Jumat, 18 September 2015

Pertumbuhan Ekonomi yang Melambat, Peluang atau Tantangan?

Jika sebagian besar ekonom dan politisi menganggap bahwa perlambatan ekonomi sebagai sebuah hal yang buruk bagi perekonomian Indonesia saat ini, saya berpendapat berbeda. Perlambatan ekonomi saat ini merupakan “anugerah” untuk mengerem perputaran ekonomi (hot economy) nasional yang tampak baik, namun rapuh. Setidaknya ada beberapa hal yang menjadi Indikator, yaitu subsidi bahan bakar yang besar di era pemerintahaan terdahulu, impor kebutuhan pokok yang besar, dan belanja infrastruktur relatif kecil.

Subsidi bahan bakar minyak yang mencapai Rp350,3 T (19,26% dari APBN 2014) pada APBN 2014 dari total subsidi energi yang mencapai Rp.453,3 T (24,9% dari APBN 2014). Impor bahan bakar minyak yang mencapai 850 ribu barel perhari atau nilai impor mencapai Rp.120-150 Triliun perhari. Pada kuartal ke-3 2013, Presiden RI ke-6 SBY sempat mengatakan bahwa Indonesia mengalami krisis ekonomi yang ditandai defisit neraca perdagangan yang mencapai US$0,44 milyar per-Januari 2014 (Kemendag, Maret 2014), nilai kurs tengah per-18 Maret 2014 Rp.11.282/dolar dan sempat menyentuh titik tertinggi  Rp.12.270/dolar pada 20 Desember 2013, inflasi masih terbilang cukup tinggi 7,75% yoy per-Maret 2014 (Bank Indonesia, 18 Maret 2014) meski sudah mengalami tren penurunan dibandingkan akhir tahun 2013.

Pada tahun 2013 lalu, kelangkaan bahan pokok, seperti bawang merah, bawang putih, dan melonjaknya harga daging serta lonjakan harga menjelang puasa dan lebaran ketika itu kian menekan perekonomian nasional. Permintaan yang tinggi dan minimnya suplai menyebabkan harga barang merangkak naik. Opsi Kebijakan impor menjadi satu-satunya langkah strategis jangka pendek yang dilakukan untuk mengatasi situasi saat itu. Akibatnya,  defisit neraca perdagangan kian tidak terbendung lagi. Tren ditahun 2014 tidak jauh berbeda, defisit neraca perdagangan pun masih membayangi, harga minyak dunia masih tinggi (agustus 2014 USD100/barel) dan  subsidi BBM bertambah. Namun, pemerintah saat itu terbilang berhasil menahan laju inflasi, kendati pada saat itu APBN tertekan karena subsidi yang membengkak.

Besarnya lonjakan subsidi energi di tahun 2014 hingga Rp.453 T membuat ruang fiskal pemerintah untuk belanja infrastruktur terbilang cukup kecil hanya Rp. 264 T. Kondisi ini kontras dengan subsidi yang terus digelontorkan untuk dibakar dijalan (subsidi BBM). Akibatnya, pertambahan infrastruktur fisik tidak banyak mengalami peningkatan diperkirakan hanya 0,01 persen, sedangkan pertumbuhan kendaraan mencapai 12 persen pertahun (di Jakarta).
Saat ini, tren perlemahan perekonomian kian terasa, data BPS Triwulan pertama menunjukkan terjadi pertumbuhan ekonomi yang melambat, ekonomi nasional hanya tumbuh 4,7%. Pada triwulan kedua kembali mengalami penurunan hanya sebesar 4,67%. Hal ini  imbas dari pengurangan subsidi BBM, kurs terdepresiasi tajam, impor BBM yang sangat tinggi, impor sejumlah barang jadi dan industri cukup tinggi, dan penguatan ekonomi Amerika Serikat. Jika, sebagian besar ekonom dan politisi menyalahkan pemerintah saat ini, saya melihat sebaliknya. Hal ini merupakan peluang perbaikan fundamental ekonomi nasional dengan penambahan infrastruktur, perbaikan sektor pertanian, dan pembenahan sektor energi nasional (minyak, gas, dan batubara).

Peluang atau tantangan?
Perbedaan mendasar antara pemerintahan Jokowi dengan pemerintahan terdahulu, ialah saat ini subsidi BBM di pangkas habis hanya sebesar Rp.81 T, impor komoditas pertanian dibatasi (dihentikan), penguatan peran BUMN dalam pembangunan nasional, dan adanya prioritas pengembangan infrastruktur. Keempat hal ini yang menjadi pembeda kondisi perekonomian pada pemerintahan terdahulu dengan saat ini. Namun, tidak sedikit kritikan tajam mengalir kepada pemerintahan saat ini, hal ini jelas karena pertumbuhan ekonomi hanya sebesar (yoy) 4,7% dan (yoy) 4,67% pada kuartal pertama dan kedua 2015 dan depresiasi rupiah terhadap dolar Amerika hingga kurs tengah menyentuh Rp.14.463/USD (18/9, Bank Indonesia). Dan, ancaman inflasi kian tampak dengan naiknya sejumlah barang kebutuhan pokok, seperti daging dan beras. Secara politik kondisi ini akan sangat riskan dengan tekanan politik dan kritikan kepada pemerintah.  

Menanggapi kondisi ekonomi saat ini, saya ingin menyampaikan bahwa ekonomi Indonesia memang dalam tekanan, tetapi akan memiliki fundamental ekonomi yang kuat dimasa mendatang. Hal ini tidak terlepas dari serangkaian kebijakan berani pemerintah  diberbagai sektor ekonomi utama. Pemerintahan Jokowi berani dan tegas untuk mengurangi subsidi BBM sehingga premium dan solar akan mengikuti harga kekinian. Tindakan berani ini perlu diapresiasi kendati membawa konsekuensi yang cukup besar terhadap inflasi, hal ini terbukti di bulan Desember 2014 inflasi nasional tembus 2,46 persen. Kendati demikian, kebijakan ini perlu diapresiasi, karena langkah maju ini merupakan upaya menyelamatkan APBN dari tekanan subsidi BBM yang sangat besar, ketika itu masih berada di kisaran USS 83,7 per barel pada Oktober 2014. Hal yang sulit dilakukan pemerintahan SBY dalam menghadapi lonjakan harga minyak mentah dunia yang hingga menyentuh USS 117,79 per barel (Maret 2012), tertinggi dalam beberapa tahun terakhir.

Dengan kebijakan tersebut, APBN 2015 sudah tidak lagi tersandra oleh subsidi BBM yang mengambil porsi APBN hingga 24,9% di tahun 2014. Hal ini berdampak positif terhadap belanja modal dan infrastruktur pemerintah yang meningkat. Disisi lain, masyarakat diajak untuk lebih rasional dalam menggunakan kendaraan, harga BBM berbasis harga kekinian akan mengikuti pola kenaikan atau penurunan harga minyak dunia.

Kedua, kebijakan menekan bahkan menghentikan sejumlah impor untuk barang kebutuhan pokok, seperti beras, daging, dan produk pertanian lainnya. Data Kementerian Perdagangan, menunjukkan bahwa impor Indonesia periode bulan Januari, J pada 2015 untuk barang konsumsi dan bahan mentah pembantu mengalami penurunan jika dibandingkan pada periode bulan yang sama di tahun 2014, besar selisihnya masing-masing US$1,8 Milyar; US$18,6 Milyar; US$2,01 Milyar. Namun, untuk barang modal impor mengalami kenaikan hingga US$ 103 Juta pada bulan Maret 2015 jika dibandingan impor atas barang modal pada periode sama ditahun 2014. Surplus perdagangan secara keseluruhan dari periode Januari hingga Maret 2015 sebesar US$ 2,4 Milyar masih lebih besar, jika dibandingkan pada periode yang sama di 2014 yang mencatat surplus hanya sebesar US$1,06 Milyar. Kondisi ini menunjukkan bahwa neraca perdangan Indonesia hingga saat ini terpantau sangat baik, kendati harga sejumlah komoditas mengalami penurunan. Impor inflasi dari depresiasi nilai tukar tidak terlalu mengkhawatirkan karena kondisi neraca perdagangan masih dalam kondisi surplus.

Ketiga, pemerintah telah mendapatkan persetujuan DPR untuk melakukan penyertaan modal kepada 27 BUMN. Langkah ini tidak terlepas dari upaya penguatan usaha dari setiap badan usaha tersebut. Hal ini pun sejalan dengan langkah pemerintah dalam penguatan di sektor laut dan pertanian. Setidaknya ada enam BUMN yang bergerak dibidang konstruksi kapal dan bisnis pelabuhan yang mendapatkan kucuran dana pemerintah. Selain itu, tiga perusahaan besar dibidang konstruksi (pelabuhan, jalan, jembatan, dan lainnya) juga ikut mendapat kucuran dana pemerintah. Selain itu, BUMN yang bergerak di bidang pertanian pun mendapatkan dukungan anggaran pemerintah dalam upaya penguatan pertanian dan perkebunan.

Keempat, pemerintah pun telah menetapkan prioritas pengembangan infrastruktur disektor maritim, berupa pelabuhan, kapal, dan pengaturan lalu lintas laut. Hal ini sejalan tujuan pemerintah dalam mengembalikan kejayaan Indonesia sebagai negara yang memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada. Dimulai dari pengetatan kawasan laut perbatasan, perintah presiden melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam mengamankan sumber daya laut Indonesia telah dilaksanakan dengan baik. Saat ini, perlu pengembangan, perbaikan, dan penambahan pelabuhan serta kapal untuk mendukung program maritim nasional. Pengembangan infrastruktur laut pun dimaksudkan untuk menurunkan biaya logistik nasional yang terbilang cukup mahal mencapai 15% dari harga produk.

Berbagai kebijakan ekonomi nasional yang dilakukan pada pemerintahan saat ini, memang belum dirasakan manfaatnya. Justru berbagai kebijakan non-populer seperti menaikkan harga BBM, dan mengurangi atau menghentikan impor kebutuhan pokok, memicu inflasi nasional dan menekan daya beli masyarakat. Disisi lain, tekanan global bagi nilai tukar rupiah terhadap dolar kian memprihatinkan. Namun, perlu dipahami bahwa perubahan pola ekonomi yang diusung pemerintahan saat ini sangat riil dimasa mendatang. Tentu hasilnya belum dapat dirasakan saat ini. Proses revolusi mental sedang berlangsung, dimana budaya impor mulai di reduksi (khususnya untuk produk pertanian) dan masyarakat diajak untuk rasional dalam menggunakan BBM. Maka, pertumbuhan ekonomi yang melambat merupakan sebuah peluang untuk menata ekonomi Indonesia yang lebih kuat dimasa mendatang, yang berdaya saing, bernilai tambah, dan merata.

Felix Wisnu Handoyo
Peneliti Pusat Penelitian Ekonomi LIPI