peserta PBI, baik PBI APBN (92,3 juta) maupun APBD (28,3
juta). Angka ini masih jauh dari target yang mencapai 100% penduduk Indonesia
sebagai peserta BPJS-Kesehatan.
Jumlah peserta program yang besar dan unsur subsidi silang (gotong
royong) dalam pembiayaan kesehatan menjadi hal penting keberadaan program ini.
Maka, pemerintah melalui Kemenkes perlu mengevaluasi seluruh program kesehatan
nasional. Hal ini dapat dimulai dari program di Kemenkes seperti pencegahan
penyakit, program pembangunan dan peningkatan sarana dan prasarana rumah sakit
hingga ketersediaan tenaga medis berkualitas.
Selain itu, Kemenkes bersama Kemenkeu perlu melakukan evaluasi
terhadap pelaksanaan asuransi kesehatan nasional dalam bingkai JKN. Layaknya
gayung bersambut, ketersediaan fasilitas dan tenaga medis pun harus didukung
sistem pembiayaan yang baik melalui BPJS-Kesehatan. Sayangnya, hal ini masih
jauh dari harapan, seolah keberadaan layanan kesehatan terpisah dengan sistem
pembiayaannya. Padahal keduanya harus saling melengkapi. Kecenderungan saat
ini, faskes lebih mumpuni di kota besar daripada di daerah atau kota kecil.
Akibatnya terjadi kesenjangan layanan kesehatan.
Di lain pihak, pembiayaan kesehatan dalam bingkai JKN pun sangat
dibutuhkan masyarakat penerima bantuan iuran (PBI) maupun non-penerima bantuan
iuran (non-PBI). Sinergi pada kedua kementerian sangat diperlukan untuk
meningkatkan kualitas dan kuantitas layanan kesehatan bagi masyarakat.
Hal yang tidak kalah penting, petunjuk penanganan dan pembiayaan
pasien yang tercantum dalam Indonesian Case Base Groups (Ina-CBG’s) perlu
dievaluasi mendalam pula. Keluhan terhadap skema pembiayaan kesehatan menjadi
salah satu persoalan yang belum terselesaikan dengan baik. Ketentuan mengenai
obat dan alat medis yang digunakan menuai keluhan dari banyak pasien.
Harus ada standar penanganan pasien yang tepat agar tidak terjadi
overtreatment atau undertreatment. Evaluasi daftar pembiayaan kesehatan ini pun
harus melibatkan berbagai pihak, mulai dari pemerintah, tenaga medis, dan
perencanaan keuangan di bidang kesehatan.
Dana
Abadi Kesehatan
Kunci keberlangsungan BPJS-Kesehatan ialah ketersediaan anggaran
dalam pembiayaan kesehatan. Permasalahan defisit BPJS-Kesehatan yang tercatat
pada arus kas rencana kerja anggaran tahunan (RKAT) 2018 mencapai Rp16,5
triliun. Hal ini menjadi ancaman bagi keberlangsungan program tersebut.
Belum lagi kondisi ini akan menciptakan keenganan rumah sakit
dalam menangani pasien BPJS-Kesehatan. Apabila kondisi ini berlangsung lama,
akan menimbulkan ketidakpercayaan terhadap BPJS-Kesehatan sebagai lembaga
pembiayaan kesehatan nasional.
Demi meningkatkan kapasitas dan kapabilitas pembiayaan
BPJS-Kesehatan, pemerintah perlu melakukan beberapa langkah strategis. Pertama,
menciptakan lembaga pengelola dana kesehatan atau menyatukan lembaga pengelola
dana kesehatan dan pendidikan.
Pengelolaan dana ini harus terpisah dengan BPJS-Kesehatan untuk
menghindari konflik kepentingan antara lembaga pengelola dana dan lembaga
pembiayaan. Sumber dana pengelolaan ini pun terpisah dari iuran yang diterima
BPJS-Kesehatan.
Namun, lembaga pengelola dana bisa sebagai buffer fiskal
pemerintah ketika ancaman defisit kian meningkat.
Kedua, menetapkan sumber dana yang dikelola, bisa diambil dari
anggaran kesehatan di Kemenkes (APBN) seperti LPDP dari dana pendidikan, pajak
karbon (pabrik, kendaraan bermotor, tambang, dan perkebunan sawit), pajak
rokok, dan pajak minuman kemasan. Penerapan dan penetapan pajak tersebut harus
diatur secara khusus, karena tergantung dari kontribusi produk maupun aktivitas
bisnis tersebut dalam memengaruhi kesehatan masyarakat.
Pajak yang dikumpulkan harus menjadi modal untuk berinvestasi pada
aset-aset yang low-risk dan untuk menghasilkan optimal return, berbeda dengan
konsep pemerintah sebelumnya yang menjadikan pajak sebagai unsur pembiayaan
BPJS-Kesehatan.
Ketiga, mengatur skema pembiayaan kepada BPJS-Kesehatan dari hasil
pengembangan dana abadi kesehatan setelah dikurangi biaya operasional. Skema
ini pun perlu dipikirkan agar BPJS-Kesehatan dan lembaga pengelola dana
kesehatan dapat bersinergi.
Apabila langkah ini dapat dilakukan, pemerintah akan memiliki
buffer fiskal atas permasalahan defisit pembiayaan kesehatan. Selain itu,
keberlangsungan dan kemanfaatan dari pembiayaan oleh BPJS-Kesehatan
memungkinkan diperluas dimasa depan demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar