Kamis, 26 November 2020

LIPI: Pinjaman Australia, Hambatan Penyerapan Anggaran, dan Social Security Number

 Peneliti Ekonomi LIPI menilai pinjaman Australia merupakan bentuk kepercayaan terhadap Indonesia dalam mengelola utang. Di sisi lain, pemerintah membutuhkan peraturan yang lebih fleksibel dalam hal penyerapan anggaran.

Pandemi COVID-19 memberikan beban berat bagi perekonomian seluruh negara di dunia, tidak terkecuali Indonesia. Namun sejumlah negara saling membantu menangani dampak dari pandemi, seperti yang dilakukan pemerintah Australia yang baru saja memberikan pinjaman sebesar 1,5 miliar dolar Australia atau sekitar Rp 15,4 triliun kepada Indonesia. Dana pinjaman ini diberikan untuk program respons aktif dan penanganan COVID-19 yang dipimpin oleh Bank Pembangunan Asia (ADB).

Menteri Keuangan Australia Josh Frydenberg menyatakan bahwa pinjaman tersebut mencerminkan masa-masa krisis kesehatan yang harus dihadapi bersama, sehingga pemulihan dapat terjadi di kedua negara.

Peneliti Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Felix Wisnu Handoyo melihat pinjaman yang diberikan Australia merupakan bukti bahwa pemerintah negeri kanguru itu memiliki kepercayaan terhadap Indonesia yang mempunyai track record baik dalam mengelola utang. Di sisi lain, market Indonesia adalah yang terbesar di Asia Tenggara, sehingga sangat memungkinkan hubungan Indonesia dan Australia ke depannya akan semakin erat.

baca selengkapnya dilink ini: LIPI: Pinjaman Australia

Jumat, 07 Agustus 2020

Anomali Kebijakan di Bidang Kesehatan Saat Pandemi

Publikasi di Kompas.com 

Rabu, 5 Agustus 2020

Editor : Erlangga Djumena

Oleh: Felix Wisnu Handoyo 

KENAIKAN iuran BPJS Kesehatan pada bulan Juli 2020 yang tertuang dalam Perpres No.64 Tahun 2020 merupakan pengulangan dari kebijakan pemerintah yang dibatalkan oleh Mahkamah Agung.

Meski, kenaikan iuran BPJS Kesehatan ini lebih rendah Rp 10.000 dibandingkan rencana awal yang tertuang pada Perpres No 75 Tahun 2019, untuk kelas 1 dan kelas 2, kecuali kelas 3 memiliki kenaikan iuran yang sama.

Di tengah pandemi Covid-19 kenaikan iuran BPJS Kesehatan memiliki makna beban ganda, karena tidak sedikit masyarakat yang kehilangan atau menurunnya pendapatan. Bahkan, tidak sedikit yang mengalami pemutusan hubungan kerja.

Namun demikian, pemerintah menyiapkan buffer bagi peserta pekerja bukan penerima upah (PBPU) dan bukan pekerja (BP) dengan memberikan subsidi sebesar Rp 16.500 hingga akhir 2020 dan Rp 7.000 pada tahun 2021, apabila teregistrasi pada peserta kelas 3.

Skema kenaikan iuran di tahun 2020, pada dasarnya lebih membebani peserta yang menjadi peserta BPJS Kesehatan untuk kelas 1 dan 2. Artinya, masyarakat kelas menengah ke atas yang dianggap memiliki kemampuan finansial yang lebih baik.

Meskipun demikian, lamanya periode pandemi pun tidak luput menghantam masyarakat kelas menengah terutama menengah bawah. Akibatnya, kenaikan iuran BPJS Kesehatan menuai sentiment negatif dari masyarakat secara keseluruhan, karena hampir semua level masyarakat ikut terdampak akibat pandemi ini.

Kendati kenaikan iuran BPJS-Kesehatan merupakan keniscayaan, tetapi kenaikan iuran saat ini bukan momentum yang tepat.

Artikel Lengkapnya dapat dibaca pada link di bawah ini:

https://money.kompas.com/read/2020/08/05/214000826/anomali-kebijakan-di-bidang-kesehatan-saat-pandemi?page=all

Rabu, 15 April 2020

Melawan Invasi Covid-19

Publikasi di Bisnis Indonesia
Sabtu, 11 April 2020


Senin, 05 Agustus 2019

Mengukur Efektivitas Asuransi Kesehatan Nasional

Bisnis Indonesia
Kamis, 1 Agustus 2019

Bisnis.com, JAKARTA - Hal yang sedikit menggelitik dari pelaksanaan UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), kita baru berada dalam level penanganan masalah finansial yang melanda BPJS Kesehatan. Namun, masih jauh dalam mendiskusikan atau mempermasalahan status kesehatan masyarakat, akan meningkat atau tidak dalam pelaksanaannya.
Defisit finansial yang menimpa BPJS Kesehatan telah menjadi isu hangat belakangan ini dan berbagai upaya telah dilakukan untuk menekan membengkaknya tagihan pelayanan kesehatan badan tersebut. Data terakhir menyebutkan bahwa BPJS Kesehatan mengalami defisit hingga Rp16,5 triliun dan memungkinkan membengkak di tahun ini dan selanjutnya.
Pembicaraan berlanjut soal intervensi mengenai pengurangan manfaat bagi peserta BPJS Kesehatan hingga pelaksanaan urun biaya dan selisih biaya. Namun, pertanyaan mendasar dari implementasi UU SJSN tidak pernah mendapatkan tempat utama, yaitu apakah tingkat kesehatan masyarakat meningkat dengan program ini?
Dalam UU No. 24 Tahun 2011 pasal 3 menegaskan bahwa BPJS bertujuan untuk mewujudkan terselenggaranya pemberian jaminan demi terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap peserta dan/atau anggota keluarganya. Kebutuhan akan jaminan kesehatan dan ketenagakerjaan menjadi fokus utama dibentuknya BPJS.
Namun, permasalahan mendasar (defisit anggaran) dari pelaksanaan BPJS seakan menjadi batu sandungan bagi keberlangsungan program ini. Kendati skema mitigasi apabila terjadi defisit keuangan mengenai BPJS, khususnya BPJS Kesehatan telah tertuang dalam undang-undang, implementasi di lapangan belum sesuai harapan. Pengurangan manfaat kesehatan, urun biaya dan selisih biaya mewarnai peliknya tantangan bagi badan tersebut saat ini.
Penerjemahan atas UU SJSN yang tidak menyeluruh membuat kita kian terjebak dalam permasalahan defisit, pengurangan manfaat dan urun serta selisih biaya. Hal utama mengenai pemenuhan kebutuhan dasar hidup malah kian luput dari perhatian, dalam hal ini kesehatan.
Berdasarkan hasil penelitian yang penulis lakukan dengan data Indonesian Family Life Survey (IFLS) 4 dan 5, menunjukkan bahwa asuransi kesehatan daerah, Jamsostek, Askes dan saat ini BPJS belum mampu meningkatkan status kesehatan masyarakat. Hasil penelitian yang dibagi dalam group treatment-control mengambil sampel sebanyak 12.740 observasi data panel.
Group treatment tercatat sebanyak 8.754 observasi dimana individu tidak memiliki asuransi pada IFLS4 dan memiliki asuransi pada IFLS5. Sebagai control sebanyak 3.716 observasi dengan ketentuan memiliki asuransi pada kedua periode penelitian.
Hasilnya cukup mengejutkan bahwa keberadaan asuransi yang dikelola pemerintah dan BUMN atas dasar penugasan pemerintah tidak memiliki dampak terhadap peningkatan status kesehatan (statistically insignificant) peserta asuransi tersebut. Penelitian ini menggunakan metode difference-in-differences (DiD) dengan data panel yang seimbang (balanced panel).
Namun, keberadaan program asuransi ini berhasil menurunkan tingkat pengeluaran kesehatan masyarakat meskipun ada pengeluaran tetap yaitu premi. Hal yang menjadi dasar dari pelaksanaan program ini seharusnya mampu meningkatkan tingkat kesehatan masyarakat. Sayangnya, hal yang penting ini malah luput dari pembahasan pemerintah dan BPJS. Justru kita disibukkan pada permasalahan finansial dan malah penurunan manfaat.
Jika berkaca pada hasil penelitian tersebut, seharusnya pemerintah dan BPJS Kesehatan bersama-sama mengambil langkah strategis, yaitu bagaimana asuransi kesehatan nasional ini berkontribusi dalam peningkatan kesehatan masyarakat.
Bukankah seharusnya kebijakan yang diterapkan harus mengacu pada sasaran tersebut, bukan hanya bagaimana menutup defisit keuangan dengan menurunkan manfaat dan urun serta selisih biaya. Ini pun menjadi evaluasi atas kebijakan penurunan manfaat kesehatan bagi masyarakat, karena dengan kondisi saat ini saja belum mampu mendorong tingkat kesehatan masyarakat. Apalagi jika manfaatnya dikurangi.
Kian jelas bahwa ketentuan Indonesia Case Base Groups (Ina-CBG’s) tidak disiapkan dengan baik. Pasalnya, belum pernah dipublikasikan, baik oleh pemerintah maupun BPJS Kesehatan mengenai tindakan medis kepada pasien, apakah sudah efektif atau belum. Apalagi untuk penanganan pasien yang memiliki penyakit cukup berat.
Padahal hal ini seharusnya dilakukan untuk menerapkan prosedur yang efektif dan tentunya menghindari tindakan medis berlebihan. Efektif artinya dengan tindakan medis tertentu dapat meningkatkan status kesehatan masyarakat. Evaluasi tersebut dapat dilakukan dengan cost-benefit-analysis (CBA), cost utility analysis (CUA), dan cost effectiveness analysis (CEA).
Namun, hal tersebut tampak belum menjadi basis dalam penerapan Ina-CBG’s. Padahal dengan analisis tersebut akan membantu suatu tindakan medis memiliki efektivitas terhadap pasien atau tidak berdasarkan quality adjusted life-years (QALY). QALY merupakan ukuran mengenai kualitas hidup seseorang pasca mendapatkan penanganan medis. Kendati ukuran ini terbilang subyektif tetapi dapat menjadi ukuran untuk menentukan pelayanan optimal bagi pasien.
Pemerintah dan BPJS Kesehatan seharusnya sudah tidak berkutat pada masalah defisit anggaran. Pasalnya, rekomendasi mengenai dana abadi kesehatan benar-benar bisa dilakukan dan diterapkan. Sudah waktunya membahas paket kesehatan dan dampaknya bagi peningkatan kesehatan masyarakat.
Perlu diingat bahwa rancangan pembangunan Indonesia ke depan akan berfokus pada pengembangan sumber daya manusia. Syarat utamanya ialah pendidikan dan kesehatan. Dalam hal ini BPJS Kesehatan memiliki peran yang sangat besar dalam menunjang pembangunan sumber daya manusia.
Untuk itu transformasi harus terus dilakukan agar negara ini bisa semakin maju.