Jika sebagian besar ekonom dan
politisi menganggap bahwa perlambatan ekonomi sebagai sebuah hal yang buruk
bagi perekonomian Indonesia saat ini, saya berpendapat berbeda. Perlambatan
ekonomi saat ini merupakan “anugerah” untuk mengerem perputaran ekonomi (hot economy) nasional yang tampak baik,
namun rapuh. Setidaknya ada beberapa hal yang menjadi Indikator, yaitu subsidi
bahan bakar yang besar di era pemerintahaan terdahulu, impor kebutuhan pokok
yang besar, dan belanja infrastruktur relatif kecil.
Subsidi bahan bakar minyak yang
mencapai Rp350,3 T (19,26% dari APBN 2014) pada APBN 2014 dari total subsidi
energi yang mencapai Rp.453,3 T (24,9% dari APBN 2014). Impor bahan bakar
minyak yang mencapai 850 ribu barel perhari atau nilai impor mencapai
Rp.120-150 Triliun perhari. Pada kuartal ke-3 2013, Presiden RI ke-6 SBY sempat
mengatakan bahwa Indonesia mengalami krisis ekonomi yang ditandai defisit
neraca perdagangan yang mencapai US$0,44 milyar per-Januari 2014 (Kemendag,
Maret 2014), nilai kurs tengah per-18 Maret 2014 Rp.11.282/dolar dan sempat
menyentuh titik tertinggi
Rp.12.270/dolar pada 20 Desember 2013, inflasi masih terbilang cukup
tinggi 7,75% yoy per-Maret 2014 (Bank Indonesia, 18 Maret 2014) meski sudah
mengalami tren penurunan dibandingkan akhir tahun 2013.
Pada tahun 2013 lalu, kelangkaan
bahan pokok, seperti bawang merah, bawang putih, dan melonjaknya harga daging
serta lonjakan harga menjelang puasa dan lebaran ketika itu kian menekan
perekonomian nasional. Permintaan yang tinggi dan minimnya suplai menyebabkan
harga barang merangkak naik. Opsi Kebijakan impor menjadi satu-satunya langkah
strategis jangka pendek yang dilakukan untuk mengatasi situasi saat itu. Akibatnya, defisit neraca perdagangan kian tidak
terbendung lagi. Tren ditahun 2014 tidak jauh berbeda, defisit neraca
perdagangan pun masih membayangi, harga minyak dunia masih tinggi (agustus 2014
USD100/barel) dan subsidi BBM bertambah.
Namun, pemerintah saat itu terbilang berhasil menahan laju inflasi, kendati
pada saat itu APBN tertekan karena subsidi yang membengkak.
Besarnya lonjakan subsidi energi
di tahun 2014 hingga Rp.453 T membuat ruang fiskal pemerintah untuk belanja infrastruktur
terbilang cukup kecil hanya Rp. 264 T. Kondisi ini kontras dengan subsidi yang
terus digelontorkan untuk dibakar dijalan (subsidi BBM). Akibatnya, pertambahan
infrastruktur fisik tidak banyak mengalami peningkatan diperkirakan hanya 0,01
persen, sedangkan pertumbuhan kendaraan mencapai 12 persen pertahun (di
Jakarta).
Saat ini, tren perlemahan
perekonomian kian terasa, data BPS Triwulan pertama menunjukkan terjadi
pertumbuhan ekonomi yang melambat, ekonomi nasional hanya tumbuh 4,7%. Pada
triwulan kedua kembali mengalami penurunan hanya sebesar 4,67%. Hal ini imbas dari pengurangan subsidi BBM, kurs
terdepresiasi tajam, impor BBM yang sangat tinggi, impor sejumlah barang jadi
dan industri cukup tinggi, dan penguatan ekonomi Amerika Serikat. Jika,
sebagian besar ekonom dan politisi menyalahkan pemerintah saat ini, saya
melihat sebaliknya. Hal ini merupakan peluang perbaikan fundamental ekonomi
nasional dengan penambahan infrastruktur, perbaikan sektor pertanian, dan
pembenahan sektor energi nasional (minyak, gas, dan batubara).
Peluang atau tantangan?
Perbedaan mendasar antara pemerintahan
Jokowi dengan pemerintahan terdahulu, ialah saat ini subsidi BBM di pangkas
habis hanya sebesar Rp.81 T, impor komoditas pertanian dibatasi (dihentikan),
penguatan peran BUMN dalam pembangunan nasional, dan adanya prioritas
pengembangan infrastruktur. Keempat hal ini yang menjadi pembeda kondisi
perekonomian pada pemerintahan terdahulu dengan saat ini. Namun, tidak sedikit
kritikan tajam mengalir kepada pemerintahan saat ini, hal ini jelas karena
pertumbuhan ekonomi hanya sebesar (yoy) 4,7% dan (yoy) 4,67% pada kuartal
pertama dan kedua 2015 dan depresiasi rupiah terhadap dolar Amerika hingga kurs
tengah menyentuh Rp.14.463/USD (18/9, Bank Indonesia). Dan, ancaman inflasi
kian tampak dengan naiknya sejumlah barang kebutuhan pokok, seperti daging dan
beras. Secara politik kondisi ini akan sangat riskan dengan tekanan politik dan
kritikan kepada pemerintah.
Menanggapi kondisi ekonomi saat
ini, saya ingin menyampaikan bahwa ekonomi Indonesia memang dalam tekanan,
tetapi akan memiliki fundamental ekonomi yang kuat dimasa mendatang. Hal ini
tidak terlepas dari serangkaian kebijakan berani pemerintah diberbagai sektor ekonomi utama. Pemerintahan
Jokowi berani dan tegas untuk mengurangi subsidi BBM sehingga premium dan solar
akan mengikuti harga kekinian. Tindakan berani ini perlu diapresiasi kendati
membawa konsekuensi yang cukup besar terhadap inflasi, hal ini terbukti di
bulan Desember 2014 inflasi nasional tembus 2,46 persen. Kendati demikian, kebijakan
ini perlu diapresiasi, karena langkah maju ini merupakan upaya menyelamatkan
APBN dari tekanan subsidi BBM yang sangat besar, ketika itu masih berada di
kisaran USS 83,7 per barel pada Oktober 2014. Hal yang sulit dilakukan
pemerintahan SBY dalam menghadapi lonjakan harga minyak mentah dunia yang hingga
menyentuh USS 117,79 per barel (Maret 2012), tertinggi dalam beberapa tahun
terakhir.
Dengan kebijakan tersebut, APBN
2015 sudah tidak lagi tersandra oleh subsidi BBM yang mengambil porsi APBN
hingga 24,9% di tahun 2014. Hal ini berdampak positif terhadap belanja modal
dan infrastruktur pemerintah yang meningkat. Disisi lain, masyarakat diajak
untuk lebih rasional dalam menggunakan kendaraan, harga BBM berbasis harga
kekinian akan mengikuti pola kenaikan atau penurunan harga minyak dunia.
Kedua, kebijakan menekan bahkan
menghentikan sejumlah impor untuk barang kebutuhan pokok, seperti beras,
daging, dan produk pertanian lainnya. Data Kementerian Perdagangan, menunjukkan
bahwa impor Indonesia periode bulan Januari, J pada 2015 untuk barang konsumsi
dan bahan mentah pembantu mengalami penurunan jika dibandingkan pada periode
bulan yang sama di tahun 2014, besar selisihnya masing-masing US$1,8 Milyar; US$18,6
Milyar; US$2,01 Milyar. Namun, untuk barang modal impor mengalami kenaikan
hingga US$ 103 Juta pada bulan Maret 2015 jika dibandingan impor atas barang
modal pada periode sama ditahun 2014. Surplus perdagangan secara keseluruhan
dari periode Januari hingga Maret 2015 sebesar US$ 2,4 Milyar masih lebih besar,
jika dibandingkan pada periode yang sama di 2014 yang mencatat surplus hanya sebesar
US$1,06 Milyar. Kondisi ini menunjukkan bahwa neraca perdangan Indonesia hingga
saat ini terpantau sangat baik, kendati harga sejumlah komoditas mengalami
penurunan. Impor inflasi dari depresiasi nilai tukar tidak terlalu
mengkhawatirkan karena kondisi neraca perdagangan masih dalam kondisi surplus.
Ketiga, pemerintah telah
mendapatkan persetujuan DPR untuk melakukan penyertaan modal kepada 27 BUMN.
Langkah ini tidak terlepas dari upaya penguatan usaha dari setiap badan usaha
tersebut. Hal ini pun sejalan dengan langkah pemerintah dalam penguatan di
sektor laut dan pertanian. Setidaknya ada enam BUMN yang bergerak dibidang
konstruksi kapal dan bisnis pelabuhan yang mendapatkan kucuran dana pemerintah.
Selain itu, tiga perusahaan besar dibidang konstruksi (pelabuhan, jalan,
jembatan, dan lainnya) juga ikut mendapat kucuran dana pemerintah. Selain itu,
BUMN yang bergerak di bidang pertanian pun mendapatkan dukungan anggaran
pemerintah dalam upaya penguatan pertanian dan perkebunan.
Keempat, pemerintah pun telah
menetapkan prioritas pengembangan infrastruktur disektor maritim, berupa
pelabuhan, kapal, dan pengaturan lalu lintas laut. Hal ini sejalan tujuan
pemerintah dalam mengembalikan kejayaan Indonesia sebagai negara yang memiliki
garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada. Dimulai dari pengetatan
kawasan laut perbatasan, perintah presiden melalui Kementerian Kelautan dan
Perikanan dalam mengamankan sumber daya laut Indonesia telah dilaksanakan
dengan baik. Saat ini, perlu pengembangan, perbaikan, dan penambahan pelabuhan
serta kapal untuk mendukung program maritim nasional. Pengembangan
infrastruktur laut pun dimaksudkan untuk menurunkan biaya logistik nasional
yang terbilang cukup mahal mencapai 15% dari harga produk.
Berbagai kebijakan ekonomi
nasional yang dilakukan pada pemerintahan saat ini, memang belum dirasakan
manfaatnya. Justru berbagai kebijakan non-populer seperti menaikkan harga BBM,
dan mengurangi atau menghentikan impor kebutuhan pokok, memicu inflasi nasional
dan menekan daya beli masyarakat. Disisi lain, tekanan global bagi nilai tukar
rupiah terhadap dolar kian memprihatinkan. Namun, perlu dipahami bahwa
perubahan pola ekonomi yang diusung pemerintahan saat ini sangat riil dimasa
mendatang. Tentu hasilnya belum dapat dirasakan saat ini. Proses revolusi
mental sedang berlangsung, dimana budaya impor mulai di reduksi (khususnya
untuk produk pertanian) dan masyarakat diajak untuk rasional dalam menggunakan
BBM. Maka, pertumbuhan ekonomi yang melambat merupakan sebuah peluang untuk
menata ekonomi Indonesia yang lebih kuat dimasa mendatang, yang berdaya saing,
bernilai tambah, dan merata.
Felix Wisnu Handoyo
Peneliti Pusat Penelitian
Ekonomi LIPI
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus