Kamis, 18 November 2010

"Jebakan" Korupsi Belenggu Birokrasi

Dimuat Harian Seputar Indonesia
Wednesday, 17 November 2010

SAAT ini, pemberantasan korupsi menjadi agenda terpenting bangsa Indonesia. Salah satu inisiator Reformasi,M Amien Rais,pernah mengatakan bahwa upaya pemberantasan korupsi harus menjadi tema sentral reformasi Indonesia, selain demokrasi dan otonomi daerah.

Tak ayal, upaya untuk menjerat koruptor dengan berbagai cara pun dilakukan.Kerasnya gaung pemberantasan korupsi tidak terlepas dari dampak negatifnya bagi masyarakat. Salah satunya, distorsi perekonomian bangsa sehingga menurunkan daya saing pada tingkat global. Maka, tidaklah aneh bila korupsi dianggap sebagai common enemy bangsa Indonesia yang harus diberantas secara menyeluruh dan tanpa pandang bulu.

Kasus korupsi yang kian merajalela menyebabkan distorsi perekonomian bangsa,yang membuat sebuah bangsa tidak kompetitif di persaingan global.Menyadari hal tersebut,bangsa ini tidak tinggal diam,sejak empat dekade silam pemberantasan korupsi di Indonesia telah dilakukan. Namun, hasil yang didapat belum menggembirakan. Alhasil,korupsi terus merasuk dan meracuni setiap nadi kehidupan masyarakat Indonesia.

Tidaklah mencengangkan berbagai kasus korupsi yang mencederai institusi hukum di negeri ini semakin marak.Bahkan,sudah tidak mengenal malu dan mulai blak-blakan. Lalu, apa yang salah dari sistem dan mekanisme pemberantasan korupsi di Indonesia? Merujuk kasus korupsi pajak dan keluarnya Gayus dari tahanan Mako Brimob,hal ini menunjukkan tindakan suap-menyuap dalam lingkup pemerintahan semakin tidak pandang bulu.

Dari aksi tersebut, tidak kurang sembilan aparat kepolisian ditetapkan sebagai tersangka. Terlepas dari ada kepentingan pribadi Gayus,munculnya suap tersebut menunjukkan pelanggaran yang dilakukan Kepala Rutan Mako Brimob. Pertama,penyalahgunaan wewenang dan jabatan.Kedua,sebagai pembuat keputusan final untuk menerima atau tidaknya suap yang diberikan. Ketiga, melibatkan bawahannya yang langsung dibawah komandonya, sehingga delapan aparat lainnya pun terlibat.

Inilah yang penulis maksud dengan “jebakan korupsi”, jika atasan sudah setuju maka bawahan hanya menurut.Ketiga hal di atas pula yang sering terjadi dalam birokrasi di Indonesia.Artinya,keputusan menerima atau tidaknya suap ditentukan oleh pimpinan. Selanjutnya, dibagikan kepada bawahannya sebagai “eksekutor”, dengan membagi hasil yang diterima-nya. Lalu, aksi suap-menyuap pun berjalan dengan mulus tanpa kendala yang berarti.

Tentunya seorang anak buah tidak akan menolak apabila perintah tersebut datang langsung dari atasannya, apalagi dirinya dijanjikan akan mendapatkan bagian.Situasi inilah yang kerap terjadi dalam kasus korupsi di Indonesia.Penyalahgunaan wewenang menjadi pangkal mula terjadinya korupsi,sehingga dengan cepat menyebar ke seluruh lapisan dan golongan dalam instansi pemerintahan.

Selain itu, tersangka yang terlibat kasus korupsi, kemudian melakukan hal yang sama demi mendapatkan kebebasannya dengan cara melakukan suap seperti yang dilakukan Gayus. Inilah saat-saat di mana penegakan hukum di Indonesia benar-benar diuji.Akankah kasus ini akan dibongkar sampai ke akar-akarnya dan menyeret pihak-pihal lain atau malah instansi penegak hukum ikut “bermain mata”dalam kasus ini? Hanya waktu yang bisa menjawab.(*)

Felix Wisnu Handoyo
Mahasiswa Fakultas Ekonomika dan Bisnis
Universitas Gadjah Mada

Selasa, 16 November 2010

Ada Hikmah di Tengah Bencana

Dimuathttp://kampus.okezone.com/read/2010/11/16/367/393827/ada-hikmah-di-tengah-bencana
Selasa, 16 November 2010

PRAY
for Indonesia
diungkapkan oleh berbagai pihak, untuk menunjukkan kepeduliannya atas berbagai bencana yang terjadi. Banjir bandang di Wasior, Tsunami di Mentawai, dan meletusnya Gunung Merapi merupakan rentetan bencana yang membuat Ibu Pertiwi kian berduka. Namun, reaksi kemanusiaan yang luar biasa sungguh mewarnai negeri ini. Kendati sedang bersedih, kebersamaan dan kecintaan sebagai suatu bangsa ditunjukkan oleh seluruh masyarakat Indonesia. Dengan berbagai cara dan bentuk yang mampu diberikan. Mulai dari bantuan dana, logistik, transportasi hingga menjadi relawan di tempat-tempat bencana.

Keterlibatan seluruh lapisan masyarakat untuk tanggap bencana sungguh luar biasa. Membuat upaya penanganan bencana pun tampak tidak menemui kendala yang berarti. Sikap kooperatif masyarakat, sigapnya tim relawan, pemerintah, tim SAR serta instansi lainnya semakin memudahkan evakuasi. Tak ayal, korban jiwa yang berjatuhan pun dapat ditekan seminimal mungkin, kendati korban jiwa masih terus berjatuhan hingga saat ini. Kepedulian yang besar inilah sebagai bentuk jati bangsa di dalam ke-Bhinekaannya.

Budaya gotong royong yang ditanamkan oleh para pendiri bangsa kini semakin tampak. Bencana telah membuat Indonesia kian bersatu padu dalam merah putih. Sikap kepedulian yang luar biasa sungguh tampak dalam setiap bencana terjadi. Hal ini pula yang dirasakan penulis di Yogyakarta, gempa vulkanik dari Gunung Merapi memperlihatkan kepedulian dan kecintaan yang besar kepada sesama. Sifat bencana yang “maraton”, semakin mestimulus masyarakat untuk bersatu padu. Berbagai lapisan masyarakat berbondong-bondong untuk terlibat dalam penanggulangan bencana. Dari pemuda, pedagang, pengusaha, pemda, hingga pengamen pun ikut memberikan sumbangsihnya bagi korban.

Sungguh pemandangan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Gotong royong kini tidak hanya berada dalam tataran konsep saja, melainkan sudah memasuki tataran teknis. Budaya bangsa yang dahulu sempat diragukan keberadaannya, kini muncul dalam bentuk kepedulian yang tidak pernah terbayangkan. Sikap sigap dan tanggap darurat ditunjukkan tanpa pandang bulu, berbagai upaya pun dilakukan. Koordinasi efektif dan efisien terjalin dengan baik, meski tidak pernah direncanakan. Semua bergerak atas nama kemanusiaan dan hati nurani.

Meski bencana tidak pernah diharapkan kedatangannya, banyak pelajaran yang dapat dipetik dari peristiwa ini. Kesempatan besar untuk berbagi kasih dan kepedulian kepada sesama sebagai ajang untuk menunjukkan jadi diri bangsa. Hal serupa pun dilakukan oleh pemuda Indonesia, di mana mahasiswa ikut terlibat dalam kemelut bencana yang entah kapan berakhirnya. Tenaga relawan pun disiapkan dalam beberapa jam kerja, guna mengantisipasi berbagai kemungkinan yang terjadi. Sifat letusan merapi yang “marathon” memang bukan merupakan bencana yang biasa terjadi. Untuk itu, dibutuhkan strategi khusus dalam penanganannya.

Balutan kasih dan kepedulian besar merupakan hikmah di tengah berbagai bencana yang terjadi. Keterlibatan luar biasa dari berbagai lapisan masyarakat sungguh menunjukkan baluran satu tubuh dalam NKRI. Dukungan pun mengalir dengan berbagai bentuk sesuai dengan kemampuan dan keikhlasan masing-masing individu. Semoga hikmah ini terus terjaga dan terpelihara dalam kehidupan masyarakat selanjutnya. Sekaligus menjadi indentitas bangsa yang satu padu dalam Bhinneka Tunggal Ika.

Felix Wisnu Handoyo
Mahasiswa Ilmu Ekonomi
Fakultas Ekonomika dan Bisnis
Universitas Gadjah Mada (UGM)

Selasa, 02 November 2010

Disfungsi Konsep dan Realisasi

Dimuat Harian Seputar Indonesia
Tuesday, 02 November 2010

BANJIR yang terjadi di beberapa kota besar di Indonesia menunjukkan terjadi disfungsi konsep dan realisasi dalam pembangunan ekonomi. Mengejar pertumbuhan dan keuntungan yang besar tanpa memperhitungkan kondisi lingkungan, itu merupakan kekeliruan yang besar.

Pasalnya,kondisi tersebut hanya akan dirasakan dalam jangka pendek, tetapi sangat merugikan pada jangka panjang. Miskinnya konsep dan realisasi menjadi penyebab pembangunan ekonomi dilakukan seakan tanpa perencanaan. Padahal pembangunan ekonomi seharusnya dilakukan dengan memperhitungkan unsur yang berkesinambungan. Tak ayal kota besar seperti Jakarta,Bandung,dan Semarang merupakan kota besar langganan banjir.Kondisi terparah terjadi di Jakarta.

Banjir yang terjadi dalam beberapa hari ini saja semakin membuat semrawut wajah Ibu Kota.Kemacetan kian menggila, padahal kota ini merupakan pusat dari perekonomian Indonesia.Alhasil, banyak warga Jakarta yang mengeluh kepada pemerintah daerah. Sejak awal pembentukannya Jakarta memang merupakan wilayah yang rawan dengan genangan air.Kondisi geografisnya yang relatif sama atau lebih rendah dari air laut menyebabkan kota ini menjadi langganan banjir.

Tak ayal tercatat dua banjir besar yang menyelimuti Jakarta sejak 2002–2007.Pertama, pada 1 Februari 2002 sungai Ciliwung meluap dan menggenangi wilayah Jakarta. Hampir seluruh wilayah Jakarta lumpuh akibat genangan air. Kedua, di tahun 2007, banjir yang menggenangi Jakarta kian meluas, tercatat hampir 70% wilayah Jakarta tergenang. Kerugian materiil pun tidak bisa dihindarkan,mencapai 8,8 triliun rupiah. Catatan kelam Jakarta terhadap banjir seakan hanya angin lalu saja bagi pemprov.

Bahkan,hal yang sangat memilukan dan bikin miris adalah pernyataan Gubernur DKI Jakarta bahwa banjir yang terjadi murni disebabkan curah hujan.Padahal, jika diperhatikan perencanaan, kota yang buruk dan disfungsinya implementasi konsep menjadi penyebab utamanya. Lihat saja, wilayah-wilayah resapan di Jakarta terus tergerus oleh pembangunan pusat perbelanjaan, perumahan, dan gedung perkantoran. Selain itu, minimnya pembenahan dan perbaikan drainase seakan tidak pernah diperhatikan.

Hal inilah yang sesungguhnya menjadi penyebab utama banjir di Jakarta.Disfungsi konsep dan realisasi dari pemda yang sebenarnya harus dipertanggungjawabkan.Tidaklah bijak bila menyalahkan curah hujan, sebab apakah mungkin manusia mengatur tingkat curah hujan? Bukankah seharusnya pembangunan ekonomilah yang harus menyesuaikan kondisi alam yang ada? Perlu adanya pembenahan konsep pembangunan Jakarta dan keseriusan pemprov,sebab jika terlambat,akan semakin sulit banjir diatasi.

Bukan tidak mungkin pula, ancaman Ibu Kota akan tenggelam dalam beberapa tahun ke depan bisa menjadi mimpi buruk. Untuk itu,tugas besar Pemprov Jakarta dan kota besar lainnya adalah mengatur kembali konsep pembangunan ekonomi dengan tetap memperhatikan keseimbangan alam dan lingkungan sekitar. Dengan begitu, keuntungan tidak hanya diperoleh dalam jangka pendek saja,melainkan kelestarian untuk jangka panjang.(*)

Felix Wisnu Handoyo
Mahasiswa Ilmu Ekonomi
Fakultas Ekonomika dan
Bisnis, UGM Yogyakarta

Selasa, 28 September 2010

Perlu Kutub Pertumbuhan Baru

Dimuat Harian Seputar Indonesia
Senin, 27 September 2010

RENDAHNYA perhatian pemerintah dalam menciptakan kutub pertumbuhan baru menyebabkan sentralisasi perekonomian di segelintir kota besar di Indonesia.Bisa dibayangkan,hampir 80% peredaran uang terjadi di Jakarta.


Hal ini menandakan bahwa Jakarta yang juga ibu kota negara menjadi indikator yang paling berpengaruh bagi perekonomian Indonesia. Namun,akankah situasi tersebut menjadi pertanda baik bagi perkembangan kota besar dan dapat memberikan kenyamanan bagi para penghuninya? Mengacu pada Hukum Gossen I yang berbunyi: “Setiap individu apabila memenuhi kebutuhan secara terus-menerus,maka tingkat kepuasannya mulamula meningkat.Namun bila sampai pada titik tertentu,tingkat kepuasan akan semakin turun.”Hal itu pulalah analogi yang dapat menggambarkan kota-kota besar yang menjadi kutub pertumbuhan.

Dengan semakin padatnya penduduk, kemacetan yang semakin parah, dan semakin merajalelanya berbagai masalah sosial, maka kepuasan akan hidup dan menetap di kota akan menurun. Berbagai gejala sosial mewarnai kehidupan di kota besar seperti kemacetan,permukiman kumuh,tuna wisma,kejahatan,dan kemiskinan seakan menjadi bagian yang tak terpisahkan.Keadaan tersebut jelas tidak menjadikan kota besar sebagai tempat tinggal yang nyaman.Lalu, solusi apa yang perlu dilakukan untuk meredam permasalahan sosial di kota besar? Untuk itu,dibutuhkan kota pertumbuhan baru yang dapat menyerap tenaga kerja dan meningkatkan produktivitas masyarakat. Selain itu, dapat meredam urbanisasi yang cenderung mengacu ke Ibu Kota.

Jika dibangun,kutub pertumbuhan baru ini dapat meredam berbagai dampak permasalahan sosial di atas. Apabila pemerintah membangun kota-kota baru sebagai pusat pertumbuhan baru,manfaatnya akan sangat terasa.Pertama,akan terjadinya pemerataan pembangunan dan perekonomian karena konsentrasi perekonomian dapat disebar secara merata.Kendati sekarang merupakan era otonomi daerah,sentralisasi pembangunan masih tampak. Kedua,menciptakan kenyamanan dan efisiensi bagi perkembangan serta kemajuan bangsa.Kutub pertumbuhan baru mampu menciptakan kenyamanan tersebut karena masyarakat akan merasa aman dan nyaman dalam menjalankan segala aktivitasnya.

Ketiga, kutub pertumbuhan mampu mengurangi beban sosial dari kota-kota besar seperti Jakarta. Dengan adanya kutub pertumbuhan baru, akan terbentuk magnet baru yang membuat konsentrasi di kota besar terbagi.Kota pertumbuhan baru itu dapat menjadi andalan bagi pemerataan kesejahteraan masyarakat Indonesia.(*)

Felix Wisnu Handoyo
Mahasiswa Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada


Rabu, 22 September 2010

Liberalisasi yang Kebablasan


Dimuat Harian Seputar Indonesia
Monday, 20 Sept 2010


BEBAS dan kebebasan, itulah kata yang dapat terucap semenjak reformasi digulirkan dua belas tahun silam. Ketidaksiapan menerima kebebasan seakan menjadi bumerang bagi bangsa Indonesia.

Berbagai masalah sosial muncul, bahkan dengan motif yang sangat bervariasi.Hal inilah yang tertuang dalam perjalanan panjang pemudik yang hendak menuju kampung halaman. Memang tidak bisa dimungkiri bahwa tradisi mudik ketika lebaran (Idul Fitri) telah membudaya bagi bangsa ini. Ribuan hingga jutaan jiwa pulang dari kota rantauan menuju kampung halaman tercinta.

Kendati tradisi pulang kampung telah berjalan bertahun-tahun, permasalahan moda transportasi umum yang memadai belum terealiasasi.Gejala sosial ini kian tidak tertangani seiring reformasi terus bergulir. Dahulu untuk memiliki kendaraan pribadi seperti sepeda motor masih dinilai sebagai barang mewah,sekarang kendaraan jenis ini kian menjamur.Sistem pembelian dengan kredit,dan tidak adanya kuota produksi sepeda motor,menyebabkan kendaraan jenis ini kian menjamur di negeri ini.

Alhasil, dominasi sepeda motor di kota-kota besar seperti Jakarta, dan Bandung kian terasa.Keadaan inilah buah dari liberalisasi yang dinilai kebablasan,sejak reformasi bergulir. Situasi inipun tertuang dalam tradisi tahunan, yaitu mudik menyambut perayaan Idul Fitri.Dimana pemudik lebih banyak memiliki pulang ke kampung halamannya menggunakan sepeda motor. Dan, alasan murah, efisien,dan menyenangkan terucap dari setiap pemudik tersebut.

Alhasil, berdasarkan data yang diterbitkan Posko Harian Tingkat Nasional Angkutan Lebaran Terpadu 2010 Kemhub menyebutkan selama sembilan hari mulai dari H-7 sampai hari kedua Lebaran kemarin, jumlah sepeda motor yang melintasi enam pos perhitungan sebanyak 660.957 sepeda motor.Angka ini secara rata-rata meningkat 5,8% dibanding tahun lalu.

Sedangkan,data Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) menyebutkan bahwa pada lebaran 2009 setidaknya ada 800 korban jiwa akibat lakalantas (kecelakaan lalu lintas),dari 4.500 kasus kecelakaan. Kondisi ini akan terus terjadi setiap tahunnya, apabila tidak adanya intervensi dari pemerintah.Terutama upaya pemerintah untuk meredam dan membatasi penjualan sepeda motor yang kian meningkat setiap tahunnya.

Selain itu,kemudahan untuk memiliki sepeda motor ditengarai menjadi penyebab menjamurnya sepeda motor di negeri ini. Untuk meredam fenomena tersebut, intervensi pemerintah dalam mengatur produksi, distribusi, dan penggunaan sepeda motor sangat dibutuhkan. Pasalnya, jika hal ini tidak dilakukan maka dimasa mendatang akan semakin banyak pemudik yang mudik dengan sepeda motor.

Disamping itu, pemerintah harus terus berupaya mengembangkan pelayanan transportasi umum, dan infrastruktur yang memadai dengan biaya yang terjangkau masyarakat. Dengan terobosan ini diharapkan pemudik dengan sepeda motor dapat ditekan intensitasnya.Semoga ke depannya situasi demikian dapat diredam,dan moda transportasi umum kian menjadi pilihan bagi pemudik yang ingin pulang menuju kampung halaman.(*)

Felix Wisnu Handoyo
Mahasiswa Ilmu Ekonomi
Fakultas Ekonomika dan Bisnis, UGM