Senin, 22 Februari 2010

Perlu Adanya Pemerataan Akses Pendidikan

Dimuat Harian Seputar Indonesia
Thursday, 18 February 2010

INDONESIA sebagai negara dengan penduduk mencapai 240 juta jiwa,terus mengupayakan pemerataan akses pendidikan. Kendati cita-cita tersebut telah tertuang dalam Batang Tubuh UUD 1945, diamanatkan pentingnya pendidikan bagi seluruh warga negara seperti tertuang dalam Pasal 28 B ayat (1) dan Pasal 31 Ayat (1).

Hingga saat ini cita-cita tersebut belum mampu diwujudkan Pemerintah Indonesia.Pasalnya, banyak kendala teknis yang sulit diwujudkan hingga saat ini. Kendala atau hambatan tersebut terdiri dari tiga permasalahan pokok. Pertama, keterbatasan tenaga pengajar dalam instansi pendidikan.

Hal itu tampak dari perbandingan jumlah guru dan anak didik yang tidak sepadan.Selain itu,kesejahteraan guru yang minim ikut mendorong enggannya seseorang menjadi tenaga pengajar. Kedua,anggaran pendidikan di Indonesia yang relatif terbilang masih rendah.Kendati sejak beberapa tahun yang lalu anggaran pendidikan telah dinaikkan hingga 20% dari APBN.

Namun demikian,angka tersebut masih terbilang kecil jika dibandingkan dengan negara-negara maju di dunia seperti Amerika Serikat,Jerman,Jepang,dan Singapura. Ketiga,rendahnya kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan bagi masa depan.Kelemahan semacam ini sering terjadi di negara berkembang.

Pasalnya,kebutuhan yang menjadi prioritas penduduk di negara berkembang adalah kebutuhan saat ini.Artinya,pendidikan yang sifatnya jangka panjang tidak akan tersentuh mengingat pendapatan per kapita yang terbilang kecil pula. Ketiga permasalahan tersebut harus segera di atasi mengingat persaingan di dunia global semakin ketat.Maka,mau tidak mau pemerataan akses pendidikan perlu dipercepat pelaksanaannya.

Pasalnya, hanya dengan pendidikan keunggulan kompetitif bangsa dapat tercapai.Apalagi perdagangan bebas mulai diberlakukan di wilayah ASEAN dengan China. Untuk bersaing di kancah dunia,pemerintah harus benar-benar memprioritaskan pendidikan. Sebab, hanya pendidikan yang mampu meningkatkan kapasitas masyarakat atas penguasaan teknologi dan ilmu pengetahuan.

Demi mewujudkan cita-cita tersebut ada beberapa langkah yang dapat ditempuh. Pertama, perlu ada upaya kaderisasi guna menciptakan tenaga pengajar yang profesional dan berkualitas. Hal ini perlu didukung dengan peningkatan kesejahteraan tenaga pengajar. Kedua, pendidikan harus diprioritaskan melalui peningkatan anggaran, guna membangun sarana dan prasarana penunjang.

Selain itu, pemberlakuan sekolah gratis dan program wajib belajar bisa mengupayakan pemerataan akses pendidikan di Tanah Air. Ketiga, perlu ada sosialisasi terhadap masyarakat akan pentingnya pendidikan. Upaya ini tidak lain untuk mendorong kepedulian masyarakat guna mendukung program-program pendidikan.

Dengan langkah-langkah demikian diharapkan segenap masyarakat Indonesia dapat merasakan nikmatnya pendidikan yang akan tertuang melalui penguasaan teknologi dan ilmu pengetahuan.Dan melalui pendidikanlah investasi sumber daya manusia dapat benar-benar efektif kendati sifatnya jangka panjang.(*)

Felix Wisnu Handoyo
Mahasiswa Ilmu Ekonomi
Fakultas Ekonomika dan Bisnis,
UGM, Yogyakarta

Senin, 01 Februari 2010

Perlu Adanya Pematangan Konsep dan Realisasinya

Dimuat Harian Seputar Indonesia
Jumat, 29 Januari 2010

Pemerintahan periode 2009-2010 telah memasuki seratus hari pertamanya, yang jatuh pada hari Kamis, 28 Januari 2010. Tidak banyak perubahan dan kemajuan setidaknya itu yang dirasakan masyarakat sejak pemerintahan yang baru terbentuk. Selain itu, belum tuntasnya penyelesaian kasus Century menjadi catatan penting bagi kinerja Kabinet Indonesia Bersatu II. Padahal masyarakat telah menaruh harapan besar bagi pemerintahan yang baru tersebut.

Kekecewaan mungkin akan mewarnai evaluasi seratus hari pemerintahan, pasalnya belum banyak manfaat yang dirasakan masyarakat. Terlebih penyelesaian skandal Century pun masih berlarut-larut dan kecenderungan menggangu jalannya pemerintahan. Yang perlu disadari saat ini ialah perlu dimatangkan kembali konsep dan realisasi dari program tersebut.

Kendati evaluasi seratus hari pemerintahan akan diwarnai dengan aksi demonstrasi besar-besaran, hal ini harus ditanggapi secara bijak oleh pemerintah. Situasi ini seharusnya menjadi pemicu bagi pemerintahan yang baru agar lebih bekerja keras dalam menjalankan programnya. Dan pematangan konsep untuk lima tahun mendatang harus menjadi prioritas utama, sebelum beranjak kearah realisasi.

Pada dasarnya seratus hari kerja pemerintahan merupakan waktu bagi presiden dan jajarannya untuk membangun sebuah blue print guna mencapai target yang telah ditetapkan selama periode kekuasaannya. Artinya, seratus hari kerja bukan merupakan ringkasan kerja dari periode pemerintahan selama berkuasa. Melainkan waktu yang diberikan bagi pemerintah untuk menyusun kerangka kerja dalam pencapaian hingga lima tahun mendatang.

Ditengah gejolak politik dalam negeri yang cenderung tidak stabil, evaluasi seratus kinerja pemerintahan perlu dipahami secara mendetail. Pasalnya, informasi yang setengah-setengah hanya akan menimbulkan gejolak dalam perpolitikan Indonesia. Perlu diakui memang Kabinet Indonesia Bersatu II belum dirasakan sepenuhnya oleh masyarakat. Namun, hal ini tidak lantas menjadi alasan bagi masyarakat meluapkan kekecewaan dengan aksi demonstrasi yang berlebihan. Justru masyarakat seharusnya mendukung pemerintahan yang berjalan agar lebih bekerja keras dalam menjalankan amanat dari konstitusi.

Bagi pemerintah evaluasi kinerja seratus hari, merupakan momentum untuk berbenah diri. Dimana pematangan konsep pemerintahan harus menjadi bagian penting. Hal ini menuntut pemerintah untuk bekerja extra keras agar konsep yang dibuat benar-benar realistis dan manfaatnya dapat dirasakan oleh masyarakat Indonesia. Hal ini menjadi dasar bagi pemerintah dalam membawa Indonesia yang lebih baik di masa mendatang.

Selain itu, evaluasi ini pun menjadi ajang introspeksi pemerintah dalam menjalankan konsepnya. Dimana keberhasilan dalam realiasasi program menjadi tolok ukurnya. Dalam hal ini pemerintah diminta untuk merealisasikan janji dan tujuan yang akan di capainya. Berdasarkan penjelasan di atas, tampak bahwa evaluasi seratus hari bukan ajang unjuk kekuatan, tetapi waktunya bagi masyarakat dan pemerintah untuk saling mendukung realisasi program demi peningkatan kesejahteraan masyarakat.



Felix Wisnu Handoyo
Mahasiswa Ilmu Ekonomi
Fakultas Ekonomika dan Bisnis, UGM
Yogyakarta