Senin, 04 Mei 2009

Pencederaan Kepercayaan Mewarnai Pemilu

Hajatan masyarakat Indonesia lima tahunan ini tidak disambut antusias warga. Banyak warga yang lebih memilih diam di rumaha ketimbang mengikuti orasi terbuka parpol. Mereka sudah bosan dengan janji-jani parpol yang tidak akan pernah berbuah manis bagi kesejahteraan bersama. Dan itulah yang memarnai pemilu kali ini yang diawali dengan pemilihan caleg dan dilanjutkan pemilihan presiden.

Semarak pesta demokrasi lima tahunan sudah seharusnya menjadi ajang bagi perubahan bangsa untuk lebih baik lagi. Dimana suara rakyatlah yang menentukan pemimpin bangsa setidaknya untuk lima tahun mendatang. Namun, pesta demokrasi ini tidak mendapat sambutan yang antusias dari masyarakat. Terbukti dari sedikitnya simpatisan yang hadir dalam kampanye terbuka dan ingar- bingar pemilu yang semakin dekat hingga saat ini belum terasa.

Indikasi negatif dari kepedulian masyarakat dalam menentukan pemimpin bangsa mulai tampak Pilkada di sejumlah daerah. Dimana berdasarkan hasil perhitungan rata-rata angka golput (golongan putih) dalam setiap Pilkada mencapai 30%. Padahal kondisi di masing-masing daerah akan mencerminkan Pemilu mendatang. Kondisi ini memang sangat mengkhawatirkan bagi kemajuan bangsa di masa mendatang.

Jika dilihat dari fenomena yang ada unsur apatisme kian membayangi masyarakat dalam pemilu mendatang. Suatu bentuk apatisme bisa muncul disebabkan oleh beberapa faktor pendungkungnya. Pertama, ketidakseriusan dari pihak penyelenggara dalam melaksanakan tugasnya. Hingga saat ini jumlah pemilih tetap masih simpang siur, belum ada data yang pasti dari KPU. Masih ditemukan indikasi kecurangan atas penggelembungan daftar pemilih tetap. Padahal jumlah pemilih sangat mempengaruhi pencetakan surat suara, dimana berdasarkan Pasal 145 UU No 10 Tahun 2008 tentang Pemilu, jumlah surat suara cadangan tidak boleh lebih dari 2% dari jumlah pemilih tetap di daerah pemilihan tersebut.

Kedua, kurangnya sosialisasi dari KPU dalam tata cara pemilihan. Sejumlah daerah di Indonesia masih belum terjamah KPU sehingga masih bingung mengenai cara pemilihan. Kondisi ini bisa mengurangi keikutsertaan masyarakat daerah dalam pesta demokrasi lima tahunan.


Ketiga, faktor yang ditentukan kesengajaan pemilih untuk tidak berkiprah dalam pemilu mendatang. Pola semacam ini menggambarkan bahwa rakyat sudah enggan dengan janji parpol yang tidak pernah bisa direalisasikan. Selain itu, sikap untuk melakukan golput dengan tidak ikut serta dalam pemilihan merupakan suatu bentuk hukuman bagi elite politik yang lama mengabaikan suara dan kepercayaan rakyat.


Menurunnya gairah masyarakat dalam mengikuti kampanye memang pertanda bahwa ancaman demokrasi di negeri ini kian mencekam. Apalagi berdasarkan tren dari tahun ketahun ancaman golput kian meningkat, pada tahun 1999 saja tercatat golput sekitar 10,21%. Pada 2004meningkat dua kali lipat lebih mencapai 23,34%, sedangkan pada pemilihan presiden putaran kedua mencapai angka 23,32%.

Perlunya mengembalikan kepercayaan masyarakat merupakan suatu tantangan yang besar bagi sejumlah elite politik. Saat ini rakyat memang sudah terlanjur tidak percaya, tetapi upaya untuk meningkatkan kembali kepercayaan masyarakat perlu dilakukan. Sebab dalam system demokrasi rakyat memegang kekuasaan tertinggi untuk mengangkat dan menurunkan wakilnya, baik diparlemen maupun di pemerintahan.


Kurangnya minat masyarakat dalam mengikuti kampanye harus dijadikan pelajaran bagi para elite politik untuk benar-benar memperjuangkan aspirasi dan kesejahteraan rakyat. Sebab rakyat sudah tidak memerlukan janji, melainkan tindakan nyata dalam membangun bangsa di masa mendatang. Jangan sampai terulang kembali pencederaan kepercayaan masyarakat di masa mendatang. Sebab rakyat sudah lelah dengan kehidupan politik yang penuh kebohongan dan tipu daya.

Felix Wisnu Handoyo
Mahasiswa Ilmu Ekonomi
Fakultas Ekonomika dan Bisnis, UGM
Yogyakarta


Tidak ada komentar:

Posting Komentar