Rabu, 15 April 2020

Melawan Invasi Covid-19

Publikasi di Bisnis Indonesia
Sabtu, 11 April 2020


Senin, 05 Agustus 2019

Mengukur Efektivitas Asuransi Kesehatan Nasional

Bisnis Indonesia
Kamis, 1 Agustus 2019

Bisnis.com, JAKARTA - Hal yang sedikit menggelitik dari pelaksanaan UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), kita baru berada dalam level penanganan masalah finansial yang melanda BPJS Kesehatan. Namun, masih jauh dalam mendiskusikan atau mempermasalahan status kesehatan masyarakat, akan meningkat atau tidak dalam pelaksanaannya.
Defisit finansial yang menimpa BPJS Kesehatan telah menjadi isu hangat belakangan ini dan berbagai upaya telah dilakukan untuk menekan membengkaknya tagihan pelayanan kesehatan badan tersebut. Data terakhir menyebutkan bahwa BPJS Kesehatan mengalami defisit hingga Rp16,5 triliun dan memungkinkan membengkak di tahun ini dan selanjutnya.
Pembicaraan berlanjut soal intervensi mengenai pengurangan manfaat bagi peserta BPJS Kesehatan hingga pelaksanaan urun biaya dan selisih biaya. Namun, pertanyaan mendasar dari implementasi UU SJSN tidak pernah mendapatkan tempat utama, yaitu apakah tingkat kesehatan masyarakat meningkat dengan program ini?
Dalam UU No. 24 Tahun 2011 pasal 3 menegaskan bahwa BPJS bertujuan untuk mewujudkan terselenggaranya pemberian jaminan demi terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap peserta dan/atau anggota keluarganya. Kebutuhan akan jaminan kesehatan dan ketenagakerjaan menjadi fokus utama dibentuknya BPJS.
Namun, permasalahan mendasar (defisit anggaran) dari pelaksanaan BPJS seakan menjadi batu sandungan bagi keberlangsungan program ini. Kendati skema mitigasi apabila terjadi defisit keuangan mengenai BPJS, khususnya BPJS Kesehatan telah tertuang dalam undang-undang, implementasi di lapangan belum sesuai harapan. Pengurangan manfaat kesehatan, urun biaya dan selisih biaya mewarnai peliknya tantangan bagi badan tersebut saat ini.
Penerjemahan atas UU SJSN yang tidak menyeluruh membuat kita kian terjebak dalam permasalahan defisit, pengurangan manfaat dan urun serta selisih biaya. Hal utama mengenai pemenuhan kebutuhan dasar hidup malah kian luput dari perhatian, dalam hal ini kesehatan.
Berdasarkan hasil penelitian yang penulis lakukan dengan data Indonesian Family Life Survey (IFLS) 4 dan 5, menunjukkan bahwa asuransi kesehatan daerah, Jamsostek, Askes dan saat ini BPJS belum mampu meningkatkan status kesehatan masyarakat. Hasil penelitian yang dibagi dalam group treatment-control mengambil sampel sebanyak 12.740 observasi data panel.
Group treatment tercatat sebanyak 8.754 observasi dimana individu tidak memiliki asuransi pada IFLS4 dan memiliki asuransi pada IFLS5. Sebagai control sebanyak 3.716 observasi dengan ketentuan memiliki asuransi pada kedua periode penelitian.
Hasilnya cukup mengejutkan bahwa keberadaan asuransi yang dikelola pemerintah dan BUMN atas dasar penugasan pemerintah tidak memiliki dampak terhadap peningkatan status kesehatan (statistically insignificant) peserta asuransi tersebut. Penelitian ini menggunakan metode difference-in-differences (DiD) dengan data panel yang seimbang (balanced panel).
Namun, keberadaan program asuransi ini berhasil menurunkan tingkat pengeluaran kesehatan masyarakat meskipun ada pengeluaran tetap yaitu premi. Hal yang menjadi dasar dari pelaksanaan program ini seharusnya mampu meningkatkan tingkat kesehatan masyarakat. Sayangnya, hal yang penting ini malah luput dari pembahasan pemerintah dan BPJS. Justru kita disibukkan pada permasalahan finansial dan malah penurunan manfaat.
Jika berkaca pada hasil penelitian tersebut, seharusnya pemerintah dan BPJS Kesehatan bersama-sama mengambil langkah strategis, yaitu bagaimana asuransi kesehatan nasional ini berkontribusi dalam peningkatan kesehatan masyarakat.
Bukankah seharusnya kebijakan yang diterapkan harus mengacu pada sasaran tersebut, bukan hanya bagaimana menutup defisit keuangan dengan menurunkan manfaat dan urun serta selisih biaya. Ini pun menjadi evaluasi atas kebijakan penurunan manfaat kesehatan bagi masyarakat, karena dengan kondisi saat ini saja belum mampu mendorong tingkat kesehatan masyarakat. Apalagi jika manfaatnya dikurangi.
Kian jelas bahwa ketentuan Indonesia Case Base Groups (Ina-CBG’s) tidak disiapkan dengan baik. Pasalnya, belum pernah dipublikasikan, baik oleh pemerintah maupun BPJS Kesehatan mengenai tindakan medis kepada pasien, apakah sudah efektif atau belum. Apalagi untuk penanganan pasien yang memiliki penyakit cukup berat.
Padahal hal ini seharusnya dilakukan untuk menerapkan prosedur yang efektif dan tentunya menghindari tindakan medis berlebihan. Efektif artinya dengan tindakan medis tertentu dapat meningkatkan status kesehatan masyarakat. Evaluasi tersebut dapat dilakukan dengan cost-benefit-analysis (CBA), cost utility analysis (CUA), dan cost effectiveness analysis (CEA).
Namun, hal tersebut tampak belum menjadi basis dalam penerapan Ina-CBG’s. Padahal dengan analisis tersebut akan membantu suatu tindakan medis memiliki efektivitas terhadap pasien atau tidak berdasarkan quality adjusted life-years (QALY). QALY merupakan ukuran mengenai kualitas hidup seseorang pasca mendapatkan penanganan medis. Kendati ukuran ini terbilang subyektif tetapi dapat menjadi ukuran untuk menentukan pelayanan optimal bagi pasien.
Pemerintah dan BPJS Kesehatan seharusnya sudah tidak berkutat pada masalah defisit anggaran. Pasalnya, rekomendasi mengenai dana abadi kesehatan benar-benar bisa dilakukan dan diterapkan. Sudah waktunya membahas paket kesehatan dan dampaknya bagi peningkatan kesehatan masyarakat.
Perlu diingat bahwa rancangan pembangunan Indonesia ke depan akan berfokus pada pengembangan sumber daya manusia. Syarat utamanya ialah pendidikan dan kesehatan. Dalam hal ini BPJS Kesehatan memiliki peran yang sangat besar dalam menunjang pembangunan sumber daya manusia.
Untuk itu transformasi harus terus dilakukan agar negara ini bisa semakin maju.

Jumat, 22 Februari 2019

Urun Biaya dan Selisih Biaya, Solusi Bagi JKN?

Bisnis Indonesia Kamis, 21 Februari 2019

Bisnis.com, JAKARTA – Kali ini Kementerian Kesehatan (Kemenkes) benar-benar panik dalam menekan defisit BPJS Kesehatan. Pasalnya, dugaan membengkaknya klaim kian melebar pada tahun ini dibandingkan dengan Rp16,5 triliun pada 2018.
Skenario mulai dari pengurangan manfaat bagi peserta BPJS Kesehatan tampaknya belum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Saat ini pemerintah melalui Kemenkes menerbitkan aturan teknis mengenai urun biaya dan selisih biaya kesehatan bagi peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Kepanikan tampak mulai dirasakan oleh Kemenkes dan BPJS Kesehatan dalam menghadapi defisit yang berpotensi melebar. Kendati undang-undang sistem jaminan sosial nasional (UU SJSN) membuka peluang adanya urun biaya, pelaksanaan urun biaya harus berdasarkan jenis pelayanan yang menimbulkan penyalah-gunaan pelayanan.
Permenkes No. 51/2018 telah mengatur urun biaya apabila masyarakat mendapatkan pelayanan rawat jalan atau inap berdasarkan kelas rumah sakit dan ditetapkan maksimum nominal untuk setiap pelayanan. Peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) dibebaskan dari pengenaan urun biaya ketika mendapatkan pelayanan. Namun, implementasi aturan tersebut masih menunggu kajian jenis pelayanan kesehatan yang memungkinkan terjadinya penyalahgunaan.
Urun biaya memang belum diberlakukan bagi peserta JKN, khususnya untuk peserta non-PBI. Namun, pelaksanaan urun biaya berpotensi mengurangi kunjungan masyarakat dalam mengakses layanan kesehatan. Pasalnya, mereka yang biasanya mendapatkan pelayanan secara gratis harus bersedia membayar sebagai bentuk urun biaya.
Disisi lain, keberadaan JKN yang seharusnya menjadi angin surga bagi masyarakat dalam mengakses layanan kesehatan, baik peserta PBI maupun non-PBI. Apabila aturan tersebut diterapkan, tidak sepenuhnya sesuai harapan masyarakat.
Dalam Model Grossman disebutkan akses kepada fasilitas kesehatan dan perilaku hidup masyarakat memengaruhi tingkat kesehatan masyarakat. Dalam hal ini, akses layanan kesehatan menjadi salah satu input yang ikut menentukan tingkat kesehatan masyarakat. Adanya tambahan biaya dalam mengakses kesehatan menjadi hal yang memberatkan, khususnya bagi kelas menengah.
Masyarakat kelas menengah bisa dikatakan tidak tergolong dalam kelompok PBI tetapi juga tidak dikatakan kelompok yang mampu secara finansial sepenuhnya. Kelompok PBI sebanyak 92.4 juta jiwa (46,13% dari peserta BPJS Kesehatan) akan tetap merasakan gratis pelayanan kesehatan yang mengacu pada Indonesia Case Base Groups (InaCBG’s). Sebanyak 107,88 juta jiwa peserta JKN non-PBI akan dikenakan urun biaya ketika mengakses layanan kesehatan.
Berdasarkan data Agustus 2018, total peserta BPJSKesehatan 200,28 juta jiwa. Jika sebanyak 64,72 juta jiwa peserta non-PBI (32,31% dari total peserta BPJS Kesehatan) dikategorikan kelas menengah, kelompok ini yang akan paling merasakan dampaknya. Disisi lain, 21,54% (43,15 juta jiwa) dari total peserta bisa dikatakan kelompok atas (kaya) dan tidak akan bermasalah dengan urun biaya atau mereka memiliki asuransi lain.
Dengan estimasi tersebut, masyarakat kelas menengah yang akan lebih rasional dalam mengakses layanan kesehatan. Sayangnya, tidak ada data sebaran masyarakat yang akan terdampak urun biaya yang dipublikasi oleh BPJS Kesehatan. Dampak dari kebijakan urun biaya akan terasa cukup signifikan dalam menekan keinginan masyarakat mengakses layanan kesehatan.
Pada saat yang sama, pemangkasan manfaat pelayanan pun kian membatasi peserta mendapatkan pelayanan kesehatan.
Berbeda dengan urun biaya, pengenaan selisih biaya merupakan rencana yang bisa dikatakan relatif lebih tepat. Namun, penerapannya perlu hati-hati. Pasalnya, selisih biaya ini harus ditanggung masyarakat dari tarif yang ditetapkan Ina-CBG’s pada kelas peserta terdaftar jika peserta tersebut naik kelas pelayanan.
Namun jika kebijakan ini diterapkan, apakah akan diberlakukan juga apabila rumah sakit rujukan sudah penuh pada kelas perawatan dimana peserta BPJS Kesehatan terdaftar, tetap dikenakan selisih biaya jika terpaksa harus naik kelas pelayanan?
Pasien di kota besar tidak terlalu bermasalah, karena pilihan rumah sakit cukup banyak. Lain halnya di perdesaan atau yang layanan kesehatannya terbatas. Pasien, khususnya non-PBI, tak punya pilihan karena harus naik kelas atau tidak mendapatkan penanganan kesehatan di kelasnya terdaftar. Hal ini perlu diantisipasi Kemenkes
Urun biaya dan selisih biaya merupakan konsekuensi dari keengganan pemerintah dalam menaikkan tarif iuran peserta BPJS Kesehatan. Disisi lain pemerintah masih menahan alternatif pembiayaan dari pajak rokok dan atau mungkin dana abadi kesehatan. Dana abadi kesehatan dapat diperoleh dari APBN, pajak rokok, kendaraan, dan pajak makanan minuman yang ikut menyumbang penyakit tertentu pada masyarakat.
Sekalipun peserta JKN terpenuhi 100% belum menjamin bahwa defisit BPJS Kesehatan akan hilang atau mengecil.
Selain itu penekanan defisit yang terjadi masih bersifat eksternal, diluar dari struktur organisasi yang ada. Jika defisit ini adalah masalah bersama, seharusnya peningkatan efisiensi kegiatan operasional pun perlu dilakukan.
Beban operasional BPJS Kesehatan 2017 tercatat Rp3,8 triliun. Perlu dilakukan efisiensi agar beban bisa dikurangi hingga beberapa puluh persen, sehingga bisa membantu menekan defisit.
BPJS Kesehatan juga memiliki investasi lain. Pada dasarnya desain ini untuk mengantisipasi adanya dana iuran besar yang mengendap. Saat defisit melanda apakah tidak sebaiknya kegiatan investasi ditarik keluar dari BPJS Kesehatan.
Pertama, menyebabkan bengkaknya biaya operasional, karena harus membayar unit investasi dalam struktur lembaga di BPJS Kesehatan. Kedua, terjadi conflict of interest dalam alokasi anggaran untuk pembayaran kewajiban atau beban investasi. Beban investasi tercatat sebesar Rp28,21 miliar. Adapun pendapatan bruto investasi Rp150,91 miliar pada 2017. Tentu nilai pendapatan investasi tersebut yang terdiri dari bunga deposito, obligasi, dan keuntungan pelepasan investasi merupakan akumulasi alokasi beban investasi pada tahun-tahun sebelumnya.
Tingginya angka kunjungan masyarakat pada faskes tidak semata-mata terjadi dugaan penyalahgunaan layanan kesehatan tetapi bisa jadi imbas dari rendahnya kesadaran masyarakat dalam menjaga kesehatan. Ini pun kritik bagi program Kemenkes seperti program promotif dan preventif.
Ketidakefektivan program tersebut menyebabkan kesadaran masyarakat untuk menjaga kesehatan terbilang cukup rendah. Alhasil, ketika ada layanan kesehatan yang terjangkau, tak heran masyarakat berbondong-bondong mengakses faskes.
Perbaikan perlu dilakukan secara menyeluruh. Permasalahan BPJS Kesehatan melibatkan banyak pemangku kepentingan, mulai dari pemerintah pusat dan daerah, masyarakat, faskes, dan BPJS Kesehatan sendiri. Penyelesaian masalah defisit BPJS Kesehatan harus dilakukan secara bersama-sama dengan keterlibatan aktif semua elemen.
Penerapan urun biaya dan selisih biaya bisa menjadi solusi jangka pendek apabila dilakukan hati-hati. Namun, saya yakin tidak akan bisa menutup defisit BPJS Kesehatan sepenuhnya.

Minggu, 25 November 2018

Dana Abadi Kesehatan, Mungkinkah?

Oleh Felix Wisnu Handoyo
Bisnis Indonesia, Jumat, November 23 2018
Pendidikan dan kesehatan merupakan dua elemen penting dalam peningkatan kualitas hidup masyarakat. Keduanya harus berjalan beriringan yang pada akhirnya diharapkan mampu meningkatkan produktivitas masyarakat.
Pembangunan manusia pun menjadi isu diangkat dalam era pemerintahan saat ini. Kita telah kenal dengan program BOS, KIP, dan program beasiswa nasional, seperti LPDP dan Beasiswa Ristek Dikti. Namun, sayangnya penanganan di bidang kesehatan belum semasif dan sebaik di bidang pendidikan kendati program di bidang kesehatan seperti Kartu Indonesia Sehat (KIS), program keluarga harapan (PKH), dan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sudah dilaksanakan pula.
Penanganan gizi bagi keluarga miskin telah dilakukan dengan memberikan program PKH. Disisi lain, penanganan masalah pembiayaan kesehatan dilakukan oleh BPJS-Kesehatan dalam kerangka JKN. Sayangnya, program JKN masih menimbulkan banyak kendala dalam penanganannya. Pertama, ketidakmerataan fasilitas dan tenaga kesehatan di setiap daerah sehingga menimbulkan kesenjangan.
Kedua, akses dan jarak tempuh menuju fasilitas kesehatan (faskes) cukup jauh dan mahal, terutama di wilayah terpencil. Ketiga, defisitnya anggaran pembiayaan kesehatan yang dijalankan oleh BPJS-Kesehatan sesuai amanat undang-undang.
Layaknya di bidang pendidikan oleh Kemendikbud, Kemenkes pun harus proaktif dan massif terutama dalam pemerataan kualitas layanan kesehatan masyarakat. Jangkauan sarana dan prasarana medis menjadi hal yang mutlak dalam peningkatan layanan kesehatan.
Tentunya, sebaran dan kualitas tenaga medis baik perawat, bidan, dan dokter harus mumpuni pula. Permasalahan ini tampaknya yang masih jauh dari harapan. Akibatnya, keberadaan JKN belum mampu dinikmati masyarakat, khususnya di daerah terpencil.
Sebelum masalah defisit dana BPJS-Kesehatan muncul kepermukaan, banyak masyarakat yang mengeluhkan bahwa iuran yang dibayar tidak menjamin mereka mendapatkan penangangan kesehatan yang baik ketika mereka sakit.
Wajar, karena ketersediaan fasilitas faskes yang mumpuni umumnya hanya di kota-kota besar. Di lain pihak, ini bukan menjadi kewenangan BPJS-Kesehatan dalam meningkatkan kualitas sarana dan prasarana kesehatan.
Kemudian, kondisi ini diperparah dengan permasalahan defisitnya BPJS-Kesehatan hingga pembatasan manfaat kesehatan yang sebelumnya ada menjadi kurang atau ditiadakan.
Program kesehatan nasional pada dasarnya mampu meningkatkan akses masyarakat ke layanan kesehatan. Jumlah klaim yang melebihi jumlah iuran merupakan salah satu indikator kepercayaan diri masyarakat dalam mengakses faskes. Jumlah peserta per 1 November dari data BPJS-Kesehatan sebanyak 205 juta jiwa, didominasi peserta PBI, baik PBI APBN (92,3 juta) maupun APBD (28,3 juta). Angka ini masih jauh dari target yang mencapai 100% penduduk Indonesia sebagai peserta BPJS-Kesehatan.
Jumlah peserta program yang besar dan unsur subsidi silang (gotong royong) dalam pembiayaan kesehatan menjadi hal penting keberadaan program ini. Maka, pemerintah melalui Kemenkes perlu mengevaluasi seluruh program kesehatan nasional. Hal ini dapat dimulai dari program di Kemenkes seperti pencegahan penyakit, program pembangunan dan peningkatan sarana dan prasarana rumah sakit hingga ketersediaan tenaga medis berkualitas.
Selain itu, Kemenkes bersama Kemenkeu perlu melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan asuransi kesehatan nasional dalam bingkai JKN. Layaknya gayung bersambut, ketersediaan fasilitas dan tenaga medis pun harus didukung sistem pembiayaan yang baik melalui BPJS-Kesehatan. Sayangnya, hal ini masih jauh dari harapan, seolah keberadaan layanan kesehatan terpisah dengan sistem pembiayaannya. Padahal keduanya harus saling melengkapi. Kecenderungan saat ini, faskes lebih mumpuni di kota besar daripada di daerah atau kota kecil. Akibatnya terjadi kesenjangan layanan kesehatan.
Di lain pihak, pembiayaan kesehatan dalam bingkai JKN pun sangat dibutuhkan masyarakat penerima bantuan iuran (PBI) maupun non-penerima bantuan iuran (non-PBI). Sinergi pada kedua kementerian sangat diperlukan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas layanan kesehatan bagi masyarakat.
Hal yang tidak kalah penting, petunjuk penanganan dan pembiayaan pasien yang tercantum dalam Indonesian Case Base Groups (Ina-CBG’s) perlu dievaluasi mendalam pula. Keluhan terhadap skema pembiayaan kesehatan menjadi salah satu persoalan yang belum terselesaikan dengan baik. Ketentuan mengenai obat dan alat medis yang digunakan menuai keluhan dari banyak pasien.
Harus ada standar penanganan pasien yang tepat agar tidak terjadi overtreatment atau undertreatment. Evaluasi daftar pembiayaan kesehatan ini pun harus melibatkan berbagai pihak, mulai dari pemerintah, tenaga medis, dan perencanaan keuangan di bidang kesehatan.
Dana Abadi Kesehatan
Kunci keberlangsungan BPJS-Kesehatan ialah ketersediaan anggaran dalam pembiayaan kesehatan. Permasalahan defisit BPJS-Kesehatan yang tercatat pada arus kas rencana kerja anggaran tahunan (RKAT) 2018 mencapai Rp16,5 triliun. Hal ini menjadi ancaman bagi keberlangsungan program tersebut.
Belum lagi kondisi ini akan menciptakan keenganan rumah sakit dalam menangani pasien BPJS-Kesehatan. Apabila kondisi ini berlangsung lama, akan menimbulkan ketidakpercayaan terhadap BPJS-Kesehatan sebagai lembaga pembiayaan kesehatan nasional.
Demi meningkatkan kapasitas dan kapabilitas pembiayaan BPJS-Kesehatan, pemerintah perlu melakukan beberapa langkah strategis. Pertama, menciptakan lembaga pengelola dana kesehatan atau menyatukan lembaga pengelola dana kesehatan dan pendidikan.
Pengelolaan dana ini harus terpisah dengan BPJS-Kesehatan untuk menghindari konflik kepentingan antara lembaga pengelola dana dan lembaga pembiayaan. Sumber dana pengelolaan ini pun terpisah dari iuran yang diterima BPJS-Kesehatan.
Namun, lembaga pengelola dana bisa sebagai buffer fiskal pemerintah ketika ancaman defisit kian meningkat.
Kedua, menetapkan sumber dana yang dikelola, bisa diambil dari anggaran kesehatan di Kemenkes (APBN) seperti LPDP dari dana pendidikan, pajak karbon (pabrik, kendaraan bermotor, tambang, dan perkebunan sawit), pajak rokok, dan pajak minuman kemasan. Penerapan dan penetapan pajak tersebut harus diatur secara khusus, karena tergantung dari kontribusi produk maupun aktivitas bisnis tersebut dalam memengaruhi kesehatan masyarakat.
Pajak yang dikumpulkan harus menjadi modal untuk berinvestasi pada aset-aset yang low-risk dan untuk menghasilkan optimal return, berbeda dengan konsep pemerintah sebelumnya yang menjadikan pajak sebagai unsur pembiayaan BPJS-Kesehatan.
Ketiga, mengatur skema pembiayaan kepada BPJS-Kesehatan dari hasil pengembangan dana abadi kesehatan setelah dikurangi biaya operasional. Skema ini pun perlu dipikirkan agar BPJS-Kesehatan dan lembaga pengelola dana kesehatan dapat bersinergi.
Apabila langkah ini dapat dilakukan, pemerintah akan memiliki buffer fiskal atas permasalahan defisit pembiayaan kesehatan. Selain itu, keberlangsungan dan kemanfaatan dari pembiayaan oleh BPJS-Kesehatan memungkinkan diperluas dimasa depan demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Link to read this article: 

Senin, 07 Mei 2018

Kerja Sama Pemerintah dan Swasta dalam Pembangunan Infrastruktur Pelabuhan

Authors: Bahtiar Rifai, Latif Adam, Firmansyah, dan Felix Wisnu Handoyo

Editor: Felix Wisnu Handoyo dan Bahtiar Rifai 

Salah satu gebrakan yang dilakukan kepemimpinan Presiden Jokowi ialah mengarahkan Indonesia untuk menjadi poros maritim dunia. Artinya, Indonesia akan menjadi pusat aktivitas ekonomi global yang bersinggungan dengan kemaritiman, mulai dari sumber daya alam hingga transportasi laut. Pembenahan dan pembangunan infrastruktur kelautan sudah dimulai, seperti proyek tol laut dan pelabuhan.


Namun, pembangunan semacam itu membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Di saat yang bersamaan, efisiensi dan perampingan APBN juga terus dilakukan. Oleh karena itu, pemerintah harus mencari skema pendanaan alternatif agar proyek yang ada bisa berjalan dengan baik. Model kerja sama pemerintah dan swasta (KPS) dinilai menjadi solusi yang baik.


Melalui buku ini, pembaca akan memahami aspek kelembagaan, mekanisme, peluang, dan permasalahan serta resiko yang dihadapi dalam pelaksanaan KPS. Buku ini juga menawarkan rekomendasi bagi perbaikan kebijakan KPS, sekaligus acuan untuk penelitian-penelitian selanjutnya.


Please click this link to get more information about this book: http://u.lipi.go.id/1525532426