Pada awal bulan Agustus 2013
lalu, Presiden RI telah menyatakan bahwa Indonesia sedang menghadapi krisis
ekonomi ditandai dengan perlambatan pertumbuhan ekonomi, perlemahan rupiah, dan
membengkaknya defisit APBN. Ketidakstabilan ekonomi dalam negeri juga di
pengaruhi oleh pernyataan Gubernur The Fed yang akan segera menarik stimulus
ekonomi pada pertengahan 2014. Di sisi lain, membengkaknya defisit neraca
perdangangan kian melebar dan kenaikan harga BBM semakin menggairahkan tingkat
inflasi hingga menyentuh 8,61% (yoy) pada bulan Juli 2013.
Menanggapi
kesehatan ekonomi domestik yang kian memburuk, pemerintah pada hari Jumat,
23/08 mengeluarkan 4 paket kebijakan stimulus ekonomi, yang terdiri atas beberapa
hal, yaitu mendorong ekspor dan menekan impor, menjaga defisit APBN 2,38% dan
pemotongan pajak, mengubah tata niaga daging dan holtikultura, dan mengefektifkan
sistem layanan terpadu satu pintu perizinan investasi. Keempat paket kebijakan
merupakan stimulus untuk menjaga kestabilan ekonomi dalam negeri di tengah
gejolak kondisi makro saat ini.
Kondisi
perekonomian Indonesia saat ini memang sedang memburuk, defisit neraca
perdagangan dari Jan-Juni 2013 tercatat USD 3,3 milyar. Nilai tukar rupiah berdasarkan
data Bank Indonesia hingga 23 Agustus 2013 kurs tengah tercatat Rp.10.848/USD.
Sedangkan, BEI mencatatkan penurunan IHSG mencapai 10,63% sejak awal bulan
Agustus dan saat ini berada diposisi 4169,83. Data BPS pun kian mempertegas
krisis ekonomi kian nyata dimana pertumbuhan ekonomi di triwulan II 2013 hanya
sebesar 5,81%. Disisi lainnya, cadangan devisa Indonesia terus tergerus hingga
menyentuh USD 92,671 milyar atau mengalami penurunan sebesar USD 16,109 milyar
(14,82%) sejak Januari 2013.
Harga BBM dan Ketergantungan Impor
Pada
dasarnya fundamental ekonomi Indonesia cukup kuat menghadapi ketidakpastian
ekonomi dunia pada 2013. Pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2012 mencapai
6,23%, dimana sebesar Rp.1.442 trilliun (55%) masih ditopang oleh konsumsi
rumah tangga, lalu diikuti oleh net ekspor mencapai Rp.1.005 trilliun (38,38%).
Bahkan hingga Maret 2013, neraca perdagangan mencatat kondisi surplus sebesar
USD 0,1 milyar. Inflasi pada periode yang sama tercatat sebesar 5,9% pada Maret 2013 (yoy).
Memburuknya
perekonomian Indonesia tidak terlepas kenaikan harga BBM dan ketergantungan
impor yang kian besar. Kebijakan menaikkan harga BBM menjelang bulan puasa dan
menyambut Idul Fitri memang seperti makan buah simalakama. Opsi menaikkan dan
tidak menaikkan harga BBM memiliki konsekuensi yang tidak bisa dianggap enteng.
Namun, pemerintah akhirnya mengambil opsi menaikkan harga BBM untuk
menyelamatkan APBN dengan mengurangi subsidi BBM. Pasca kebijakan kenaikan
harga BBM jelas akan meningkatkan inflasi di dalam negeri, mengingat BBM
memliki efek multiplier yang sangat besar.
Disisi
lain, ketergantungan impor kian tak terbentung lagi. Kelangkaan bawang merah,
bawang putih, dan melonjaknya harga daging, kian menjelang bulan puasa dan
lebaran. Tingginya permintaan dan minimnya suplai menyebabkan harga barang
merangkak naik. Opsi Kebijakan impor menjadi satu-satunya langkah strategis
jangka pendek yang dilakukan untuk mengatasi situasi saat ini. Akibatnya, defisit neraca perdagangan kian tidak
terbendung lagi.
Kenaikan harga
BBM dan kelangkaan barang kebutuhan pokok memicu kenaikan inflasi yang cukup
besar. Data BPS menunjukkan inflasi pada bulan Juli 2013 mencapai 2,38%,
tertinggi sepanjang tahun 2013. Tingginya inflasi di Indonesia memicu
ketidakpastian pasar uang dan pasar saham, dampaknya IHSG meluncur bebas dan
nilai tukar rupiah melambung tinggi terhadap dollar Amerika Serikat. Kondisi
ini kian memberat ekonomi di Indonesia khususnya untuk pemenuhan kebutuhan
bahan pokok yang harus di penuhi melalui impor. Akibatnya, kenaikan kurs dapat
memicu inflasi yang lebih besar lagi dan menciptakan ketidakstabilan ekonomi
makro domestik. Jika tidak segera ditangani dan terjadi berlarut-larut maka
akan menyebabkan inflation trap, kondisi
dimana inflasi yang ada menciptakan inflasi yang lebih besar dimasa mendatang
atau hyperinflation.
Perlu Solusi Jangka Pendek
Empat
kebijakan pemerintah dirasa belum mampu menutup potensi inflasi yang lebih
besar. Belum ada langkah pasti menekan potensi inflasi yang besar akibat
kelangkaan barang konsumsi. Meski nilai impor untuk barang konsumsi/primary
goods hanya USD5,199 milyar (6,5% dari total impor) periode Januari-Mei 2013.
Kelangkaan barang konsumsi ini menyumbang inflasi terbesar kedua setelah
kelompok barang transpor, komunikasi, dan jasa keuangan masing mengalami
kenaikan indeks pengeluaran mencapai 5,46% dan 9,60% di bulan Juli 2013.
Alhasil, kurs terus tergerus di level yang cukup rendah, hal ini juga
berpotensi meningkatkan inflasi karena banyak barang konsumsi yang dipenuhi
melalui impor. Inflation trap pun dapat terjadi jika langkah taktis tidak
dilakukan oleh pemerintah Indonesia.
Lalu, apa
langkah nyata yang perlu dilakukan oleh pemerintah Indonesia menghadapi potensi
inflation trap?
Perlu ada
langkah jangka pendek untuk menciptakan kestabilan ekonomi makro. Pertama,
pemenuhan barang kebutuhan pokok melalui peningkatan produksi. Artinya, semua
barang kebutuhan pangan yang bergantung pada impor perlu didorong pemenuhannya
melalui produksi dalam negeri. Langkah jangka pendek yang dapat dilakukan,
melakukan estimasi pemenuhan produksi dalam negeri dan memberikan pemotongan
bea masuk serta subsidi jika diperlukan hingga periode tertentu (sampai
produksi dalam negeri meningkat). Kedua, memberikan insentif berupa permodalan
dan pelatihan bagi UMKM, khususnya yang bergerak dibidang pertanian untuk
menggenjot produksi nasional. Berdasarkan data Komite KUR Kemenko Bidang
Perekonomian penyaluran kredit tanpa agunan untuk sektor pertanian hingga Juni
2013 mencapai Rp.19,61 triliun atau 16,47% dari total pencairan KUR Nasional. Ketiga,
pengalihan subsidi kepada angkutan umum dan barang, untuk menekan biaya
distribusi akibat kenaikan BBM yang lalu. Ketiga, langkah taktis ini merupakan
langkah jangka pendek yang dapat dan segera dilakukan pemerintah. Perhitungan
yang matang dalam penerapan kebijakan dengan rencana produksi nasional akan
mengamankan konsumsi domestik. Tentunya, akan menghindari Indonesia dari adanya
potensi Inflation Trap.
Mengamankan
pemenuhan barang konsumsi dan menekan biaya distribusi pangan nasional akan
mampu mengendalikan inflasi dan akan mengembalikan kepercayaan masyarakat dan
investor terhadap rupiah. Sebab keduanya menyumbang inflasi terbesar pada bulan
Juli lalu dan memiliki kecenderungan meningkat di bulan Agustus.
Paket
kebijakan pemerintah yang diumumkan akan efektif jika inflasi relatif rendah
dan nilai tukar terkendali stabil. Pasalnya, stimulus untuk mendorong ekspor akan berjalan
efektif jika produksi dalam negeri baik barang konsumsi, setengah jadi, atau
barang jadi telah meningkat (skala produksi meningkat). Artinya, ada kelebihan
produksi yang tidak mampu terserap di dalam negeri. Selain itu, kebijakan mengenai perbaikan tata
niaga daging dan perizinan investasi baru akan dirasakan manfaatnya ketika
kegiatan usaha mulai beroperasi dan penetapan aturan main telah dibuat.
Lagipula, investasi yang masuk ke Indonesia akan kembali keluar negeri karena
impor Indonesia terbesar untuk sektor bahan baku penolong mencapai USD 60,36
miliar dan baru dirasakan manfaatnya untuk masa mendatang. Disisi lain,
pemotongan pajak dan menjaga defisit APBN dilevel 2,38% dari PDB, tidak akan
dirasakan oleh masyarakat secara langsung dan tidak mampu mengendalikan harga
dipasar. Maka, pemerintah Indonesia perlu melakukan langkah taktis jangka
pendek. Sebaiknya tidak menerapkan kebijakan jangkan menengah untuk
menyelesaikan permasalahan jangka pendek.
Untuk itu, langkah utama yang perlu dilakukan
pemerintah mengamankan pemenuhan barang konsumsi dan distribusi untuk kebutuhan
dalam negeri. Keberhasilan menekan inflasi akan memberikan dampak positif
terhadap permintaan rupiah di pasar uang. Alhasil, inflasi terkendali dan kurs
kembali pada level keseimbangannya.