Rabu, 06 April 2016

Membangun dari Kawasan Perbatasan

Wilayah perbatasan Indonesia sering terlupakan dari pembangunan, baik ekonomi, sosial, budaya, dan manusia. Merasa terasing di negeri sendiri sering menjadi ungkapan hati masyarakat yang tinggal disana. Tidak jarang gemerlap pembangunan negeri sebelah lebih menyilaukan mata dan tidak jarang menawarkan masa depan yang lebih baik. Entah negeri ini lalai atau tidak nyata-nya kasus Sipadan dan Legitan menjadi contoh lepasnya masyarakat perbatasan ke negeri sebelah. Namun, tak tidak jarang kecintaan warga perbatasan kepada Nusantara membawa mereka bertahan dan Merah Putih tetap melekat di dada mereka.

Membangun perbatasan Indonesia perlu dilakukan secara menyeluruh dan tuntas. Membangun ekonomi, sosial, dan budaya tidak-lah cukup, justru membangun manusia-lah yang harus dilakukan terlebih dahulu. Membuka akses keterisolasian masyarakat terhadap pendidikan, komunikasi, dan informasi merupakan fondasi yang sering terlupakan. Keterbatasan infrastruktur yang memadai juga membawa mereka sulit untuk keluar dari keterisolasian. Selain itu, penyerobotan lahan (hutan adat) tidak jarang menyebabkan warga perbatasan kian terpinggirkan di negeri ini. Indonesia telah merayakan kemerdekaan yang ke-70 tahun seharusnya menjadi titik balik bagi pemerintah untuk lebih intens dan inklusif membangun perbatasan. Pembangunan yang diharapkan ialah yang berkelanjutan dan menyentuh akar permasalahan, bukan hanya berdasarkan proyek saja.

Refleksi di wilayah perbatasan
Selama dua belas hari, Tim Peneliti Ketenagalistrikan – LIPI melakukan penelitian lapangan di wilayah perbatasan di Kec. Jagoi Babang, Kab. Bengkayang, Kalimantan Barat (Agustus, 2015). Memang kehadiran kami di wilayah perbatasan lebih fokus pada pembangunan sektor ketenagalistrikan perdesaan dan perbatasan serta Asean Power Grid (APG). Namun, kami juga menemukan sisi lain dari masyarakat perbatasan, tidak hanya infrastruktur yang minim, tetapi pembangunan manusia, seperti akses dan fasilitas pendidikan, serta pelatihan pun masih jauh dari harapan. Alhasil, hanya sedikit dari warga yang bisa mengenyam pendidikan hingga sekolah menengah dan tinggi.

Pembangunan infrastruktur merupakan hal yang penting, namun jangan hanya fokus pada infrastrukur sebagai penopang kehidupan bangsa. Sesungguhya kualitas infrastruktur kehidupan sebuah bangsa semata-mata cermin kualitas manusianya (Anies Baswedan). Membangun perbatasan pun harus dilakukan dengan membangun manusianya melalui peningkatan askes pendidikan yang layak dan berkualitas.     

Pada dasarnya sudah banyak program pembangunan yang telah berdatangan dan tidak jarang yang silih berganti hilang tanpa bekas. Permasalahan keberlanjutan sering menjadi permasalahan fundamental dalam membangun wilayah perbatasan. Selain itu, pembangunan yang dilakukan masih bersifat fisik dan sektoral. Hal ini berimplikasi pada pergeseran perilaku masyarakat yang cenderung sensitif dengan program bantuan dari pemerintah. Sedikit demi sedikit meluruhkan semangat kebersamaan yang telah tumbuh dalam komunitas masyarakat perbatasan. Alhasil, malah mempersulit pembangunan di wilayah itu sendiri.

Meretas “Keterisolasian Modern”
Pemerintah sebaiknya melakukan evaluasi atas berbagai program perbatasan berbasis sektoral dan fisik saja. Ada ketiga hal yang perlu mendapat evaluasi terkait dengan program perbatasan, yaitu apakah membuka akses keterisolasian (pendidikan, informasi, aktivitas ekonomi, dan komunikasi), apakah program tersebut benar-benar dibutuhkan, dan apakah program tersebut berkelanjutan? Ketiga hal tersebut perlu menjadi permenungan program-program pembangunan di wilayah perbatasan. Keberhasilan pembangunan sesungguhnya meningkatkan kesejahteraan masyarakat bukan membuat mereka terangkap dalam lingkaran “keterisolasian modern”.

“Keterisolasian modern” merupakan jebakan atas variasi kehidupan modern yang tidak diikuti dengan kesiapan mental, pengetahuan, dan pemahaman yang mendalam. Akibatnya, masyarakat hanya terombang-ambing dalam pusaran kehidupan modern tanpa mengetahui tujuan yang sesungguhnya ingin dicapai. Dimana cita-cita sesungguhnya dari pembangunan ialah kesejahteran masyarakat tidak tercapai, melainkan hal sebaliknya terjadi “keterisolasian modern” yang mereka dapatkan.

“Keterisolasian modern” masyarakat perbatasan di Kab. Bengkayang tidak terlepas pula dari alih fungsi hutan menjadi ladang kelapa sawit. Akibatnya, akses jalan, jembatan, listrik, dan menara komunikasi kian menyuburkan “Keterisolasian modern”. Disisi lain, degradasi lingkungan menyebabkan pemenuhan  kebutuhan dasar seperti air bersih, udara bersih, dan pangan semakin sulit tercapai.

Untuk meretas “Keterisolasian Modern” harus dimulai dengan membangun manusia melalui pendidikan dan pelatihan. Membuka dan menciptakan akses pendidikan dan pelatihan seluas-luasnya tidak berarti hanya membangun fasilitas fisik saja. Namun, keberadaan tenaga pengajar yang berkualitas sangat diperlukan untuk mendukung hal tersebut. Maka, ada tiga hal yang perlu menjadi perhatian untuk merealisasikan pendidikan dan pelatihan yang komprehensif dan berkualitas, yaitu institusi, insentif, dan infrastruktur. Institusi pendidikan pusat dan daerah harus saling melengkapi untuk mendukung pembangunan manusia. Koordinasi mengenai aturan dan standar pelayanan pendidikan yang baik harus dilakukan, seperti jumlah sekolah, laboratorium, jumlah dan kualitas tenaga pengajar, dan kurikulum.

Kedua, pemberian insentif lebih bagi tenaga pengajar dan pendukung yang bertugas di wilayah terpencil dan perbatasan. Insentif sebagai bentuk penghargaan atas kerelaan dan kesediaan bertugas di wilayah tersebut. Bentuk insentif dapat berupa kesempatan belajar lebih tinggi, ketersediaan fasilitas yang baik dan menjunjang, dan pemberian gaji dan tunjangan yang lebih tinggi dari guru yang bekerja di wilayah perkotaan.

Ketiga, infastruktur penunjang lainnya, seperti akses jalan, jembatan, komunikasi dan informasi pun harus tersedia dalam mendukung pendidikan dan pelatihan yang berkualitas. Hal ini pun harus melibatkan kementerian dan dinas terkait dalam merealisasikan pembangunan tersebut. Kebersamaan dan koordinasi antar kementerian dan dinas harus terjalin dengan baik menjadi kunci keberhasilan membangun infrastruktur penunjang.  

Dengan demikian, keberhasilan membangun manusia berkualitas akan diikuti dengan pembangunan fisik dan ekonomi yang berkelanjutan. Tak pelak diusia 70 tahun Indonesia merdeka, pemerintah harus mulai mengubah paradigma pembangunan dengan berbasis pada peningkatan kualitas manusia. Hal inilah yang perlu menjadi refleksi karena pembangunan manusia di wilayah terpencil dan perbatasan belum menyeluruh dan inklusif. Padahal daerah terpencil dan perbatasan merupakan salah satu indikator keberhasilan suatu negara membangun manusia dan menjaga kedaulatannya.


Publikasi di Majalah Cakrawala TNI AL edisi 430 Tahun 2016