Senin, 07 Mei 2018

Kerja Sama Pemerintah dan Swasta dalam Pembangunan Infrastruktur Pelabuhan

Authors: Bahtiar Rifai, Latif Adam, Firmansyah, dan Felix Wisnu Handoyo

Editor: Felix Wisnu Handoyo dan Bahtiar Rifai 

Salah satu gebrakan yang dilakukan kepemimpinan Presiden Jokowi ialah mengarahkan Indonesia untuk menjadi poros maritim dunia. Artinya, Indonesia akan menjadi pusat aktivitas ekonomi global yang bersinggungan dengan kemaritiman, mulai dari sumber daya alam hingga transportasi laut. Pembenahan dan pembangunan infrastruktur kelautan sudah dimulai, seperti proyek tol laut dan pelabuhan.


Namun, pembangunan semacam itu membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Di saat yang bersamaan, efisiensi dan perampingan APBN juga terus dilakukan. Oleh karena itu, pemerintah harus mencari skema pendanaan alternatif agar proyek yang ada bisa berjalan dengan baik. Model kerja sama pemerintah dan swasta (KPS) dinilai menjadi solusi yang baik.


Melalui buku ini, pembaca akan memahami aspek kelembagaan, mekanisme, peluang, dan permasalahan serta resiko yang dihadapi dalam pelaksanaan KPS. Buku ini juga menawarkan rekomendasi bagi perbaikan kebijakan KPS, sekaligus acuan untuk penelitian-penelitian selanjutnya.


Please click this link to get more information about this book: http://u.lipi.go.id/1525532426

Rabu, 11 Januari 2017

Akses Listrik dan Kesejahteraan Masyarakat

Author: Maxensius Tri Sambodo, Siwage Dharma Negara, Ahmad Helmy Fuady, Felix Wisnu Handoyo, dan Erla Mychelisda

Editor: Maxensius Tri Sambodo, Siwage Dharma Negara, Ahmad Helmy Fuady

Abstrak

Ada banyak kendala dan tantangan yang ditemukan dalam pembangunan sektor ketenagalistrikan di wilayah perdesaan, terutama di beberapa wilayah di Nusa Tenggara Timur. Buku Akses Listrik dan Kesejahteraan Masyarakat ini hadir untuk memberikan solusi terhadap berbagai kendala dan tantangan tersebut. Dengan fokus kajian di wilayah perdesaan terpencil di NTT, buku ini menjelaskan beberapa tantangan besar bagi pembangunan listrik perdesaan untuk membantu masyarakat perdesaan memenuhi kebutuhan energi listrik, meningkatkan kemampuan masyarakat perdesaan memelihara keberlanjutan instalasi pembangkit, mengembangkan sumber energi terbarukan agar lebih kompetitif serta mengatasi kendala geografis wilayah perdesaan yang tersebar dengan infrastruktur yang minim.


Selain itu, buku ini juga memberikan ulasan terkait dampak akses listrik terhadap masyarakat, ditinjau dari adanya peningkatan kegiatan investasi, peningkatan usaha produktif masyarakat serta peningkatan pendapatan dan tabungan rumah tangga. Pada akhirnya, buku ini mencoba mendiskusikan strategi membangun sektor ketenagalistrikan dalam rangka menunjang program pengentasan kemiskinan di perdesaan.


Buku ini dapat menjadi referensi yang tepat bagi pihak-pihak yang tertarik dengan topik ketenagalistrikan dan pengelolaan akses listrik di daerah terpencil, misalnya para pemerhati bidang ketenagalistrikan, para akademisi (dosen, mahasiswa, dan peneliti), dan praktisi serta konsultan yang bergerak di sektor ketenagalistrikan. Selain itu, strategi dan solusi yang ditawarkan dalam buku ini juga dapat dijadikan acuan, utamanya bagi pemerintah pusat dan pemerintah daerah dan bagi para pengambil kebijakan dalam pengambilan keputusan terkait dengan pengelolaan energi listrik, khususnya di daerah-daerah terpencil.




Rabu, 06 April 2016

Membangun dari Kawasan Perbatasan

Wilayah perbatasan Indonesia sering terlupakan dari pembangunan, baik ekonomi, sosial, budaya, dan manusia. Merasa terasing di negeri sendiri sering menjadi ungkapan hati masyarakat yang tinggal disana. Tidak jarang gemerlap pembangunan negeri sebelah lebih menyilaukan mata dan tidak jarang menawarkan masa depan yang lebih baik. Entah negeri ini lalai atau tidak nyata-nya kasus Sipadan dan Legitan menjadi contoh lepasnya masyarakat perbatasan ke negeri sebelah. Namun, tak tidak jarang kecintaan warga perbatasan kepada Nusantara membawa mereka bertahan dan Merah Putih tetap melekat di dada mereka.

Membangun perbatasan Indonesia perlu dilakukan secara menyeluruh dan tuntas. Membangun ekonomi, sosial, dan budaya tidak-lah cukup, justru membangun manusia-lah yang harus dilakukan terlebih dahulu. Membuka akses keterisolasian masyarakat terhadap pendidikan, komunikasi, dan informasi merupakan fondasi yang sering terlupakan. Keterbatasan infrastruktur yang memadai juga membawa mereka sulit untuk keluar dari keterisolasian. Selain itu, penyerobotan lahan (hutan adat) tidak jarang menyebabkan warga perbatasan kian terpinggirkan di negeri ini. Indonesia telah merayakan kemerdekaan yang ke-70 tahun seharusnya menjadi titik balik bagi pemerintah untuk lebih intens dan inklusif membangun perbatasan. Pembangunan yang diharapkan ialah yang berkelanjutan dan menyentuh akar permasalahan, bukan hanya berdasarkan proyek saja.

Refleksi di wilayah perbatasan
Selama dua belas hari, Tim Peneliti Ketenagalistrikan – LIPI melakukan penelitian lapangan di wilayah perbatasan di Kec. Jagoi Babang, Kab. Bengkayang, Kalimantan Barat (Agustus, 2015). Memang kehadiran kami di wilayah perbatasan lebih fokus pada pembangunan sektor ketenagalistrikan perdesaan dan perbatasan serta Asean Power Grid (APG). Namun, kami juga menemukan sisi lain dari masyarakat perbatasan, tidak hanya infrastruktur yang minim, tetapi pembangunan manusia, seperti akses dan fasilitas pendidikan, serta pelatihan pun masih jauh dari harapan. Alhasil, hanya sedikit dari warga yang bisa mengenyam pendidikan hingga sekolah menengah dan tinggi.

Pembangunan infrastruktur merupakan hal yang penting, namun jangan hanya fokus pada infrastrukur sebagai penopang kehidupan bangsa. Sesungguhya kualitas infrastruktur kehidupan sebuah bangsa semata-mata cermin kualitas manusianya (Anies Baswedan). Membangun perbatasan pun harus dilakukan dengan membangun manusianya melalui peningkatan askes pendidikan yang layak dan berkualitas.     

Pada dasarnya sudah banyak program pembangunan yang telah berdatangan dan tidak jarang yang silih berganti hilang tanpa bekas. Permasalahan keberlanjutan sering menjadi permasalahan fundamental dalam membangun wilayah perbatasan. Selain itu, pembangunan yang dilakukan masih bersifat fisik dan sektoral. Hal ini berimplikasi pada pergeseran perilaku masyarakat yang cenderung sensitif dengan program bantuan dari pemerintah. Sedikit demi sedikit meluruhkan semangat kebersamaan yang telah tumbuh dalam komunitas masyarakat perbatasan. Alhasil, malah mempersulit pembangunan di wilayah itu sendiri.

Meretas “Keterisolasian Modern”
Pemerintah sebaiknya melakukan evaluasi atas berbagai program perbatasan berbasis sektoral dan fisik saja. Ada ketiga hal yang perlu mendapat evaluasi terkait dengan program perbatasan, yaitu apakah membuka akses keterisolasian (pendidikan, informasi, aktivitas ekonomi, dan komunikasi), apakah program tersebut benar-benar dibutuhkan, dan apakah program tersebut berkelanjutan? Ketiga hal tersebut perlu menjadi permenungan program-program pembangunan di wilayah perbatasan. Keberhasilan pembangunan sesungguhnya meningkatkan kesejahteraan masyarakat bukan membuat mereka terangkap dalam lingkaran “keterisolasian modern”.

“Keterisolasian modern” merupakan jebakan atas variasi kehidupan modern yang tidak diikuti dengan kesiapan mental, pengetahuan, dan pemahaman yang mendalam. Akibatnya, masyarakat hanya terombang-ambing dalam pusaran kehidupan modern tanpa mengetahui tujuan yang sesungguhnya ingin dicapai. Dimana cita-cita sesungguhnya dari pembangunan ialah kesejahteran masyarakat tidak tercapai, melainkan hal sebaliknya terjadi “keterisolasian modern” yang mereka dapatkan.

“Keterisolasian modern” masyarakat perbatasan di Kab. Bengkayang tidak terlepas pula dari alih fungsi hutan menjadi ladang kelapa sawit. Akibatnya, akses jalan, jembatan, listrik, dan menara komunikasi kian menyuburkan “Keterisolasian modern”. Disisi lain, degradasi lingkungan menyebabkan pemenuhan  kebutuhan dasar seperti air bersih, udara bersih, dan pangan semakin sulit tercapai.

Untuk meretas “Keterisolasian Modern” harus dimulai dengan membangun manusia melalui pendidikan dan pelatihan. Membuka dan menciptakan akses pendidikan dan pelatihan seluas-luasnya tidak berarti hanya membangun fasilitas fisik saja. Namun, keberadaan tenaga pengajar yang berkualitas sangat diperlukan untuk mendukung hal tersebut. Maka, ada tiga hal yang perlu menjadi perhatian untuk merealisasikan pendidikan dan pelatihan yang komprehensif dan berkualitas, yaitu institusi, insentif, dan infrastruktur. Institusi pendidikan pusat dan daerah harus saling melengkapi untuk mendukung pembangunan manusia. Koordinasi mengenai aturan dan standar pelayanan pendidikan yang baik harus dilakukan, seperti jumlah sekolah, laboratorium, jumlah dan kualitas tenaga pengajar, dan kurikulum.

Kedua, pemberian insentif lebih bagi tenaga pengajar dan pendukung yang bertugas di wilayah terpencil dan perbatasan. Insentif sebagai bentuk penghargaan atas kerelaan dan kesediaan bertugas di wilayah tersebut. Bentuk insentif dapat berupa kesempatan belajar lebih tinggi, ketersediaan fasilitas yang baik dan menjunjang, dan pemberian gaji dan tunjangan yang lebih tinggi dari guru yang bekerja di wilayah perkotaan.

Ketiga, infastruktur penunjang lainnya, seperti akses jalan, jembatan, komunikasi dan informasi pun harus tersedia dalam mendukung pendidikan dan pelatihan yang berkualitas. Hal ini pun harus melibatkan kementerian dan dinas terkait dalam merealisasikan pembangunan tersebut. Kebersamaan dan koordinasi antar kementerian dan dinas harus terjalin dengan baik menjadi kunci keberhasilan membangun infrastruktur penunjang.  

Dengan demikian, keberhasilan membangun manusia berkualitas akan diikuti dengan pembangunan fisik dan ekonomi yang berkelanjutan. Tak pelak diusia 70 tahun Indonesia merdeka, pemerintah harus mulai mengubah paradigma pembangunan dengan berbasis pada peningkatan kualitas manusia. Hal inilah yang perlu menjadi refleksi karena pembangunan manusia di wilayah terpencil dan perbatasan belum menyeluruh dan inklusif. Padahal daerah terpencil dan perbatasan merupakan salah satu indikator keberhasilan suatu negara membangun manusia dan menjaga kedaulatannya.


Publikasi di Majalah Cakrawala TNI AL edisi 430 Tahun 2016

Jumat, 18 September 2015

Pertumbuhan Ekonomi yang Melambat, Peluang atau Tantangan?

Jika sebagian besar ekonom dan politisi menganggap bahwa perlambatan ekonomi sebagai sebuah hal yang buruk bagi perekonomian Indonesia saat ini, saya berpendapat berbeda. Perlambatan ekonomi saat ini merupakan “anugerah” untuk mengerem perputaran ekonomi (hot economy) nasional yang tampak baik, namun rapuh. Setidaknya ada beberapa hal yang menjadi Indikator, yaitu subsidi bahan bakar yang besar di era pemerintahaan terdahulu, impor kebutuhan pokok yang besar, dan belanja infrastruktur relatif kecil.

Subsidi bahan bakar minyak yang mencapai Rp350,3 T (19,26% dari APBN 2014) pada APBN 2014 dari total subsidi energi yang mencapai Rp.453,3 T (24,9% dari APBN 2014). Impor bahan bakar minyak yang mencapai 850 ribu barel perhari atau nilai impor mencapai Rp.120-150 Triliun perhari. Pada kuartal ke-3 2013, Presiden RI ke-6 SBY sempat mengatakan bahwa Indonesia mengalami krisis ekonomi yang ditandai defisit neraca perdagangan yang mencapai US$0,44 milyar per-Januari 2014 (Kemendag, Maret 2014), nilai kurs tengah per-18 Maret 2014 Rp.11.282/dolar dan sempat menyentuh titik tertinggi  Rp.12.270/dolar pada 20 Desember 2013, inflasi masih terbilang cukup tinggi 7,75% yoy per-Maret 2014 (Bank Indonesia, 18 Maret 2014) meski sudah mengalami tren penurunan dibandingkan akhir tahun 2013.

Pada tahun 2013 lalu, kelangkaan bahan pokok, seperti bawang merah, bawang putih, dan melonjaknya harga daging serta lonjakan harga menjelang puasa dan lebaran ketika itu kian menekan perekonomian nasional. Permintaan yang tinggi dan minimnya suplai menyebabkan harga barang merangkak naik. Opsi Kebijakan impor menjadi satu-satunya langkah strategis jangka pendek yang dilakukan untuk mengatasi situasi saat itu. Akibatnya,  defisit neraca perdagangan kian tidak terbendung lagi. Tren ditahun 2014 tidak jauh berbeda, defisit neraca perdagangan pun masih membayangi, harga minyak dunia masih tinggi (agustus 2014 USD100/barel) dan  subsidi BBM bertambah. Namun, pemerintah saat itu terbilang berhasil menahan laju inflasi, kendati pada saat itu APBN tertekan karena subsidi yang membengkak.

Besarnya lonjakan subsidi energi di tahun 2014 hingga Rp.453 T membuat ruang fiskal pemerintah untuk belanja infrastruktur terbilang cukup kecil hanya Rp. 264 T. Kondisi ini kontras dengan subsidi yang terus digelontorkan untuk dibakar dijalan (subsidi BBM). Akibatnya, pertambahan infrastruktur fisik tidak banyak mengalami peningkatan diperkirakan hanya 0,01 persen, sedangkan pertumbuhan kendaraan mencapai 12 persen pertahun (di Jakarta).
Saat ini, tren perlemahan perekonomian kian terasa, data BPS Triwulan pertama menunjukkan terjadi pertumbuhan ekonomi yang melambat, ekonomi nasional hanya tumbuh 4,7%. Pada triwulan kedua kembali mengalami penurunan hanya sebesar 4,67%. Hal ini  imbas dari pengurangan subsidi BBM, kurs terdepresiasi tajam, impor BBM yang sangat tinggi, impor sejumlah barang jadi dan industri cukup tinggi, dan penguatan ekonomi Amerika Serikat. Jika, sebagian besar ekonom dan politisi menyalahkan pemerintah saat ini, saya melihat sebaliknya. Hal ini merupakan peluang perbaikan fundamental ekonomi nasional dengan penambahan infrastruktur, perbaikan sektor pertanian, dan pembenahan sektor energi nasional (minyak, gas, dan batubara).

Peluang atau tantangan?
Perbedaan mendasar antara pemerintahan Jokowi dengan pemerintahan terdahulu, ialah saat ini subsidi BBM di pangkas habis hanya sebesar Rp.81 T, impor komoditas pertanian dibatasi (dihentikan), penguatan peran BUMN dalam pembangunan nasional, dan adanya prioritas pengembangan infrastruktur. Keempat hal ini yang menjadi pembeda kondisi perekonomian pada pemerintahan terdahulu dengan saat ini. Namun, tidak sedikit kritikan tajam mengalir kepada pemerintahan saat ini, hal ini jelas karena pertumbuhan ekonomi hanya sebesar (yoy) 4,7% dan (yoy) 4,67% pada kuartal pertama dan kedua 2015 dan depresiasi rupiah terhadap dolar Amerika hingga kurs tengah menyentuh Rp.14.463/USD (18/9, Bank Indonesia). Dan, ancaman inflasi kian tampak dengan naiknya sejumlah barang kebutuhan pokok, seperti daging dan beras. Secara politik kondisi ini akan sangat riskan dengan tekanan politik dan kritikan kepada pemerintah.  

Menanggapi kondisi ekonomi saat ini, saya ingin menyampaikan bahwa ekonomi Indonesia memang dalam tekanan, tetapi akan memiliki fundamental ekonomi yang kuat dimasa mendatang. Hal ini tidak terlepas dari serangkaian kebijakan berani pemerintah  diberbagai sektor ekonomi utama. Pemerintahan Jokowi berani dan tegas untuk mengurangi subsidi BBM sehingga premium dan solar akan mengikuti harga kekinian. Tindakan berani ini perlu diapresiasi kendati membawa konsekuensi yang cukup besar terhadap inflasi, hal ini terbukti di bulan Desember 2014 inflasi nasional tembus 2,46 persen. Kendati demikian, kebijakan ini perlu diapresiasi, karena langkah maju ini merupakan upaya menyelamatkan APBN dari tekanan subsidi BBM yang sangat besar, ketika itu masih berada di kisaran USS 83,7 per barel pada Oktober 2014. Hal yang sulit dilakukan pemerintahan SBY dalam menghadapi lonjakan harga minyak mentah dunia yang hingga menyentuh USS 117,79 per barel (Maret 2012), tertinggi dalam beberapa tahun terakhir.

Dengan kebijakan tersebut, APBN 2015 sudah tidak lagi tersandra oleh subsidi BBM yang mengambil porsi APBN hingga 24,9% di tahun 2014. Hal ini berdampak positif terhadap belanja modal dan infrastruktur pemerintah yang meningkat. Disisi lain, masyarakat diajak untuk lebih rasional dalam menggunakan kendaraan, harga BBM berbasis harga kekinian akan mengikuti pola kenaikan atau penurunan harga minyak dunia.

Kedua, kebijakan menekan bahkan menghentikan sejumlah impor untuk barang kebutuhan pokok, seperti beras, daging, dan produk pertanian lainnya. Data Kementerian Perdagangan, menunjukkan bahwa impor Indonesia periode bulan Januari, J pada 2015 untuk barang konsumsi dan bahan mentah pembantu mengalami penurunan jika dibandingkan pada periode bulan yang sama di tahun 2014, besar selisihnya masing-masing US$1,8 Milyar; US$18,6 Milyar; US$2,01 Milyar. Namun, untuk barang modal impor mengalami kenaikan hingga US$ 103 Juta pada bulan Maret 2015 jika dibandingan impor atas barang modal pada periode sama ditahun 2014. Surplus perdagangan secara keseluruhan dari periode Januari hingga Maret 2015 sebesar US$ 2,4 Milyar masih lebih besar, jika dibandingkan pada periode yang sama di 2014 yang mencatat surplus hanya sebesar US$1,06 Milyar. Kondisi ini menunjukkan bahwa neraca perdangan Indonesia hingga saat ini terpantau sangat baik, kendati harga sejumlah komoditas mengalami penurunan. Impor inflasi dari depresiasi nilai tukar tidak terlalu mengkhawatirkan karena kondisi neraca perdagangan masih dalam kondisi surplus.

Ketiga, pemerintah telah mendapatkan persetujuan DPR untuk melakukan penyertaan modal kepada 27 BUMN. Langkah ini tidak terlepas dari upaya penguatan usaha dari setiap badan usaha tersebut. Hal ini pun sejalan dengan langkah pemerintah dalam penguatan di sektor laut dan pertanian. Setidaknya ada enam BUMN yang bergerak dibidang konstruksi kapal dan bisnis pelabuhan yang mendapatkan kucuran dana pemerintah. Selain itu, tiga perusahaan besar dibidang konstruksi (pelabuhan, jalan, jembatan, dan lainnya) juga ikut mendapat kucuran dana pemerintah. Selain itu, BUMN yang bergerak di bidang pertanian pun mendapatkan dukungan anggaran pemerintah dalam upaya penguatan pertanian dan perkebunan.

Keempat, pemerintah pun telah menetapkan prioritas pengembangan infrastruktur disektor maritim, berupa pelabuhan, kapal, dan pengaturan lalu lintas laut. Hal ini sejalan tujuan pemerintah dalam mengembalikan kejayaan Indonesia sebagai negara yang memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada. Dimulai dari pengetatan kawasan laut perbatasan, perintah presiden melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam mengamankan sumber daya laut Indonesia telah dilaksanakan dengan baik. Saat ini, perlu pengembangan, perbaikan, dan penambahan pelabuhan serta kapal untuk mendukung program maritim nasional. Pengembangan infrastruktur laut pun dimaksudkan untuk menurunkan biaya logistik nasional yang terbilang cukup mahal mencapai 15% dari harga produk.

Berbagai kebijakan ekonomi nasional yang dilakukan pada pemerintahan saat ini, memang belum dirasakan manfaatnya. Justru berbagai kebijakan non-populer seperti menaikkan harga BBM, dan mengurangi atau menghentikan impor kebutuhan pokok, memicu inflasi nasional dan menekan daya beli masyarakat. Disisi lain, tekanan global bagi nilai tukar rupiah terhadap dolar kian memprihatinkan. Namun, perlu dipahami bahwa perubahan pola ekonomi yang diusung pemerintahan saat ini sangat riil dimasa mendatang. Tentu hasilnya belum dapat dirasakan saat ini. Proses revolusi mental sedang berlangsung, dimana budaya impor mulai di reduksi (khususnya untuk produk pertanian) dan masyarakat diajak untuk rasional dalam menggunakan BBM. Maka, pertumbuhan ekonomi yang melambat merupakan sebuah peluang untuk menata ekonomi Indonesia yang lebih kuat dimasa mendatang, yang berdaya saing, bernilai tambah, dan merata.

Felix Wisnu Handoyo
Peneliti Pusat Penelitian Ekonomi LIPI