Rabu, 17 April 2013

Dynamic Urban Life in Jakarta


Since 2007 in the past, and I’m back to Jakarta for first time after completed my study in Yogyakarta, jakarta still likes common metropolitan with its social problem. Crime, poverty, traffic jam, chaotic, hardness, and other always be face Jakarta city. With almost 10 million people in 2010, Jakarta likes timing Boom, we only wait blow up at the time. People always ready anytime to prepare safely physics and mind to fight with the hardness jakarta’s condition. The condition drive jakarta’s people be hard before bet hitting back from others. “Kill to kill, destroyed to destroyed , and greediness” like drawing jakarta’s life. Who’s stronger and easy adopted will survive? I guess its right designation our city (Jakarta).
The big question is why the people interestly coming and fighting in Jakarta? What’s wrong with Indonesia development? In the remains of Jakarta glory, i think Jakarta is not already comfortable city for live. What’s the people only pursue money and glory of modernity from jakarta offer? Actually, may be jakarta not comfotable city, but its still be better than others city in Indonesia. i think it’s make sence short reason for new comers and incumbent still lliving in Jakarta. And, it will be one of the reason for people still stay in Jakarta.
When looks jakarta and Indonesia’s problem, we can devide in two part, first, about Planning Economic Development in Indonesia and second, life style in modern people’s live in city offer satisfaction of the world (changing from convensional to modern life style). First, Planning Economic Development Indonesia still in partial development, at the end create inequality from island by island, province by province, and district by district. The policy maker has been always focused for high growth, and usually besides equality of development. It make sense and there is in Masterplan Development for Acceleration and Expansion Indonesia for 2011-2025, we know budget share for infrastructure still much in Java corridors with IDR 844 Trillion, the biggest besides other corridors. Despite of budget share for infrastructure development still there in other corridors, but portion for every corridor especially for east Indonesia too little, by considering of high inflation. By masterplan, Government just pursue high growth, create job opportunity, and welfare. But government has forgot inequality between island, province, and district. At the end, transmigration from village to urban wil absolutely be happened. It’s been problem for Jakarta, as the biggest city with high activity in Indonesia.
Every years population in Jakarta increase around 1,4 % or 135.000 people, it’s mixed from natality, and urbanisation. Amount of people migration to jakarta around 40.000 people in 2012. it’s realize from bad planning development in Indonesia. Goverment just think about growth and forgotten of inequality. Phenomenon of Jakarta people show scary about population density, in high Jakarta’s density population there’s in Johar Baru (sub district) with 48.952 people per square kilometres. And average population density in Jakarta around 14.476 people per square kilometres. By data Statistics 2010, population density Jakarta consist of four district such as Central Jakarta with 18.675 people, West Jakarta with 14.562 people, East Jakarta with 14.290 people, and North Jakarta with 11.218 people. It’s showed strategic issues about population density fearness and will be big social problem for Jakarta.
Second, modern lifestyle in Jakarta has reasoned for people move to Jakarta. Many people from other province or district moved to jakarta cause lifestyle offer and many entertainment place for vacation. Likes metropolitan’s city, Jakarta offer glamor of lifestyle signed from many buliding shopping mall, entertainment place likes Ancol, and others. And, modern lifestyle offer new education likes center of technology, high speed internet access, and offer high quality of modern lifestyle. Jakarta likes high level life in Indonesia, not strange people every years are moved to jakarta to get everything. It almost absolutely they’ve never gotten from the their origin province or district.
Magnetic Jakarta will be gone, when the city can’t  accommodate the people living standard. It will be come if migration and population growth in Jakarta can’t be restrained by Government’s province. The dynamic urban is happened in biggest city in Indonesia. Now, the signed is seen already, end of jakarta glory. But, in bad condition Jakarta still be better than others city in Indonesia. It’s interesting dynamics life from metropolist. Jakarta is still interesting destinastion city to find money and anything what you want to. The city offer everything starts from pleasure, working chance, carrier, competition, and others. So, fighting spirit and good mental will be prepared if you want to stay in Jakarta. Everybody has to be familiar with hard life in the city likes traffic jam, polution, chaotic, inequality, and other social problem. It’s dynamic urban people with all pleasure and painful life in The Biggest City in Indonesia. Do you still dare live in Jakarta or it’s challange yourself to fight in Jakarta?              

Senin, 08 April 2013

Pemerataan Pembangunan hanya Angan-angan


Oleh: Felix Wisnu Handoyo

Permasalahan pembangunan ekonomi di Indonesia tampaknya tidak akan segera berakhir. Kesenjangan desa kota, pembangunan terpusat, dan kesenjangan wilayah barat dan timur tampaknya masih akan dirasakan oleh masyarakat Indonesia. Program pembangunan yang dijalankan pemerintah tidak memberikan indikasi bagi pemerataan pembangunan ekonomi.
MP3EI yang seyogyanya menjadi garda depan pembangunan ekonomi Indonesia tampaknya belum akan mampu mengatasi masalah kesenjangan. Kondisi sebaliknya terjadi, kesenjangan pembangunan akan semakin lebar. Data MP3EI menyebutkan bahwa nilai investasi infrastruktur hingga 2014 sebesar Rp.1812 triliun untuk semua koridor ekonomi. Dari nilai tersebut, wilayah timur Indonesia (Bali-NT, Sulawesi, dan Papua dan Kep. Maluku) hanya mendapat porsi sebesar Rp.349 triliun (19,26%). Sedangkan, wilayah barat Indonesia (Sumatera, Jawa,dan Kalimantan) memiliki porsi yang jauh lebih besar dengan nilai investasi Rp.1463 Trilliun (80,73%), dari nilai tersebut share terbesar di Jawa sekitar Rp.844 Triliun (57,68%), diikuti Sumatera sebesar Rp.414 Triliun (28,29%), dan Kalimantan sebesar Rp.205 Triliun (14,01%).  Total investasi (kegiatan ekonomi dan infrastruktur)Pemerintah perlu kembali memahami esensi dari dasar pembangunan. Sebab jika tidak upaya percepatan dan perluasan hanya akan menimbulkan kesenjangan pembangunan ekonomi semakin lebar.
Berdasarkan data MP3EI tersebut, ada dua hal yang perlu menjadi perhatian pemerintah dalam pelaksanaan percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia. Pertama, pembagian investasi untuk infrastruktur lebih mengedepankan pembangunan di wilayah barat, terutama di Jawa. Nilai investasi sektor infrastruktur sebesar Rp.1812 Triliun seharusnya mengedepankan pembangunan wilayah timur. Artinya, pembangunan jalan, jembatan, bandara, dan pelabuhan seharusnya dimasifkan di Sulawesi, Bali-NT, dan Papua. Namun, kenyataannya share dititikberatkan pada Jawa dengan nilai mencapai Rp.844 Triliun atau sebesar 48,6 % dari total seluruh investasi infrastruktur.
Apabila pola demikian yang terjadi kita tidak dapat mengatakan percepatan dan perluasan pembangunan, melainkan pemusatan dan peningkatan kesenjangan pembangunan. Pasalnya, wilayah Indonesia Timur yang membutuhkan pembangunan infrastruktur yang massif mendapatkan porsi yang lebih sedikit. Bayangkan, dengan nilai investasi yang relative kecil dan inflasi yang tinggi berapa banyak infrastruktur yang dapat dibangun. Kondisi ini menggambarkan pembangunan infrastruktur di wilayah timur akan tetap minim dan tertinggal.
Kedua, paradigma sentra produksi men-derive pembangunan infrastruktur, tampaknya perlu dimodifikasi menjadi pembangunan infrastruktur yang akan men-derive sentra produksi. Paradigma tersebut tidak dapat direalisasikan untuk Indonesia sebelah timur, sebab tanpa adanya infrastruktur akan meningkatkan  cost of transaction. Maka, hanya investor besar saja yang akan masuk karena mereka mampu untuk membangun jalan, pelabuhan, dan bandara sendiri untuk menekan biaya tersebut. Sedangkan, untuk investasi yang relatif kecil, pembangunan infrastruktur akan menyebabkan pembengkakan biaya produksi yang akan menurunkan daya saing produk.
Pembangunan infrastruktur yang massif memang perlu menjadi perhatian penuh pemerintah. Sebab, infrastruktur merupakan tulang punggung perekonomian sebuah negara. Jika kita perhatikan tidak ada negara maju yang memiliki infrastruktur yang buruk. Oleh sebab itu, mimpi menjadi negara besar secara ekonomi di tahun 2025 perlu diawali dengan tekat pembangunan infrastruktur disegala aspek dan wilayah dengan tetap memerhatikan pemerataan pembangunannya.

Hambatan Pembangunan
                Memang bukan perkara mudah menciptakan pemerataan pembangunan ekonomi nasional. Berbagai program pemerintah telah diciptakan nyata-nyatanya belum mampu menyelesaikan permasalahan pembangunan ekonomi di negeri ini. Bayang-bayang sentralisasi pembangunan masih menaungi pembuat kebijakan di negeri. Tak hayal pembangunan hanya terpusat suatu wilayah tanpa adanya upaya menciptakan kutub pertumbuhan ekonomi yang baru. Hal  ini terbukti dalam pembangunan infrastruktur yang masih mengedepankan pembangunan di Jawa. Sedangkan, pembangunan di wilayah lainnya terbilang relatif kecil. Tampaknya pemerintah masih akan terus menggenjot pembangunan di Jawa, mengingat besarnya jumlah penduduk. Padahal fenomena social yang terjadi merupakan dampak turunan dari tidak meratanya pembangunan di segala aspek dan wilayah.
                Sedikitnya ada dua hambatan yang menyebabkan pemerataan pembangunan sulit diwujudkan. Pertama, minimnya dana pembangunan ekonomi, khususnya untuk pembangunan infrastruktur. Belanja pemerintah setiap tahunnya masih didominasi oleh gaji pegawai. Sedikitnya, belanja untuk pegawai mencapai 65,5%  atau sebesar Rp.594,69 triliun dari pagu anggaran yang mencapai Rp.908,24 triliun di tahun 2011. Hal ini jelas menghambat pemerintah untuk meningkatkan pembangunan dan perbaikan infrastruktur.
                Kedua, adanya paradigma buruk terkait pembangunan ekonomi. Paradigma pembangunan hanya untuk mengejar pertumbuhan ekonomi, bukan fundamental ekonomi yang menyebabkan sentralisasi pembangunan tetap dipertahankan. Jika kita perhatikan pembangunan infrastruktur di Jawa berbanding terbalik dengan wilayah timur Indonesia. Kesiapan Jawa untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi memang sudah tidak diragukan. Namun, bukan berarti pembangunan infrastruktur di wilayah timur tidak penting, justru hal sebaliknya yang seharusnya dilakukan. Paradigma pembangunan yang mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi dalam jangka pendek menyebabkan realisasi pemerataan pembangunan yang lambat, bahkan cenderung diam di tempat.
                Pemerataan pembangunan ekonomi memang harus dimulai dari pemerataan pembangunan infrastruktur. Jika infrastruktur memadai maka kegiatan ekonomi akan berjalan dengan sendirinya, hal ini akan meningkatkan akses masyarakat untuk berusaha dan berupaya. Maka, pemerataan pembangunan menjadi hal yang penting, tetapi kapan hal tersebut akan terealisasi?


Kamis, 04 April 2013

Patterns of Indonesia Trade Specialization with Japan and China

Monographs Series 2011: Trade Policy Dimension

This research aims to analyze Indonesia’s comparative advantage to China and Japan. The scope of the research covers the years between 1994 and 2009, which can be divided into several periods: 1994-1997, 1998-2001, 2002-2005, and 2006-2009. The data are gathered from trade statistics, publ ished by United Nations, including International Trade Statistics Yearbook (ITSY) and United Nations Commodity Trade Stat istics Database (UN-COMTRADE). This research employs 3 digits Standard International Trade Classif ication (SITC) Revision 3. The findings demonstrate that between 1994 and 2009, Indonesia’s exports were mainly in products that can be categorized as crude materials, inedible, except fuels. This research also concludes that Indonesia’s comparative advantage to China and Japan is st ill in raw materials and natural resources.

to find more about this click this link:
http://cwts.ugm.ac.id/2012/04/pola-spesialisasi-perdagangan-indonesia-dengan-jepang-dan-cina/?lang=en

read full paper in Bahasa Indonesia, please click this link:
http://wtochairs.org/sites/default/files/Monograph-Series-2011_Trade-Policy-Dimension_0.pdf


Researchers Team
Launrensius William
Felix Wisnu Handoyo
Resha Yudistira
Dwi Andi R.

MP3EI atau Stimulus Fiskal…..?

Oleh: Felix Wisnu Handoyo


Predikat Investment Grade yang diberikan oleh Fitch Ratings kepada Indonesia membawa angin segar bagi perekonomian Indonesia. Runtuhnya perekonomian global, seolah-olah menjadi berkah untuk meningkatkan investasi riil di negeri ini, kecuali dalam urusan bahan bakar minyak. Secara makro Indonesia dapat dikatakan sebagai negara memiliki ekonomi yang kuat ditengah terpuruknya ekonomi Eropa dan Amerika Serikat. Pertumbuhan ekonomi terjaga tetap tinggi pada kisaran 6,5% pada tahun lalu. Sedangkan, inflasi tercatat januari hingga desember 2011 sebesar 3,79 % (BPS). Di tahun ini Bank Indonesia memperkirakan inflasi hingga Desember 4,6 %, dengan pertumbuhan ekonomi 6,3%.  Lalu, bagaimana Indonesia memanfaatkan rating investment grade untuk mendorong investasi masuk?
Perlu kita akui memang prestasi Indonesia menembus investment grade tidak terlepas dari runtuhnya ekonomi Eropa dan Amerika Serikat. Artinya, Indonesia bisa dikatakan terbaik diantara negara-negara yang terpuruk. Momentum ini perlu dimanfaatkan oleh bangsa ini untuk memperkuat perekonomian nasional, baik secara fundamental maupun pertumbuhan ekonomi. Artinya, Indonesia akan dipandang sebagai negara yang memiliki daya pikat bagi investor asing yang ingin berinvestasi. Maka, kesiapan pemerintah untuk mendorong investasi asing ke dalam negeri sangat dibutuhkan. Berbagai instrumen kebijakan telah dilakukan untuk menyambut masuknya investasi asing. Lalu, Apakah instrumen kebijakan tersebut mampu mendongkrak investasi untuk menciptakan kekuatan fundamental ekonomi negeri ini?
Setidaknya ada 2 hal besar yang telah dilakukan pemerintah guna menyambut masuknya investasi asing. Pertama, instumen kebijakan fiskal telah dikeluarkan menteri keuangan melalui pengurangan pajak, pengurangan birokrasi, dan kemudahan dalam perizinan. Kedua, pembentukan MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia) sebagai dokumen perencanaan pembangunan dengan target capaian pendapatan perkapita USD 14.250 – 15.500 penduduk Indonesia hingga 2025. Kedua hal tersebut akan berjalan dengan baik apabila dilakukan secara simultan dan tidak saling menggantikan satu dengan lainnya. Implementasi dari kedua kebijakan tersebut pun perlu disinergikan agar tercipta iklim investasi yang baik. Namun, implementasi dilapangan tidak semudah yang dibayangkan, ada kecederungan dominasi MP3EI sebagai program “mercusuar” pemerintahan saat ini dibandingkan implementasi kebijakan fiskal yang menjadi domain menteri keuangan.
Minimnya Efektivitas kebijakan
                 Instrumen kebijakan fiskal yang dikeluarkan menteri keuangan tampaknya belum menunjukkan kinerja yang baik.  Permenkeu No.130/PMK.011/2011, tentang pemberian fasilitas pembebasan atau penggunaan pajak penghasilan badan  masih minim peminat. Syarat yang dikemukakan dalam PMK (Peraturan Menteri Keuangan) tersebut masih dianggap berat oleh pelaku usaha. Akibatnya, pelaku usaha mengalami kesulitan untuk memenuhi syarat untuk mendapatkan tax holiday. Kondisi ini jelas tidak mampu memberikan insentif bagi peningkatan investasi di Indonesia.
Untuk PMK No.254/PMK.04/2011 tentang Pembebasan bea masuk atas impor barang dan bahan untuk diolah, dirakit, atau dipasang pada barang lain dengan tujuan untuk diekspor, memberikan dampak negatif bagi industri dalam negeri. Industri dalam negeri akan kebanjiran produk mentah atau setengah jadi. Situasi ini jelas merugikan pelaku usaha, khususnya yang bergerak dibidang bahan metah dan setengah jadi. Produk yang mereka hasilkan akan berkompetisi dengan produk impor yang cederung memiliki harga yang relative lebih murah. PMK ini pun agak bertentangan dengan, PMK No.67/PMK.011/2010 tentang penetapan barang ekspor yang dikenakan bea keluar dan tarif bea keluar, barang yang tertuang ialah rotan, kulit, kayu, kelapa sawit, crude palm oil (CPO), dan produk turunan, serta biji kakao.
Pada PMK No.67/PMK.011/2010 pemerintah melalui menteri keuangan menginginkan pembatasan ekspor pada bahan mentah untuk sektor tertentu. Namun, pada PMK No.254/PMK.04/2011 pemerintah membuka selebar-lebarnya impor bahan mentah, bahan dan setengah jadi untuk dirakit dengan tujuan ekspor. Disatu sisi pemerintah ingin meningkatkan nilai tambah dan meningkatkan pendapatan melalui tarif dan bea keluar, disisi lain petani, pedagang, dan produsen barang mentah harus disibukkan dengan masukkan barang impor yang cenderung menurunkan harga. Alhasil, kondisi ini menimbulkan kontradiksi kebijakan yang merugikan pelaku usaha di dalam negeri. Kebijakan ini memiliki kecederungan men-discourage produk turunan ekspor yang tidak mendapat insentif melainkan disinsentif dengan pemberlakukan bea keluar dan tarif bea keluar.
Sedangkan, program “mercusuar” pemerintah mengenai MP3EI pun masih diragukan tingkat efektivitas-nya. Upaya percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia (P3EI) belum dirasakan oleh pelaku usaha dan masyarakat. Keberhasilan yang capai saat ini merupakan proyek yang telah berjalan beberapa tahun yang lalu. Sedangkan, untuk proyek baru belum ada dukungan konkret pemerintah untuk membantu pelaksanaannya. Sebagian besar proyek yang akan di launching  pada tahun ini pun belum sepenuhnya siap, bahkan masih ada beberapa proyek masih dalam proses tender.
Dalam dokumen MP3EI cita-cita pemerintah untuk merealisasikan percepatan dan perluasaan pembangunan dengan rencana investasi mencapai Rp.4000 triliun tampaknya masih sulit tercapai. Mengusung motto business as not usual tampaknya masih dalam tataran rencana dan minim implementasi. Jika kita lihat hingga saat ini belum ada laporan pemerintah mengenai pelaksanaan proyek untuk masing-masing koridor. Pemerintah baru mengumumkan 84 proyek infrastruktur akan launching tahun ini dengan nilai proyek Rp.539 trilliun. Jika pada tahun ini hanya Rp.539 triliun dan tahun lalu sekitar Rp.200 triliun, setidaknya pemerintah harus mendorong investasi dalam dua tahun (hingga 2014) mencapai Rp.3261 trilliun. Hal ini akan bisa tercapai jika kenaikan realisasi investasi sebesar seratus persen pertahun. Kondisi yang hampir mustahil dilakukan mengingat kinerja pemerintah yang masih minim, ditambah rendahnya dukungan fasilitas, kinerja, dan keseriusan pemerintah dalam menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi di lapangan.
MP3EI as “mercusuar program” for economic development still can’t push realization investment by domestic and foreign investors.  Inaction in taking a government still dominate the program MP3EI. Though still limited attention to implementation government MP3EI sufficient the condition seems to forget fiscal policies considered more important to give incentives or a disincentive to entrepreneurs. Investment grade received Indonesian rating agencies from Fitch seems not  give many benefits. By looking at this phenomenon which we could score better MP3EI or fiscal policy are or combination to Indonesia in attracting investment.
MP3EI yang dapat dikatakan sebagai program “mercusuar” tampaknya belum mampu mendorong realisasi investasi asing dan dalam negeri di Indonesia. Kelambanan pemerintah dalam mengambil sikap masih mendominasi pelaksanaan program MP3EI. Meskipun masih minim implementasi perhatian pemerintah terhadap MP3EI cukup besar, kondisi seakan melupakan kebijakan fiskal yang dianggap lebih penting untuk memberikan insentif atau disinsentif terhadap pelaku usaha dilapangan. Investment Grade yang diterima Indonesia oleh lembaga rating dunia tampaknya belum akan memberikan banyak manfaat. Dengan melihat fenomena ini, kita bisa menilai mana yang lebih baik, MP3EI atau Kebijakan Fiskal atau kombinasi diantaranya, dalam menarik investasi ke Indonesia. 

in english please click this link: http://ekonomi.kompasiana.com/moneter/2013/04/05/mp3ei-or-fiscal-stimulus-548447.html

Senin, 04 Februari 2013

Evaluasi Dampak Pelaksanaan Program Bantuan Operasional Sekolah: Analisis Data Survei Aspek Kehidupan Rumah Tangga Indonesia (Sakerti) 2000 dan 2007

Oleh: Felix Wisnu Handoyo

Penelitian ini membahas mengenai evaluasi dampak pelaksanaan program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dengan menggunakan data Survei Aspek Kehidupan Rumah Tangga Indonesia (Sakerti) gelombang ketiga pada 2000 dan keempat pada 2007. Studi ini dilakukan untuk melihat dampak BOS terhadap pendidikan dasar di Indonesia. Hasil studi menunjukkan bahwa program BOS efektif dalam meningkatkan partisipasi siswa sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP) dalam ujian nasional. Namun, dampak dalam bentuk peningkatan nilai ujian hanya kentara dalam ujian nasional SMP. Studi ini juga menemukan bahwa dana BOS lebih efektif didistribusikan melalui sekolah daripada langsung kepada siswa, baik jenjang SD maupun SMP.

Untuk melihat artikel secara keseluruhan dapat di download pada link di bawah (diterbitkan dalam Buletin Smeru edisi No.33 Desember 2012, pada tulisan ke-3): https://www.unicef.org/indonesia/News33.pdf