Selasa, 31 Maret 2009

Pencederaan Kepercayaan Mewarnai Pemilu

Hajatan masyarakat Indonesia lima tahunan ini tidak disambut antusias warga. Banyak warga yang lebih memilih diam di rumaha ketimbang mengikuti orasi terbuka parpol. Mereka sudah bosan dengan janji-jani parpol yang tidak akan pernah berbuah manis bagi kesejahteraan bersama. Dan itulah yang memarnai pemilu kali ini yang diawali dengan pemilihan caleg dan dilanjutkan pemilihan presiden.

Semarak pesta demokrasi lima tahunan sudah seharusnya menjadi ajang bagi perubahan bangsa untuk lebih baik lagi. Dimana suara rakyatlah yang menentukan pemimpin bangsa setidaknya untuk lima tahun mendatang. Namun, pesta demokrasi ini tidak mendapat sambutan yang antusias dari masyarakat. Terbukti dari sedikitnya simpatisan yang hadir dalam kampanye terbuka dan ingar- bingar pemilu yang semakin dekat hingga saat ini belum terasa.

Indikasi negatif dari kepedulian masyarakat dalam menentukan pemimpin bangsa mulai tampak Pilkada di sejumlah daerah. Dimana berdasarkan hasil perhitungan rata-rata angka golput (golongan putih) dalam setiap Pilkada mencapai 30%. Padahal kondisi di masing-masing daerah akan mencerminkan Pemilu mendatang. Kondisi ini memang sangat mengkhawatirkan bagi kemajuan bangsa di masa mendatang.
Jika dilihat dari fenomena yang ada unsur apatisme kian membayangi masyarakat dalam pemilu mendatang. Suatu bentuk apatisme bisa muncul disebabkan oleh beberapa faktor pendungkungnya. Pertama, ketidakseriusan dari pihak penyelenggara dalam melaksanakan tugasnya. Hingga saat ini jumlah pemilih tetap masih simpang siur, belum ada data yang pasti dari KPU. Masih ditemukan indikasi kecurangan atas penggelembungan daftar pemilih tetap. Padahal jumlah pemilih sangat mempengaruhi pencetakan surat suara, dimana berdasarkan Pasal 145 UU No 10 Tahun 2008 tentang Pemilu, jumlah surat suara cadangan tidak boleh lebih dari 2% dari jumlah pemilih tetap di daerah pemilihan tersebut.

Kedua, kurangnya sosialisasi dari KPU dalam tata cara pemilihan. Sejumlah daerah di Indonesia masih belum terjamah KPU sehingga masih bingung mengenai cara pemilihan. Kondisi ini bisa mengurangi keikutsertaan masyarakat daerah dalam pesta demokrasi lima tahunan.
Ketiga, faktor yang ditentukan kesengajaan pemilih untuk tidak berkiprah dalam pemilu mendatang. Pola semacam ini menggambarkan bahwa rakyat sudah enggan dengan janji parpol yang tidak pernah bisa direalisasikan. Selain itu, sikap untuk melakukan golput dengan tidak ikut serta dalam pemilihan merupakan suatu bentuk hukuman bagi elite politik yang lama mengabaikan suara dan kepercayaan rakyat.
Menurunnya gairah masyarakat dalam mengikuti kampanye memang pertanda bahwa ancaman demokrasi di negeri ini kian mencekam. Apalagi berdasarkan tren dari tahun ketahun ancaman golput kian meningkat, pada tahun 1999 saja tercatat golput sekitar 10,21%. Pada 2004
meningkat dua kali lipat lebih mencapai 23,34%, sedangkan pada pemilihan presiden putaran kedua mencapai angka 23,32%.
Perlunya mengembalikan kepercayaan masyarakat merupakan suatu tantangan yang besar bagi sejumlah elite politik. Saat ini rakyat memang sudah terlanjur tidak percaya, tetapi upaya untuk meningkatkan kembali kepercayaan masyarakat perlu dilakukan. Sebab dalam system demokrasi rakyat memegang kekuasaan tertinggi untuk mengangkat dan menurunkan wakilnya, baik diparlemen maupun di pemerintahan.

Kurangnya minat masyarakat dalam mengikuti kampanye harus dijadikan pelajaran bagi para elite politik untuk benar-benar memperjuangkan aspirasi dan kesejahteraan rakyat. Sebab rakyat sudah tidak memerlukan janji, melainkan tindakan nyata dalam membangun bangsa di masa mendatang. Jangan sampai terulang kembali pencederaan kepercayaan masyarakat di masa mendatang. Sebab rakyat sudah lelah dengan kehidupan politik yang penuh kebohongan dan tipu daya.

Felix Wisnu Handoyo
Mahasiswa Ilmu Ekonomi
Fakultas Ekonomika dan Bisnis, UGM
Yogyakarta

Geliat Pemilu Yang Mencengangkan

Pemilu untuk pemilihan caleg semakin dekat tetapi masih banyak masalah yang menghampirnya. Salah satu masalah yang mencuat dan sangat meresahkan keabsaan pemilu mendatang ialah adanya DPT ganda. Gemuruhnya daftar pemilih tetap bermasalah menggambarkan betapa memprihatinkan demokrasi di Indonesia. Pasalnya, masih ada pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk mengacaukan pemilu mendatang.

Permasalahan yang timbul karena adanya penggelembungan jumlah DPT, disebabkan masih amburadul-nya data kependudukan di Indonesia. Diperparah dengan kinerja KPU yang tampaknya dinilai kurang professional dalam menyelenggarakan pemilu kali ini. Pada dasarnya pemilu mendatang tidak hanya memiliki masalah dari jumlah DPT, tetapi juga bermasalah dalam distribusi, surat suara yang rusak, dan suara suara yang telah diberi tanda. Kesiapan KPU dalam menyelenggarakan pesta demokrasi tahunan memang masih mengundang tanda tanya besar.
Munculnya DPT bermasalah berawal dari penggelembungan jumlah pemilih yang terjadi pada pilkada Jawa Timur. Dimana penggelembungan jumlah pemilih ditemukan pada dua kabutapen yaitu Sampang dan Bangkalan di provinsi tersebut. Dengan modus di antaranya kepemilikan Nomor Induk Kependudukan yang sama, mencapai 225.448 suara. Selain itu, modus lainnya memiliki nama dan NIK yang sama jmulahnya mencapai 12.224 pemilih. Modus yang menggunakan nama, NIK, dan tanggal lahir sama mencapai 10.844 pemilih. Sedangkan, modus lainnya dengan memiliki nama, NIK, tempat tanggal lahir, dan alamat yang sama mencapai 6.918 pemilih. Pemaparan di atas yang sangat mencengangkan merupakan gambaran kebobrokan dari demokrasi di Indonesia.

Jika diperhatikan secara mendalam, munculnya DPT bermasalah dipengaruhi oleh beberapa faktor. Pertama, adanya politik yang tidak sehat dari parpol yang menjadi peserta pemilu. Dimana mereka memanfaatkan kebobrokan dari pendataan jumlah penduduk Indonesia. Kejahatan semacam ini bertujuan untuk meningkatkan jumlah suara parpol tertentu.
Kedua, adanya keterlibatan oknum dalam penggelembungan jumlah pemilih tetap. Jika kita perhatikan secara mendalam bahwa pihak yang bisa melakukan perubahan DPT ialah hanya petugas yang berwenang saja. Maka penggelembungan yang terjadi pada DPT tidak terlepas dari peran oknum pemerintah, untuk memenangkan parpol tertentu.

Ketiga, ketidakseriusan dari KPU dalam menyelenggarakan pemilu mendatang. KPU sebagai penyelenggara pemilu seharusnya sudah memperhatikan hal-hal yang terkait di dalamnya. Dimana beberapa waktu lalu KPU sempat mengumumkan DPT sebanyak 171.068.667 orang, masing- masing 169.558.775 pemilih di dalam negeri dan 1.509.892 pemilih di luar negeri. Ketidaksiapan KPU tergambar dari tidak validnya data pemilih tetap mengenai angka-angka tersebut, kendati sudah mengalami dua kali revisi.

Permasalahan yang timbul mengenai DPT merupakan crucial point yang menjadi salah satu indikator keberhasilan pemilu. Untuk itu penyelesaian mengenai DPT bermasalah harus segera dilakukan. Sebab jika kondisi ini terus berlangsung dan KPU tidak mampu mengusut mengenai penggelembungan jumlah pemilih, bukan tidak mungkin akan menimbulkan kekacauan di masa mendatang. Akibatnya kemajuan bangsa hanya akan menjadi angan-angan yang tidak mungkin bisa diwujudkan.

Sabtu, 21 Maret 2009

Belajar dari Amerika

Suara Merdeka
Sabtu, 21 Maret 2009

PERSAINGAN untuk mendapatkan mahasiswa bagi PTS pada periode-periode mendatang makin ketat. Pasalnya, sebagian besar PTN telah banyak melakukan gebrakan untuk meningkatkan minat calon mahasiswanya. Apalagi dengan status BHPP, makin membuat PTN leluasa mencari calon mahasiswa sebanyak-banyaknya.

Pandangan masyarakat bahwa PTN merupakan perguruan tinggi favorit menjadi ancaman serius bagi keberlangsungan hidup PTS. Pasalnya, PTN masih menjadi perguruan tinggi kelas satu di Indonesia, sehingga calon mahasiswa akan berusaha sebaik mungkin untuk kuliah di sana.

Hal ini diperparah dengan dengan pengesahan UU Badan Hukum Pendidikan (BHP), di mana PTN dapat dengan leluasa menggelar ujian masuk. Akibatnya, banyak calon mahasiswa yang tertampung di PTN dan minat ke PTS pun makin berkurang.

Jika dibandingkan dengan Amerika Serikat, kondisinya sangat berbeda, sebab pendidikan tinggi justru dikuasai PTS. Para calon mahasiswa di sana lebih mengutamakan untuk sekolah di perguruan tinggi swasta ketimbang perguruan tinggi negeri. Misalnya Harvard University, Princeton University, dan MIT. Semuanya merupakan PTS yang sangat digemari calon mahasiswa Amerika. Pasalnya, ketiga unversitas itu diakui kualitasnya oleh pemerintah Amerika dan dunia.

Belajar dari Amerika, PTS di Indonesia harus bangkit meraih minat calon mahasiswa dengan meningkatkan kualitas. Dalam hal ini, peningkatan kualitas harus dilakukan supaya mendapatkan pengakuan atau akreditasi dari pemerintah. Poin inilah yang harus dimiliki PTS agar mampu bersaing dengan PTN. Pengakuan pendidikan diyakini dapat meningkatkan derajat PTS, meskipun hal itu tidak mudah dilakukan.

Felix Wisnu Handoyo : Mahasiswa Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM

Rabu, 11 Maret 2009

Yang Melatarbelakangi Kekerasan

Kekerasaan seakan telah menjadi budaya, berdasarkan data yang dikumpulkan oleh Institut Titian Perdamaian, selama tahun 2008 terjadi 1.136 insiden kekerasan di Indonesia. Yang artinya setiap hari rata-rata terjadi 3 insiden kekerasan di Indonesia. Sungguh sangat memprihatinkan Indonesia yang kaya akan keberagaman juga tidak terlepas dari kaya akan kekerasan.

Berbagai macam kekerasan kian mewarnai kehidupan masyarakat Indonesia. Dimana Institut Titian Perdamaian mencatat beberapa kekerasan yang menonjol selama tahun 2008, yaitu penghakiman massa sebanyak 30% atau 338 insiden, tawuran dengan 21% atau 240 insiden, konflik politik dengan 16% atau 180 insiden. Kemudian menyusul konflik sumber daya ekonomi sebanyak 11% atau 123 insiden, konflik sumber daya alam sebanyak 10% atau 109 insiden. Pengeroyokan menempati urutan selanjutnya dengan 4 % atau sebanyak 47 insiden. Disusul oleh Konflik etnis/agama sebanyak 2% atau 28 insiden, dan lain-lain sebanyak 5% atau 56 insiden.

Data di atas menggambarkan betapa mudahnya konflik yang berujung pada kekerasan terjadi di Indonesia. Hal itu menunjukkan bahwa masyarakat negeri ini belum dewasa dalam menanggapi suatu permasalahan. Dimana penyelesaian dengan kekerasan dianggap sebagai jalan keluar yang mudah. Pemikirin semacam ini jelas akan berdampak negatif bagi perkembangan dan kemajuan bangsa di masa mendatang.

Menelusuri kekerasan yang terjadi di nergeri ini, ada beberapa hal yang diduga melatarbelakangi terjadinya kekerasan di masyarakat, yaitu kekecewaan masyarakat terhadap penegakan hukum di Indonesia, adanya politik kepentingan, sikap kurang dewasanya masyarakat dalam memandang perbedaan, dan adanya budaya kekerasan yang turun- temurun.

Dalam memandang kekerasan yang terjadi, unsur kekecewaan masyarakat terhadap penegakan hukum jelas berdampak negatif. Misalkan saja, adanya sikap main hakim sendiri di masyarakat dan tawuran antar kelompok masayarakat. Kejadian tersebut menggambarkan masyarakat sudah tidak lagi percaya terhadap penegakan hukum di Indonesia. Yang kedua, adanya politik kepentingan menambah daftar catatan buram kekerasan di masyarakat. Dimana konflik ini biasanya di motori oleh elite politik yang sedang berebut kekuasaan.

Hal ketiga, kedewasaan masyarakat yang masih dipertanyaakan. Maksudnya, masyarakat belum mampu menerima dan berjiwa besar ketika adanya perbedaan yang terjadi dalam kehidupannya. Dimana masing-masing kelompok bertahan dengan keinginannya sehingga benturan pun tidak terelakkan.

Keempat, adanya budaya kekerasan yang turun-temurun dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Memprihatinkan jika kekerasan sudah menjadi budaya, yang artinya telah menjadi kebiasaan. Kondisi tersebut tercermin dalam beberapa kasus kekerasan, seperti kekerasan dalam keluarga dan dalam instansi pendidikan. Dimana kedua contoh kasus tersebut memiliki sifat turun menurun dari orang tua turun ke anak dan senior ke junior. Akibatnya rantai tersebut membentuk budaya kekerasan yang tidak terputus. Kondisi tersebut mengindikasikan akan ada ancaman besar bagi kemajuan dan perkembangan bangsa di masa mendatang. Sebab kekerasan hanya akan menimbulkan kesengsaraan.


Felix Wisnu Handoyo
Mahasiswa Ilmu Ekonomi
Fakultas Ekonomika dan Bisnis
UGM, Yogyakarta

Keengganan Menurunkan Suku Bunga

Seputar Indonesia
Selasa, 10 Maret 2009


Beberapa hari yang lalu Bank Indonesia menurunkan suku bunga acuan hingga 50 basis poin. Kebijakan tersebut sempat menggairahkan pasar saham domestik dengan ditandainya kenaikan harga sejumlah saham unggulan. Namun, kegembiraan tersebut tidak diikuti dengan penurunan suku bunga perbankan.

Kebijakan BI yang menurunkan suku bunga acuan hingga 50 basis poin merupakan upaya mengatasi keketatan likuiditas. Hal itu karena sentimen negatif dari pasar keuangan yang kian mempengaruhi perekonomian domestik. Dimana sejumlah lembaga keuangan dunia mengalami kerugian. Akibatnya berdampak pada pertumbuhan ekonomi yang semakin melambat dari perkiraan sebelumnya.

Ketakutan akan pertumbuhan ekonomi domestik yang semakin melambat di indikasikan oleh laporan BPS yang menyebutkan nilai ekspor januari 2009 anjlok 17,7 persen, terhadap desember 2008. Untuk itu, BI juga ikut menurunkan level pertumbuhan ekonomi dari 4,5 persen menjadi 4 persen.

Pasar saham domestik memang sempat bergairah akibat penurunan suku bunga acuan oleh BI. Sayangnya upaya tersebut tidak lantas membuat perbankan menurunkan suku bunganya maka keketatan likuiditas masih terjadi. Ada beberapa yang menyebabkan perbankan masih mempertahankan tingkat suku bunga yang tinggi.
Pertama, biaya investasi atau kredit yang semakin mahal sehingga tingkat suku bunga perbankan relatif tetap meskipun BI saat ini sudah turun kelevel 7,75 persen. Ketakutan semacam ini disebabkan adanya ketidakpastian dari ekonomi global sehingga perbankan masih enggan menurunkan suku bunganya.

Kedua, ketakutan dari perbankan akan perekonomian domestik yang semakin melambat. Hal ini ditandai dengan penggangguran dan kemiskinan yang meningkat tajam. Perlambatan perekonomian inilah yang menyebabkan perbankan menginginkan yield (imbal hasil) yang besar. Upaya semacam ini dilakukan agar pemberian kredit dilakukan dengan hati-hati sehingga NPL (non performing loan) tidak meningkat.

Ketiga, hilangnya kepercayaan dari perbankan dalam menyalurkan dana segarnya. Krisis kepercayaan mewarnai kondisi saat ini dimana perbankan sangat berhati-hati dalam menggunakan dananya. Pasalnya, kesalahan dalam mengambil keputusan dapat berakibat fatal mengingat kondisi perekonomian yang semakin tidak menentu.

Ketiga hal tersebut merupakan alasan mengapa perbankan enggan dalam menurunkan suku bunganya. Dimana unsur kehati-hatian masih menyelimuti perbankan domestik dalam menyalurkan dananya. Akibatnya investasi dalam negeri relatif tidak bergerak. Jika kondisi ini berlangsung terus-menerus maka great depression akan segera menghampiri negeri ini.

Untuk itu, dibutuhkan kerjasama yang baik antara pemerintah dan perbankan agar tercipta kesinergisitasan diantara keduasnya. Pasalnya, kebijakan akan efektif jika semua komponen ikut terlibat di dalamnya. Keengganan perbankan dalam menurunkan suku bunganya menjadi contoh konkret kegagalan pemerintah dalam meyakinkan perbankan. Dampaknya keketatan likuiditas tetap terjadi meskipun suku bunga acuan telah turun drastis.



Felix Wisnu Handoyo
Mahasiswa Ilmu Ekonomi
Fakultas Ekonomika dan Bisnis, UGM
Yogyakarta