Selasa, 17 Februari 2009

Dibalik Anarkis Demonstrasi

Banyak spekulasi merebak ditengah tragedi unjuk rasa yang berujung pada meninggalnya Ketua DPRD Sumut. Kelalaian pihak kepolisian dalam melakukan penjagaan demonstran disebut-sebut menjadi biang keladi penganiayayaan yang mengakibatkan kematian. Selain itu, aksi demonstrasi ini diduga ditengarai oleh kelompok tertentu yang berkedok demokrasi. Sungguh ironi demokrasi di Indonesia harus kembali tercoreng.

Meninggalnya Ketua DPRD Abdul Azis Angkat tidak hanya menyisakan duka yang mendalam tetapi juga menjadi gambaran demokrasi di Indonesia. Kejadian yang bermula dari aksi unjuk rasa demonstran yang menuntut pembentukan Propinsi Tapanuli (Protap). Kemudian demonstran yang berjumlah hampir 2000 orang tersebut mendesak masuk gedung DPRD yang dijaga oleh sekitar 250 personel kepolisian. Dengan perbandingan yang tidak cukup imbang akhirnya demontran berhasil masuk ke gedung DPRD. Yang akhirnya, berbuntut pada penganiayayaan Ketua DPRD Sumut yang berujung pada kematian.

Kelalaian dalam pengamanan terhadap anggota dewan disebut-sebut menjadi penyebab meninggalnya Abdul Azis Angkat. Dimana pengamanan yang minim membuat demonstran dapat leluasa masuk gedung dewan. Kondisi ini berbeda ketika pengamanan dilakukan terhadap presiden dan kepala daerah. Dimana personel kepolisian disiagakan dengan kekuatan penuh dan tampak berlebihan.
Kegagalan pihak kepolisian dalam mengamankan unjuk rasa sangat disayangkan oleh berbagai pihak. Salah satu pihak yang menyayangkan ialah Partai Golkar yang menaungi almarhum. Melalui Ketua Fraksi Partai Golkar di DPR, Priyo Budi Santoso, Golkar meminta Kapolri memecat Kapolda Sumatera Utara, Irjen Pol Nana Sukarna dari jabatannya. "Sikap kami tegas. Kami meminta kepada Kapolri, meminta pertanggungjawaban khusus dari Kapolda atas kejadian brutal tersebut.”

Partai Golkar juga mendesak Kapolri untuk meminta pertangggungjawaban aparatnya di daerah. Dimana partai berlambang pohon beringin tersebut juga meminta pengusutan secara tuntas otak dan pelaksana lapangan aksi brutal tersebut. Kegagalan demokrasi di Indonesia merupakan cermin ketidaksiapan berbagai komponen negeri ini. Tidak hanya pihak keamanan dan masyarakat, kedewasaan dari politisi juga ikut menyumbang demo yang berujung pada anarkis.

Jika diperhatikan kejadian serupa pernah terjadi sebelumnya, dimana massa berunjuk rasa menuntut penolakan kenaikan BBM. Para demonstran mengamuk dan merusak pintu gerbang Gedung DPR/MPR serta membakar satu unit mobil dinas pemerintah. Meskipun tidak menelan korban jiwa, aksi tersebut merupakan bagian dari kegagalan penerapan demokrasi di Indonesia.

Aksi anarkis yang dilakukan para demontran akhir-akhir ini dalam menyalurkan aspirasinya tidak jarang di motori oleh elite politik. Dimana para pendemo dibayar dengan sejumlah imbalan tertentu untuk menciptakan situasi yang tidak kondusif. Hal itu tidak terlepas dari kepentingan elite politik tertentu guna mencapai tujuan mereka. Politik kotor ditengarai menjadi aktor dibalik aksi anarkis para demonstran.

Pada demontrasi yang dilakukan para demontran beberapa bulan silam di Senayan menyeret sejumlah elite politik sebagai aktor dibalik kerusuhan tersebut. Dalam pemberitaan di sejumlah media massa menyebutkan bahwa para pendemo diberi imbalan uang untuk setiap aksinya. Hal serupa juga terjadi pada aksi unjuk rasa menuntut pembentukan Propinsi Tapanuli (Protap) di Sumut. Dalam penyelidikan Polri terungkap bahwa aksi tersebut di danai oleh elite politik. Dimana para demonstran diberikan imbalan uang sebesar 20-25 ribu rupiah. Sejumlah elite politik yang merupakan anggota DPRD Sumut disebut-sebut menjadi dalang demonstrasi yang berujung pada meninggalnya Ketua DPRD Sumut.

Kedewasaan elite politik di Indonesia memang masih dipertanyakan. Pasalnya, sejumlah aksi unjuk rasa terus di kotori dengan politik uang yang dilakukan oleh sejumlah elite politik tertentu. Jika pola semacam ini terus terjadi maka perkembangan politik di Indonesia tidak akan pernah mencapai kematangan di masa mendatang. Yang akan memunculkan kekhawatiran bagi perkembangan perpolitikan dikemudian hari. Apalagi tahun ini akan digelar pesta demokrasi untuk memilih sejumlah wakil rakyat dan presiden untuk periode mendatang.

Usungan perubahan akan menjadi upaya terakhir bagi kehidupan perpolitikan di Indonesia. Dimana perubahan bisa dilakukan dengan mengubah perilaku dan cara berfikir oleh sejumlah elite politik di negeri ini. Seperti, yang diserukan Presiden Amerika Serikat Barack Obama yang menjanjikan perubahan. Begitu pun Indonesia harus berubah dalam segala hal sehingga kehidupan demokrasi dapat berjalan dengan baik dan tragedi meninggalnya Ketua DPRD Sumut Abdul Aziz Angkat tak perlu terulang kembali.


Felix Wisnu Handoyo
Mahasiswa Ilmu Ekonomi
Fakultas Ekonomika dan Bisnis, UGM
Yogyakarta

1 komentar:

  1. terimakasih infonya sangat menarik, kunjungi http://bit.ly/2PFnTLA

    BalasHapus