Rabu, 14 April 2010

PLTN Solusi Mengatasi Kelangkaan Listrik

Dimuat Harian Seputar Indonesia
Rabu, 14 April 2010

PEMBANGKIT listrik tenaga nuklir (PLTN) memang masih sangat asing di telinga masyarakat Indonesia. Kendati penelitian dan pengembangan PLTN di Indonesia telah dilakukan sejak 1972, dengan dibentuknya Komisi Persiapan Pembangunan PLTN (KP2PLTN) oleh Badan Tenaga Atom Nasional dan Departemen PUTL (Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik).Walau studi kelayakan pembangunannya terus dilakukan,hingga saat ini belum ada satu pun PLTN di Indonesia.

Kondisi berbeda terjadi di beberapa negara di dunia. Hingga saat ini berdasarkan statistik PLN 2002 terdapat 439 PLTN yang beroperasi dengan kapasitas total mencapai 360.064 GWe.Jumlah PLTN di dunia diperkirakan terus bertambah mengingat kebutuhan akan energi listrik dunia terus meningkat dari tahun ke tahun.

Selain itu,energi nuklir juga merupakan sumber energi yang potensial,berteknologi tinggi, ekonomis, berwawasan lingkungan,dan merupakan sumber energi alternatif yang layak dipertimbangkan untuk jangka panjang. Pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir di Indonesia seakan menjadi sebuah kebutuhan.

Berdasarkan studi yang dilakukan Badan Koordinasi Energi Nasional (Bakoren) ketika itu memperkirakan bahwa kebutuhan energi di Indonesia meningkat 3,4% per tahun dan mencapai jumlah sekitar 8146 petajoules (PJ) pada 2025. Artinya, pembangunanPLTNdiakan sangat membantu dalam pemenuhan kebutuhan energi listrik nasional.

Namun, pembangunan sebuah PLTN memerlukan kesiapan dari tenaga ahli dan profesional. Reaksi fisi yang dilakukan menggunakan uranium dan plutonium sangat reaktif,sangat berbahaya apabila mengalami kebocoran sedikit.Radiasi yang ditimbulkan dapat mengubah sifat gen pada makhluk hidup,baik berupa kecacatan maupun hal lainnya.

Maka,persiapan matang dari tenaga ahli dan profesional sangat diperlukan. Meskipun kebocoran uranium dan plutonium dalam PLTN sangat berbahaya dan dapat terjadi sewaktu-waktu.Namun, penanganan yang baik dalam mengoperasikan PLTN dapat meminimalisasi bahaya radiasi. Hal itu telah dibuktikan oleh beberapa negara di dunia yang hingga saat ini mengandalkan nuklir sebagai pembangkit listrik dan energi alternatif.

Pembangunan PLTN di negeri ini seakan menjadi jalan keluar bagi kelangkaan listrik yang kerap terjadi dalam beberapa tahun belakangan ini. Selain itu, energi nuklir juga dipercaya sebagai energi yang ramah lingkungan. Energi ini tidak menghasilkan gas rumah kaca dan tidak mencemari udara,yang saat ini menyebabkan pemanasan global.Energi nuklir dapat dijadikan energi alternatif guna menekan pencemaran udara tanpa mengorbankan produktivitas masyarakat.

Kesuksesan pemerintah dalam memenuhi kebutuhan listrik nasional tidak terlepas dari upaya membangun PLTN.Kesuksesan itu dapat tercapai bila ada dukungan dari masyarakat dalam merealisasikan pembangunan PLTN di Indonesia. Dengan membangun PLTN,Perusahaan Listrik Negara mampu menutup defisit kebutuhan energi sehingga kelangkaan listrik dapat diatasi.Untuk itu,realisasi pembangunan PLTN di Indonesia sangat penting dan harus segera diwujudkan.(*)

Felix Wisnu Handoyo
Mahasiswa Ilmu Ekonomi
Fakultas Ekonomika dan Bisnis,
UGM Yogyakarta

Selasa, 23 Maret 2010

Menciptakan Pembangunan yang Ramah Lingkungan

Dimuat Harian Seputar Indonesia
Senin, 22 Maret 2010

PADA dasarnya pembangunan merupakan upaya yang dilakukan pemerintah, masyarakat, dan pengusaha untuk meningkatkan kesejahteraan bersama.


Namun, dalam praktiknya pembangunan yang dikembangkan saat ini tidak memberikan kesejahteraan sepenuhnya. Hal itu terlihat dari rusaknya ekosistem dan bencana yang sering terjadi di negeri ini. Kondisi ini terjadi karena pembangunan di Indonesia tidak dilandasi pada keberpihakan kepada alam,sehingga alam hanya dijadikan objek eksploitasi saja. Rusaknya alam seiring dikatakan sebagai bentuk “trade off”antara pembangunan dan keberlangsungan ekosistem. Hal ini memicu suatu keserakahan manusia dalam mengeksplorasi alam tanpa memperhitungkan dampaknya. Sikap semacam ini bisa dikatakan sebagai bentuk “sekularitas”.

Sekularitas sendiri diartikan sebagai bentuk upaya pendewasaan manusia untuk menjadi autonom dan tidak bergantung pada kekuatan di luar dirinya. Berlandaskan pada gagasan tersebut, menciptakan pembangunan yang ramah lingkungan akan menjadi solusi untuk menjalin kembali hubungan yang mesra antara manusia dan alam. Namun, muncul pertanyaan, bagaimana cara mewujudkannya? Pertama,manusia harus menyadari bahwa kehidupannya sangat bergantung pada alam.Artinya, kelestarian alam ikut menentukan keberlangsungan hidup manusia sehingga pembangunan dan alam bukan sebagai trade off, melainkan dua hal yang saling melengkapi.

Kedua, perlu disadari maju dan berkembangnya teknologi menyumbang kerusakan alam yang cukup besar.Sejak masuknya mesin di Indonesia, serangan atas polusi dan pencemaran kian terasa.Diperparah dengan limbah industri besar di Indonesia yang semakin mencemari lingkungan. Maka,perlu ada kompensasi atas berbagai pencemaran dilakukan,seperti CSR,IPAL,dan menggunakan bahan bakar yang ramah lingkungan. Ketiga,perlu ada perencanaan,pelaksanaan dan pengontrolan dari pemerintah pada setiap pembangunan yang dilakukan.

Dalam hal ini pemerintah melalui dinas tata kota dan perencanaan pembangunan,harus mampu menciptakan keselarasannya dengan alam.Di mana pengutamaan atas hal demikian harus terus dijaga, jangan sampai tergiur dengan kesenangan sesaat dengan mengorbankan alam. Pada dasarnya utilitas yang tertinggi dari sebuah pembangunan ialah keberlangsungan dan keselarasannya dengan alam. Artinya, kedua hal tersebut akan meningkatkan kualitas hidup manusia, kendati biaya atas upaya tersebut tidaklah murah.

Namun demikian, dalam jangka panjang pembangunan yang ramah lingkungan akan memiliki total utilitas yang lebih besar daripada mengorbankan alam demi kepentingan jangka pendek.Hal itu telah dibuktikan dengan munculnya berbagai gejolak alam di berbagai negara di dunia,termasuk Indonesia. (*)

Felix Wisnu Handoyo
Mahasiswa Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis, UGM Yogyakarta



Minggu, 21 Maret 2010

Meragukan Efektivitas Integrasi

Dimuat Harian Suara Merdeka
Sabtu, 20 Maret 2010


MUNCULNYA wacana integrasi atau penggabungan UN-SNMPTN seakan menciptakan angin segar bagi pengembangan kualitas pendidikan di negeri ini. Namun, wacana integrasi itu diragukan efektivitasnya dalam peningkatan kualitas pendidikan.

Hal itu didasari masih banyaknya kecurangan dari penyelenggaraan dua ujian tersebut. Selain itu, substansi dasar keduanya memiliki perbedaan yang cukup mencolok.

Jika kita berkaca pada pendidikan di negara maju, memang integrasi UN-SNMPTN telah dilakukan. Namun, negara maju seperti Prancis telah memiliki sistem pendidikan yang baik.

Artinya, telah ada kesetaraan antara UN dengan SNMPTN di sana. Kualitas ujian nasional memang telah memenuhi standar, sehingga tidak heran diikutsertakan sebagai seleksi masuk perguruan tinggi.

Hal yang berbeda terjadi di Indonesia, sistem dan kurikulum yang karut marut dirasa belum mampu disandingkan sebagai seleksi masuk perguruan tinggi. Bahkan, protes untuk meniadakan ujian nasional terus berlangsung di berbagai wilayah.

Sebelum wacana tersebut diberlakukan sebaiknya pemerintah dalam hal ini Menteri Pendidikan, perlu membenahi sistem dan kurikulum pendidikan nasional terlebih dahulu. Sebab, dengan sistem dan kurikulum yang sekarang belum mampu bersanding atau disetarakan sebagai seleksi masuk perguruan tinggi.

Sering pula dijumpai pendidikan di SMA/SMK sangat berbeda, malah cenderung bertolak belakang, sehingga mahasiswa baru sering mengalami kesulitan mengikuti pola pembelajaran dan kurikulum di perguruan tinggi.

Gebrakan untuk mengintegrasi UN-SNMPTN memang suatu bentuk inovasi dalam peningkatan kualitas pendidikan di tanah air. Namun, gebrakan tersebut tidak akan efektif jika dilaksanakan dalam waktu dekat.

Perlu ada pembenahan terlebih dahulu sebelum benar-benar menyandingkan keduanya (UN-SNMPTN) sebagai syarat kelulusan dan seleksi masuk perguruan tinggi negeri. (37)


Felix Wisnu Handoyo
Mahasiswa Ilmu Ekonomi
FEB, UGM

Selasa, 02 Maret 2010

Tidak Tercapainya Idealisme Pendidikan


Penjiplakan karya ilmiah yang terungkap beberapa waktu lalu mencoreng citra pendidikan di tanah air. Pendidikan yang seharusnya menjadi pembentukan karakter, kualitas, dan pengembangan diri, kini menjadi ajang formalitas demi memeroleh gelar. Akibatnya, esensi pendidikan yang sesungguhnya tidak tercapai, dan hanya melahirkan sarjana-sarjana palsu yang miskin ilmu.

Maraknya aksi penjiplakan karya ilmiah menjadi tamparan keras bagi penyelenggaraan pendidikan di tanah air. Pasalnya, pendidikan yang seharusnya menjadi ujung tombak dalam peningkatan kualitas SDA, berubah menjadi wadah kejahatan intelektual. Rendahnya kesadaran moral atas hak atas kekayaan intelektual (HAKI) ditengarai menjadi penyebab maraknya kejahatan ini dilakukan. Selain itu, kurangnya pengawasan pemerintah atas kekayaan intelektual mendorong aksi kejahatan intelektual merebak di Indonesia.

Akibat maraknya penjiplakan karya ilmiah, pendidikan di Indonesia seakan kehilangan muka di mata dunia. Sebab pendidikan yang seharusnya memunculkan generasi pembaharu yang inovatif, kreatif, dan berkarakter. Kini hanya tinggal kenangan dan melahirkan penjahat-penjahat intelektual yang professional. Berbagai pemberitaan di media massa yang marak belakangan ini menunjukkan kebobrokan sistem pendidikan di negeri ini. Maka, tak heran apabila esensi pendidikan hilang digantikan gelar sarjana dan popularitas intelektual yang kosong.

Keadaan ini jika dibiarkan begitu saja, akan mencetak kaum intelektualitas yang bergelar tetapi miskin ilmu. Sungguh ironi, kejadian memalukan semacam ini terjadi di negara yang sangat menjunjung Pancasila dan harga diri. Tak hayal citra buruk pun mewarnai penyelenggaraan pendidikan di tanah air yang membutuhkan keseriusan pemerintah dalam menangani masalah ini.

Pada dasarnya esensi pendidikan bertumpu pada proses pengajaran, penempaan, dan pembinaan yang bersifat berkesinambungan. Artinya, melalui pendidikan diharapkan muncul manusia yang bermartabat, berkarakter, dan berbudaya dengan menjunjung tinggi hak atas kekayaan intelektual. Melalui pengertian di atas seharusnya aksi penjiplakan karya ilmiah tidak seharusnya terjadi. Pasalnya, pendidikan yang ideal harus menyentuh proses, bukan hanya bertumpu pada hasil demi mencapai gelar yang prestisius.

Kesalahan menciptakan paradigma pendidikan di negeri ini dirasa menjadi motor penggerak aksi kejahatan intelektual marak. Hal ini jelas tidak terlepas dari sistem pendidikan dan kurikulum yang telah disusun oleh departemen pendidikan. Pasalnya, sistem yang ada menuntut pelajar untuk mengutamakan hasil daripada proses pembelajaran itu sendiri. Lihat saja yang terjadi pada ujian nasional, dimana kesuksesan seorang siswa hanya ditentukan dalam waktu beberapa hari saja. Artinya, kegiatan belajar mengajar selama bertahun-tahun sebelumnya tidak diperhitungan. Mengingat hanya hasil ujian nasional saja yang menjadi syarat mutlak kelulusan seorang siswa.

Dengan mekanisme demikian, tidak akan menciptakan insentif bagi pelajar untuk menjunjung tinggi proses. Maka, tak heran jika perilaku pelajar hanya tertuju pada hasil ujian nasional saja. Sayangnya, sistem ini seakan meresap dan mendarah daging sehingga terbawa hingga keperguruan tinggi. Aksi penjiplakan menjadi bukti dari pengutamaan hasil daripada proses pembelajaran. Dimana prosesn pembentukan karakter pelajar yang salah telah dimulai sejak sekolah dasar sehingga sulit dilepaskan. Akhirnya, jalan pintas pun ditempuh ketika peserta didik memasuki perguruan tinggi.

Sistem pendidikan memang menentukan keberhasilan sebuah bangsa dalam mencapai pembangunan ekonominya. Penerapan sistem yang salah hanya akan menciptakan lulusan yang berkualitas semu. Hal itulah yang dirasakan bangsa ini sejak bertahun-tahun. Kini terkuaknya aksi plagiarisme karya ilmiah seakan pemerintah baru terusik membenahi sistem yang telah ada. Sikap semacam ini hanya akan sia-sia jika tidak dilakukan secara berkesinambungan.

Dengan melihat kejadian plagiarisme yang terjadi di berbagai penjuru tanah air, menggambarkan bahwa pembenahan sistem pendidikan harus dilakukan pemerintah secara menyuluruh. Dimana tugas pemerintah ialah mengembalikan esensi dan idealisme pendidikan di negeri ini. Pemusatan pada proses pembelajaran harus ditekankan agar pelajar termotivasi untuk bekerja keras dalam menimba ilmu sehingga aksi plagiarisme dapat dihilangkan dari dunia pendidikan di Indonesia.

Felix Wisnu Handoyo

Mahasiswa Ilmu Ekonomi

Fakultas Ekonomika dan Bisnis, UGM

Yogyakarta

Senin, 22 Februari 2010

Perlu Adanya Pemerataan Akses Pendidikan

Dimuat Harian Seputar Indonesia
Thursday, 18 February 2010

INDONESIA sebagai negara dengan penduduk mencapai 240 juta jiwa,terus mengupayakan pemerataan akses pendidikan. Kendati cita-cita tersebut telah tertuang dalam Batang Tubuh UUD 1945, diamanatkan pentingnya pendidikan bagi seluruh warga negara seperti tertuang dalam Pasal 28 B ayat (1) dan Pasal 31 Ayat (1).

Hingga saat ini cita-cita tersebut belum mampu diwujudkan Pemerintah Indonesia.Pasalnya, banyak kendala teknis yang sulit diwujudkan hingga saat ini. Kendala atau hambatan tersebut terdiri dari tiga permasalahan pokok. Pertama, keterbatasan tenaga pengajar dalam instansi pendidikan.

Hal itu tampak dari perbandingan jumlah guru dan anak didik yang tidak sepadan.Selain itu,kesejahteraan guru yang minim ikut mendorong enggannya seseorang menjadi tenaga pengajar. Kedua,anggaran pendidikan di Indonesia yang relatif terbilang masih rendah.Kendati sejak beberapa tahun yang lalu anggaran pendidikan telah dinaikkan hingga 20% dari APBN.

Namun demikian,angka tersebut masih terbilang kecil jika dibandingkan dengan negara-negara maju di dunia seperti Amerika Serikat,Jerman,Jepang,dan Singapura. Ketiga,rendahnya kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan bagi masa depan.Kelemahan semacam ini sering terjadi di negara berkembang.

Pasalnya,kebutuhan yang menjadi prioritas penduduk di negara berkembang adalah kebutuhan saat ini.Artinya,pendidikan yang sifatnya jangka panjang tidak akan tersentuh mengingat pendapatan per kapita yang terbilang kecil pula. Ketiga permasalahan tersebut harus segera di atasi mengingat persaingan di dunia global semakin ketat.Maka,mau tidak mau pemerataan akses pendidikan perlu dipercepat pelaksanaannya.

Pasalnya, hanya dengan pendidikan keunggulan kompetitif bangsa dapat tercapai.Apalagi perdagangan bebas mulai diberlakukan di wilayah ASEAN dengan China. Untuk bersaing di kancah dunia,pemerintah harus benar-benar memprioritaskan pendidikan. Sebab, hanya pendidikan yang mampu meningkatkan kapasitas masyarakat atas penguasaan teknologi dan ilmu pengetahuan.

Demi mewujudkan cita-cita tersebut ada beberapa langkah yang dapat ditempuh. Pertama, perlu ada upaya kaderisasi guna menciptakan tenaga pengajar yang profesional dan berkualitas. Hal ini perlu didukung dengan peningkatan kesejahteraan tenaga pengajar. Kedua, pendidikan harus diprioritaskan melalui peningkatan anggaran, guna membangun sarana dan prasarana penunjang.

Selain itu, pemberlakuan sekolah gratis dan program wajib belajar bisa mengupayakan pemerataan akses pendidikan di Tanah Air. Ketiga, perlu ada sosialisasi terhadap masyarakat akan pentingnya pendidikan. Upaya ini tidak lain untuk mendorong kepedulian masyarakat guna mendukung program-program pendidikan.

Dengan langkah-langkah demikian diharapkan segenap masyarakat Indonesia dapat merasakan nikmatnya pendidikan yang akan tertuang melalui penguasaan teknologi dan ilmu pengetahuan.Dan melalui pendidikanlah investasi sumber daya manusia dapat benar-benar efektif kendati sifatnya jangka panjang.(*)

Felix Wisnu Handoyo
Mahasiswa Ilmu Ekonomi
Fakultas Ekonomika dan Bisnis,
UGM, Yogyakarta