Jumat, 01 November 2013

Perlu Solusi Jangka Pendek bukan Menengah......

Pada awal bulan Agustus 2013 lalu, Presiden RI telah menyatakan bahwa Indonesia sedang menghadapi krisis ekonomi ditandai dengan perlambatan pertumbuhan ekonomi, perlemahan rupiah, dan membengkaknya defisit APBN. Ketidakstabilan ekonomi dalam negeri juga di pengaruhi oleh pernyataan Gubernur The Fed yang akan segera menarik stimulus ekonomi pada pertengahan 2014. Di sisi lain, membengkaknya defisit neraca perdangangan kian melebar dan kenaikan harga BBM semakin menggairahkan tingkat inflasi hingga menyentuh 8,61% (yoy) pada bulan Juli 2013.

Menanggapi kesehatan ekonomi domestik yang kian memburuk, pemerintah pada hari Jumat, 23/08 mengeluarkan 4 paket kebijakan stimulus ekonomi, yang terdiri atas beberapa hal, yaitu mendorong ekspor dan menekan impor, menjaga defisit APBN 2,38% dan pemotongan pajak, mengubah tata niaga daging dan holtikultura, dan mengefektifkan sistem layanan terpadu satu pintu perizinan investasi. Keempat paket kebijakan merupakan stimulus untuk menjaga kestabilan ekonomi dalam negeri di tengah gejolak kondisi makro saat ini.  

Kondisi perekonomian Indonesia saat ini memang sedang memburuk, defisit neraca perdagangan dari Jan-Juni 2013 tercatat USD 3,3 milyar. Nilai tukar rupiah berdasarkan data Bank Indonesia hingga 23 Agustus 2013 kurs tengah tercatat Rp.10.848/USD. Sedangkan, BEI mencatatkan penurunan IHSG mencapai 10,63% sejak awal bulan Agustus dan saat ini berada diposisi 4169,83. Data BPS pun kian mempertegas krisis ekonomi kian nyata dimana pertumbuhan ekonomi di triwulan II 2013 hanya sebesar 5,81%. Disisi lainnya, cadangan devisa Indonesia terus tergerus hingga menyentuh USD 92,671 milyar atau mengalami penurunan sebesar USD 16,109 milyar (14,82%) sejak Januari 2013.
               
Harga BBM dan Ketergantungan Impor
Pada dasarnya fundamental ekonomi Indonesia cukup kuat menghadapi ketidakpastian ekonomi dunia pada 2013. Pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2012 mencapai 6,23%, dimana sebesar Rp.1.442 trilliun (55%) masih ditopang oleh konsumsi rumah tangga, lalu diikuti oleh net ekspor mencapai Rp.1.005 trilliun (38,38%). Bahkan hingga Maret 2013, neraca perdagangan mencatat kondisi surplus sebesar USD 0,1 milyar. Inflasi pada periode yang sama tercatat sebesar 5,9%  pada Maret 2013 (yoy).

Memburuknya perekonomian Indonesia tidak terlepas kenaikan harga BBM dan ketergantungan impor yang kian besar. Kebijakan menaikkan harga BBM menjelang bulan puasa dan menyambut Idul Fitri memang seperti makan buah simalakama. Opsi menaikkan dan tidak menaikkan harga BBM memiliki konsekuensi yang tidak bisa dianggap enteng. Namun, pemerintah akhirnya mengambil opsi menaikkan harga BBM untuk menyelamatkan APBN dengan mengurangi subsidi BBM. Pasca kebijakan kenaikan harga BBM jelas akan meningkatkan inflasi di dalam negeri, mengingat BBM memliki efek multiplier yang sangat besar.
   
Disisi lain, ketergantungan impor kian tak terbentung lagi. Kelangkaan bawang merah, bawang putih, dan melonjaknya harga daging, kian menjelang bulan puasa dan lebaran. Tingginya permintaan dan minimnya suplai menyebabkan harga barang merangkak naik. Opsi Kebijakan impor menjadi satu-satunya langkah strategis jangka pendek yang dilakukan untuk mengatasi situasi saat ini. Akibatnya,  defisit neraca perdagangan kian tidak terbendung lagi.        
                
Kenaikan harga BBM dan kelangkaan barang kebutuhan pokok memicu kenaikan inflasi yang cukup besar. Data BPS menunjukkan inflasi pada bulan Juli 2013 mencapai 2,38%, tertinggi sepanjang tahun 2013. Tingginya inflasi di Indonesia memicu ketidakpastian pasar uang dan pasar saham, dampaknya IHSG meluncur bebas dan nilai tukar rupiah melambung tinggi terhadap dollar Amerika Serikat. Kondisi ini kian memberat ekonomi di Indonesia khususnya untuk pemenuhan kebutuhan bahan pokok yang harus di penuhi melalui impor. Akibatnya, kenaikan kurs dapat memicu inflasi yang lebih besar lagi dan menciptakan ketidakstabilan ekonomi makro domestik. Jika tidak segera ditangani dan terjadi berlarut-larut maka akan menyebabkan inflation trap, kondisi dimana inflasi yang ada menciptakan inflasi yang lebih besar dimasa mendatang atau hyperinflation.

Perlu Solusi Jangka Pendek
               
Empat kebijakan pemerintah dirasa belum mampu menutup potensi inflasi yang lebih besar. Belum ada langkah pasti menekan potensi inflasi yang besar akibat kelangkaan barang konsumsi. Meski nilai impor untuk barang konsumsi/primary goods hanya USD5,199 milyar (6,5% dari total impor) periode Januari-Mei 2013. Kelangkaan barang konsumsi ini menyumbang inflasi terbesar kedua setelah kelompok barang transpor, komunikasi, dan jasa keuangan masing mengalami kenaikan indeks pengeluaran mencapai 5,46% dan 9,60% di bulan Juli 2013. Alhasil, kurs terus tergerus di level yang cukup rendah, hal ini juga berpotensi meningkatkan inflasi karena banyak barang konsumsi yang dipenuhi melalui impor. Inflation trap pun dapat terjadi jika langkah taktis tidak dilakukan oleh pemerintah Indonesia.   

Lalu, apa langkah nyata yang perlu dilakukan oleh pemerintah Indonesia menghadapi potensi inflation trap?

Perlu ada langkah jangka pendek untuk menciptakan kestabilan ekonomi makro. Pertama, pemenuhan barang kebutuhan pokok melalui peningkatan produksi. Artinya, semua barang kebutuhan pangan yang bergantung pada impor perlu didorong pemenuhannya melalui produksi dalam negeri. Langkah jangka pendek yang dapat dilakukan, melakukan estimasi pemenuhan produksi dalam negeri dan memberikan pemotongan bea masuk serta subsidi jika diperlukan hingga periode tertentu (sampai produksi dalam negeri meningkat). Kedua, memberikan insentif berupa permodalan dan pelatihan bagi UMKM, khususnya yang bergerak dibidang pertanian untuk menggenjot produksi nasional. Berdasarkan data Komite KUR Kemenko Bidang Perekonomian penyaluran kredit tanpa agunan untuk sektor pertanian hingga Juni 2013 mencapai Rp.19,61 triliun atau 16,47% dari total pencairan KUR Nasional. Ketiga, pengalihan subsidi kepada angkutan umum dan barang, untuk menekan biaya distribusi akibat kenaikan BBM yang lalu. Ketiga, langkah taktis ini merupakan langkah jangka pendek yang dapat dan segera dilakukan pemerintah. Perhitungan yang matang dalam penerapan kebijakan dengan rencana produksi nasional akan mengamankan konsumsi domestik. Tentunya, akan menghindari Indonesia dari adanya potensi Inflation Trap.

Mengamankan pemenuhan barang konsumsi dan menekan biaya distribusi pangan nasional akan mampu mengendalikan inflasi dan akan mengembalikan kepercayaan masyarakat dan investor terhadap rupiah. Sebab keduanya menyumbang inflasi terbesar pada bulan Juli lalu dan memiliki kecenderungan meningkat di bulan Agustus.

Paket kebijakan pemerintah yang diumumkan akan efektif jika inflasi relatif rendah dan nilai tukar terkendali stabil. Pasalnya,  stimulus untuk mendorong ekspor akan berjalan efektif jika produksi dalam negeri baik barang konsumsi, setengah jadi, atau barang jadi telah meningkat (skala produksi meningkat). Artinya, ada kelebihan produksi yang tidak mampu terserap di dalam negeri.  Selain itu, kebijakan mengenai perbaikan tata niaga daging dan perizinan investasi baru akan dirasakan manfaatnya ketika kegiatan usaha mulai beroperasi dan penetapan aturan main telah dibuat. Lagipula, investasi yang masuk ke Indonesia akan kembali keluar negeri karena impor Indonesia terbesar untuk sektor bahan baku penolong mencapai USD 60,36 miliar dan baru dirasakan manfaatnya untuk masa mendatang. Disisi lain, pemotongan pajak dan menjaga defisit APBN dilevel 2,38% dari PDB, tidak akan dirasakan oleh masyarakat secara langsung dan tidak mampu mengendalikan harga dipasar. Maka, pemerintah Indonesia perlu melakukan langkah taktis jangka pendek. Sebaiknya tidak menerapkan kebijakan jangkan menengah untuk menyelesaikan permasalahan jangka pendek.

Untuk itu, langkah utama yang perlu dilakukan pemerintah mengamankan pemenuhan barang konsumsi dan distribusi untuk kebutuhan dalam negeri. Keberhasilan menekan inflasi akan memberikan dampak positif terhadap permintaan rupiah di pasar uang. Alhasil, inflasi terkendali dan kurs kembali pada level keseimbangannya. 

Kamis, 20 Juni 2013

Gama Leading Economic Indicator FEB UGM

Laporan Gama Leading Economic Indicator dari Jurusan Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomika dan Bisnis, UGM. Tema kali ini: 'Perekonomian Tersandera Subsidi BBM'. Ulasan selengkapnya dapat didownload gratis di website berikut: http://macroeconomicdashboard.com/download/2013/IERO2013Q2.pdf

To be informed to all stakeholders such as students, researchers, policy makers, and people of Indonesia, are about research of hiking oil price. Hopefully it can be reference to stakeholders real understand behind and historical process why oil price have to rise.  


Senin, 03 Juni 2013

Penguatan Diversifikasi Pangan Berbasis Kearifan Lokal

Tidak terkendalinya harga pangan lokal dan membanjirnya pangan impor menimbulkan permasalahan sosial sendiri bagi ketahanan pangan nasional. Sebagai negara agraria Indonesia seharusnya memiliki kemampuan pertahanan pangan yang baik. Namun, hal itu sirna sejak Orde Baru melakukan penyeragaman pangan nasional. Hal ini seolah menjadi kebiasaan masyarakat yang sudah tertanam sejak puluhan tahun. Akibatnya kegagalan panen akibat perubahan iklim menjadikan krisis pangan kian nyata. Maka, penguatan kearifan lokal pangan nasional menjadi penting ditengah ketidakstabilan harga pangan lokal.
            Hampir punahnya kearifan lokal pangan nasional tidak terlepas dari peran pemerintah Orde Baru. Penyeragaman pangan menjadi program nasional yang diterapkan diseluruh wilayah nusantara. Hal ini berdampak pada perubahan pola konsumsi masyarakat Indonesia. Akibatnya, keterbiasaan mengonsumsi aneka pangan seperti singkong, jagung, sagu, ubi jalar, dan talas, hilang yang kemudian digantikan oleh beras sebagai bahan pangan utama. Ketergantungan pangan pada satu jenis (homogeny) dan membanjirnya pangan impor menjadikan Indonesia tamu di negeri sendiri.
            Kejadian melambungnya harga daging sapi dan bawang menunjukkan ketahanan pangan nasional sangat rentan. Padahal dengan segala kekayaan alam yang miliki Indonesia seharusnya mampu menciptakan ketahanan pangan nasional. Untuk itu, pemerintah perlu membuat kebijakan strategis nasional untuk mengamankan pasokan pangan nasional. Penguatan pangan berbasis kearifan lokal perlu menjadi program nasional dengan mengedepankan pada diversifkasi pangan. Konsep diversifikasi pangan bukan merupakan hal yang baru, namun perlu kembali dibudayakan untuk mengantisipasi gejolak harga dan ketergantungan pada pangan impor.
            Williem, L., dkk (2011) dalam penelitiannya yang berjudul Pola Spesialisasi Perdagangan Indonesia dengan Jepang dan Cina, menunjukkan bahwa Indonesia memiliki keunggulan komparatif terhadap Jepang dan Cina masih berbasis bahan-bahan mentah dan berbasis sumber daya alam. Artinya, Indonesia masih memiliki potensi untuk mengembangkan ketahanan pangan nasional berbasis kearifan lokal. Untuk mengembalikan kejayaan pangan nasional pemerintah perlu berbenah diri dengan kembali melakukan penganekaragaman pangan. Diversifikasi pangan nasional perlu segera dilakukan tanpa mengabaikan program swasembada pangan.
Secara perlahan masyarakat perlu Indonesia diajak kembali menerapkan pola pangan zaman sebelum orde baru. Dimana masyarakat Sulawesi, Maluku, dan Papua kembali mengandalkan sagu sebagai bahan makanan utama. Selain itu, masyarakat Jawa dapat kembali mengonsumsi tanaman palawija, seperti singkong, kentang, dan ubi.  Hal yang sama perlu dilakukan pada daerah lainnya, di mana keanekaragaman kebutuhan pangan menjadi fokus utama. Dengan tujuan untuk mengurangi ketergantungan pada satu jenis komoditas pertanian saja. Apalagi ketidaktentuan cuaca karena perubahan iklim tidak jarang memicu terjadinya gagal panen. Selain itu, langkah ini merupakan salah satu cara meredam ketergantungan Indonesia terhadap pangan impor.

Diversifikasi pangan berbasis kearifan lokal
            Diversifikasi pangan merupakan upaya mengembalikan kedaulatan pangan nasional. Hal ini harus diiringi dengan pengembangan berbasis kearifan lokal. Artinya, pola diversifikasi pangan harus mengacu pada penggunaan bahan baku dalam negeri seperti bibit, pupuk, dan pembasmi hama. Tujuannya, untuk mengurangi ketergantungan pangan terhadap impor. Maka, penelitian dan pengembangan bahan baku dan produk pertanian harus menjadi satu kesatuan rantai pangan sehingga mampu meningkatkan kemandirian berbasis kearifan lokal.
Meskipun diversifikasi pangan bukan merupakan program baru, program ini merupakan langkah jitu untuk meredam gejolak pangan dunia dan nasional ditengah ancaman perubahan iklim. Selain itu, diversifikasi pangan menjadi cara mengembangkan kearifan lokal melalui pengoptimalan sumber daya yang ada. Tidak hanya itu Rao et al (2004) mengatakan bahwa diversifikasi usaha pertanian dapat sebagai strategi pengentasan kemiskinan, peningkatan lapangan kerja, konservasi lingkungan, dan meningkatkan pendapatan usaha tani.
Implementasi diversifikasi pangan berbasis kearifan lokal memerlukan strategi dan komitmen yang kuat dari pemerintah, petani, pengusaha, dan masyarakat. Keberhasilan program ini memerlukan kerjasama dan koordinasi yang dikuat dari berbagai pemangku kepentingan. Dimana pemerintah memegang peranan penting dalam membuat kebijakan yang pro pertanian lokal. Artinya, sinkronisasi dan koordinasi kebijakan menjadi hal yang penting agar tidak saling kontradiktif. Sedangkan, petani dan pengusaha perlu mendukung pengembangan pertanian berbasis kearifan lokal. Kecenderungan menggunakan produk impor perlu secara perlahan dikurangi. Sebaliknya, perlu adanya sikap nasionalisme dalam melakukan pengembangan pertanian. Dukungan masyarakat Indonesia menentukan keberhasilan pelaksanaan diversifikasi pangan sebagai program nasionalisasi pertanian. Dengan membeli dan mengonsumsi produk pertanian dalam negeri.
Keberhasilan pelaksanaan diversifikasi pangan berbasis kearifan lokal tidak hanya mampu meningkatkan ketahanan pangan nasional. Namun, juga mampu mengembalikan kedaulatan Indonesia sebagai negara agraria yang kuat dan mandiri. Selain itu, program diversifikasi pangan dapat mengembalikan budaya pangan nasional yang beranekaragam dan rupa. Dengan demikian, pelaksanaan program ini merupakan kunci keberhasilan Indonesia dalam menciptakan kemandirian dan kebudayaan pangan nasional.   

Tantangan Penganekaragaman Pangan
            Belajar dari pengalaman sejarah pembangunan pertanian di Indonesia, pelaksanaan program diversifikasi usahatani telah diperkenalkan sejak orde baru. Politik kepentingan pemerintah yang lebih mengutamakan swasembada beras menyebabkan pelaksanaan diversifikasi usahatani tidak berkelanjutan dan tanpa petunjuk yang jelas.  Akhirnya, pemerintah memprioritaskan produksi padi untuk mencapai swasembada (Siregar dan Suryadi, 2006). Saat itu diversifikasi usahatani seakan menjadi ancaman besar bagi program pemerintah ketika itu, yaitu intensifikasi pertanian. Hal ini berakibat pada homogenitas konsumsi yang menitikberatkan pada satu atau beberapa komoditas pertanian saja.
            Beralih ke masa reformasi yang telah berlangsung selama 14 tahun juga belum mampu mengembalikan kejayaan Indonesia sebagai negara agraria. Melonjaknya harga daging sapi, bawang merah dan putih, kedelai, dan cabai. Menunjukkan bahwa selama orde reformasi sistem pembangunan pertanian di Indonesia jauh dari harapan. Permasalahan koordinasi dan komitmen dalam memajukan pertanian domestik jauh dari kata sempurna. Bahkan ada kecenderungan berjalan sendiri-sendiri tanpa koordinasi yang jelas untuk setiap lini pemangku kebijakan di sektor pertanian.
Selain itu, terdapat tantangan teknis dalam pelaksanaan diversifikasi pangan berbasis kearifan lokal di lapangan. Menurut Pingali (2004) terdapat empat faktor yang menjadi kendala pengembangan diversifikasi tanaman pangan. Pertama, sifat petani yang cenderung menghindar dari risiko (risk aversion). Kedua, adanya masalah kesesuaian dan hak atas lahan, maksudnya tidak semua lahan pertanian cocok untuk mengembangkan diversifikasi usahatani. Ketiga, infrastruktur irigasi yang tidak sesuai dengan sehingga menghambat terjadinya diversifikasi usahatani.  Keempat, ketersediaan tenaga kerja yang cukup besar menjadi kendala bagi penerapan diversifikasi usahatani. Pasalnya, kebutuhan tenaga kerja dalam penerapan pola diversifikasi membutuhkan tenaga kerja yang lebih besar. Meskipun, di sisi lain penyerapan tenaga kerja mampu menekan angka pengangguran dan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Gerakan Penganekaragaman Pangan Nasional
            Gerakan Nasional Penganekaragaman Pangan (GNPP) bisa menjadi solusi di tengah homogenitas pangan. Artinya, gerakan ini merupakan suatu cara penyadaran kepada semua pihak akan pentingnya diversifikasi pangan.              Sebab keterlibatan semua pihak menentukan tingkat keberhasilan program ini. Namun, untuk merealisasikan Gerakan Nasional Penganekaragaman Pangan memerlukan keberpihakan pemerintah sebagai pembuat kebijakan pangan nasional. Dukungan kebijakan nasional terhadap penganekaragaman pangan dapat menjadi dasar pelaksanaan program ini. Harapannya ke depan ada cetak biru terkait cara dan pelaksanaan GNPP sehingga memberikan gambaran luas target capaian program.
            GNPP merupakan salah titik cerah membangkitkan kemurungan pangan nasional dari gejolak harga, perubahan iklim, dan ketergantungan impor. Maka, GNPP perlu mencakup tiga hal utama dalam penerapannya di lapangan. Pertama, gerakan nasional penanaman penganekaragaman pangan merupakan langkah awal untuk memberikan kesadaran akan penerapan diversifikasi usahatani. Jika kita bayangkan hal ini merupakan bagian hulu dari rantai produksi tanaman pangan nasional. Artinya, semua pihak yang terlibat memiliki tanggung jawab untuk menanam berbagai macam tanaman pangan. Kedua, gerakan pengembangan dan peningkatan produksi pertanian merupakan cara untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi bibit, pupuk, dan pembasmi hama berbasis produk dalam negeri. Ketiga, gerakan penyadaran penganekaragaman pangan merupakan suatu bentuk sosialisasi dan penyadaran pentingnya mengonsumsi berbagai produk pangan. Hal ini untuk memberikan pemahaman dan penyadaran pentingnya melakukan variasi pola konsumsi pangan. Ketiga program ini merupakan satu kesatuan pelaksanaan GNPP untuk menciptakan kemandirian dan ketahanan pangan nasional.

            Penguatan diversifikasi pangan berbasis kearifan lokal merupakan langkah maju dalam mengembangkan pertanian pangan di Indonesia. Sekaligus menjadi dasar pijakan bangsa Indonesia kembali pada kebudayaannya. Dimana Indonesia dikenal sebagai agraria dengan berbagai macam keanekaragaman pangan. Keberhasilan dalam penerapan program GNPP merupakan upaya penguatan terhadap ketahanan pangan dan melestarikan kebudayaan Indonesia melalui pelestarian keanekaragaman pangan Nusantara.       

Jumat, 31 Mei 2013

When Fuel Price Must be Raising.......

So many researches were borned before government to decide raising fuel on middle of 2013. Researcher’s team from 3 top rank university had ever been recommended three ways for government created optimal fuel subsidize policy. First, the team proposed to raise fuel price for Rp.500,00, and realocation subsidize to public transportations. It could be compensation and vague potential infaltion to be higher. Second, all of users of private transportation have to move from premium (RON 88) to pertamax (RON 92). It’s cleared to reduce fuel subsidize. Third, we could be used fuel consumption controlled system to restrict over demand. But, since the team proposed recommendation around on middle of 2011, there’re no one of recommendation to propose parliament. At the end, results of comprehensive research had never been based government to make policy for fuel prices.

Now, after almost 2 years, the government have to create new policy about fuel price. Adjusment price need to do now, cause fuel subsidized around Rp.297,7 T or 46,01 million kilo litres, cause its makes heavy use for national budget. With total of subsidize around Rp.446,8 T or 26 % of national budget. This means budget for subsidize over than education budget, its shows possibility misallocation of national budget. Because many studies had been showed almost 70% fuel subsidize to give benefit for middle to rich people and the rest felt of poor people. By rational its makes sense the owner of private transportation only for both of middle and rich class. However there’re consequency created new poor people if fuel price have to raising. I think it’s interesting, the government in the middle position, the dilemma for regulator commonly happened so Indonesia can learn by western countries when they’re made policy to reduce fuel price subsidize.

I believed almost economists know consequencies when fuel price raising. So, always there’re solution to compensate fuel price raising. We can say the government too late, if they just understand to raise fuel price are important. In spite of that Government should prepare all of possibility happened after fuel price raising. Still be better late rather than steady on keep fuel price on Rp.4.500. However, discussion within government and parliament, just will schedule on middle of May 2013. We hope the discussion can be created optimalized policy about fuel price. And it’s more important to know consequencies after implementation of policy. So, the anticipation can be early to reduce bad impact for Indonesia economy. If economic interest still has been prioritized rather than politics, we believe fuel price raising has been optimal policy, but they must decide how much price have to increase? It’s still on debate able within of them.

Consequencies of fuel price increasing

Now, Indonesia has got economic growth 6,2 % on 2012, its second best growth after China cause global economics is still on suffered, just created growth 3% under normal criteria realeased by IMF. As second best growth perfomanced in the world, Indonesia has been interesting point for foreign investor come to invest. Indonesia has not only been good economic performance, but also Indonesia offer high yield for investor rather than other countries, even some contries has been yields near 0%. So, as country with investment grade rating bring consequencies for fundamental economy. At the end, Indonesia has to be ready to welcome demand for capital product, consumption (fuels, food stuff, etc), and others, will increase and bring consequencies for domestic economy. One of phenomena today is about trend of increasing fuel subsidized consumption each years. It’s one impact of economic growth of Indonesia. I think its common phenomenon when economic growth drive increasing consumption, investment, government expenditure, and net export.
In Economics Studies, when planned aggregate expenditure lower than aggregate expenditure, they will increase spending until closed equlibrium point. Indonesia has been higher equilibrium point cause component likes government expenditure, public consumption, and investment, increase in same times and create new equilibrium. At the end, economic expansion will be moved toward new equilibrium point. So, the government has to adjust fuel subsidy price because subsidized allocation in national budget nearby 50 percent. It’s critical situation, in other side government has to allocate budget to suport investment and industry facilities such as infrastructures, power plants, and research and development. So, government must take position to increase fuel price and to reduce fuel subsidy, i think its will be smart policy because we can reallocate budget to other sectors surely give more benefit for Indonesia’s Economy.

Now, increasing fuel subsidy price have to do immediately. Because every industry needs certainty supply of fuel, to grow their business. That’s why to suport the high intensity of economy condition, policy for increasing subsidy fuel price need to do as soon as possible. However, the policy will has some consequencies for Indonesia’s macroeconomy. First, Increasing fuel price has got to drive higher inflation. it means production cost will be increasing too in line with fuel price. At the end, price product will increase following fuel price as input factor of production. Second, increasing fuel subsidy price will be brought down willingness to pay for people. Without growth of income, increasing fuel subsidy price will potential reduce willingness to pay. At the end, people welfare are down because purchasing power of money being down too. Third, the policy will create potential new poor people. With higher of inflation and downing of purchasing power are indicators to know potential wideness of poor people.


But, for this situation government don’t have to worry because many social program has been built to reduce and strengthen people life around and under poverty line. we know about Jamkesmas, program keluarga harapan (PKH), raskin, bantuan siswa miskin (BSM), PNPM Mandiri, bantuan operasional sekolah (BOS),  and kredit usaha rakyat (KUR). All programs have been run for some years ago, it means these programs have been giving benefit to people. So, with assume these programs can run optimal, i believed that increasing fuel subsidy price can not  disturb Indonesia economy  stabilize in the long run. Intead of the policy to increase fuel subsidy price can keep momentum growth domestic economy. At the end, no space reason for government has not to increasing fuel subsidy price, except if parliament disapproved.    

Kamis, 25 April 2013

What does impact of MP3EI to accelerate and expand Economic Development?


When we knew MP3EI has been tremendous program to accelerate Indonesia Economic Development. MP3EI used to approach by sectoral and geographic has been emphasize with economic corridor.  This plan has been run middle of 2011 launched by President Republic of Indonesia. And, end of May 2013 MP3EI will celebrate for 2nd Anniversary since launched. So, what we’ve got impact of economic accelerating and expansion program?

In gradually, Government launched success story where are projects groundbreaking and inaugurating. By KP3EI as committee in charge to make sure project can be run, launched total investment project groundbreaking and inauguration around IDR 626 T, with composition real sectors with IDR 348 T and infrastructures around IDR 278 T. The achievement so far away from target where’s realisation projects until 2014 around 4000 T both of real sectors and infrastructures. It means government has to pursue implementation investment including in MP3EI until IDR 3374 T. I think is almost impossible implementation of projects run as like target in MP3EI document on 2014. At the end, MP3EI has still been minimalize impact for Indonesia’s Economic Development.

Minimalize impact of MP3EI for Indonesia Economic Development because KP3EI has not been “optimalized” to acclerate debottlenecking for all of projects. At the end, to many projects cann’t be run and operational on schedule both of infrastructures and real sectors. There are some bottlenecking for KP3EI to accelerate projects in MP3EI. First, KP3EI is not super power agency and has not been authority to decide and make a policy for debottlenecking projects. At the end KP3EI is just administrative agency where has worked to compile all of projects, bottleneck including in projects, and coordination function to connect within ministry or agencies. Second, “Not Business as Usual” is only jargon can not push all government ministry and or agencies to work more for accelation and expansion economic development. In MP3EI’s document spirit development had been sounded but it did not impact to government to do more. Eventually, economic acceleration and expansion can not be implemented on the target.

Third, KP3EI has been problem with coordination both internal (for each secretariat corridors) and external (within other institution). Bad coordination for Indonesia’s Government is not new thing, that why many programs created dan run can never create optimalize results. And, KP3EI is part of bad coordination in Indonesia’s Government. For example, with spirit “not business as usual” KP3EI should have clear agenda to accelerate and bottleneck projects. In fact, KP3EI can be run what should they do? At the end, we know the results of implementation projects so far from target in MP3EI’s document. Bad Coordination creates higher “cost of time lag of investment” its makes distortion economy than good coordination.

When we think about impact of MP3EI for Indonesia Economic, we can say MP3EI has been benefited for economic development. But it’s performed so far from being supposed. And then, minimalize contribution so creates minimalize benefit for Indonesian people. We talk about contribution to growth by some simply research MP3EI can create growth 0,5-1% over than before. The asumption is all projects including in MP3EI can run and operational on schedule. In fact, it’s assumption can not be required and has been potential down over than expectation. With minimilize realisation investment projects both infrastructures and real sectors, MP3EI is so far from spirit of economic development. If contribution for growth so little, how come to increase Indonesia people welfare? Eventually, with or without MP3EI, Indonesia still has high growth cause fundamental Indonesia economy today is very strong. But the question mark who’s got benefit from the high growth? I think still on few people Indonesia but they got high share of GDP.


published to in this link: http://ekonomi.kompasiana.com/moneter/2013/04/25/what-does-impact-of-mp3ei-to-accelerate-and-expand-economic-development-554752.html